Aku Tak Ingin Merebut Suami Orang

Aku Tak Ingin Merebut Suami Orang

SEJAK aku memutuskan untuk menikah pada 2010 lalu, aku memang tak pernah membayangkan akan memiliki liku-liku hidup berumah tangga yang begitu getir dan menyedihkan, hingga membuat semua yang kuangankan menjadi seperti mimpi yang hilang bersamaan dengan terbitnya matahari pagi. Pernikahanku sebenarnya dilatar belakangi oleh cinta kasih yang tulus antara aku dan suamiku, sebut saja namanya Bastian (bukan nama sebenarnya). Kenapa kusebut demikian, karena aku dan Bastian telah manjalani masa pacaran sejak kami masih duduk di bangku kelas satu SMU di Kota Bengkulu, hingga kami akhirnya sama-sama lulus dari bangku kuliah kota yang sama dan selanjutnya bekerja. Masa pacaran yang begitu lama, membuat kami telah mengenal dengan baik satu sama lain, baik prilaku, sifat dan kebiasaan masing-masing. Karena hal itu juga, membuat kami telah terbiasa melakukan hubungan intim layaknya pasangan suami istri. Namun untunglah perbuatan tersebut tak membuatku hamil, karena kami selalu menggunakan alat kontrasepsi setiap akan berhubungan. Masa pacaran akhirnya kami akhiri dengan janji setia saat pernikahan pada awal tahun 2010 lalu. Bahtera rumah tangga kami jalani dengan biasa-biasa saja, tak ada kegembiraan yang berlebih, tak ada acara bulan madu maupun liburan untuk merayakan pernikahan tersebut, satu-satunya hal yang membuatku gembira mungkin cuma perasaan lebih bebas dan tak berdosa saat kami melakukan hubungan intim, perasaan itu juga membuat hubungan itu terasa lebih nikmat dari sebelumnya. Singkat cerita, setelah tiga bulan menikah, akhirnya aku hamil, sebuah peristiwa yang paling ditunggu oleh banyak pasangan suami istri. Kabar baik itu juga disambut dengan perasaan gembiria oleh suamiku, kulihat ia semakin bersemangat dalam beraktifitas, baik dalam pekerjaan maupun aktifitas lainnya, terlebih kepadaku, ia menjadi sangat perhatian dengan kondisi kesehatanku, betapa bahagiaanya aku saat itu. Tapi perangai suamiku perlahan-lahan mulai berubah setelah kami memiliki seorang buah hati. Ia tak lagi serius memperhatikan perkembangan dan permasalahan yang kami hadapi dalam berumah tangga. Saat itu aku berpikir mungkin Bastian merasa jenuh dengan keadaan, dan untuk itu aku berusaha sebaik mungkin untuk mengembalikan semangat suamiku seperti sediakala. Selama beberapa bulan aku berusaha, namun hasilnya nihil. Perubahan yang ditampakan Bastian justru semakin nyata terlihat. Ia jadi sering terlambat pulang, bahkan pernah tak pulang selama berhari-hari. Dan yang paling tampak dalam perubahannya adalah, ia tak pernah lagi mau menggauliku. Keadaan yang sangat berbeda saat kami masih berpacaran atau saat belum memiliki anak, bastian selalu menggebu-gebu dalam menggauliku. Dalam sehari mungkin bisa dua atau tiga kali. Sampai akhirnya aku mengetahui penyebab perubahan itu. Bastian ternyata telah menikah kembali dengan seorang perempuan muda berumur 20 tahun. Saat mengetahui hal itu, dunia seakan kiamat. Aku sepertinya tak akan mampu untuk bertahan hidup lebih lama. Namun setelah berhari-hari mengalami guncangan, aku kembali sadar bahwa aku memiliki seorang anak yang harus kurawat dan kubesarkan. Setelah peristiwa itu, aku mengajukan gugatan cerai. Padahal Bastian saat itu berusaha untuk mempertahankan rumah tangga denganku. Namun aku tak sudi suamiku membagi dua cinta kasihnya dengan perempuan lain, singkatnya aku tak mau dipoligami, jika ia masih ingin berumah tangga denganku ia harus menceraikan istri keduanya. Dan Bastian memilih istri keduanya dan ia akhirnya menceraikanku. Air mataku memang bercucuran saat itu, namun aku berusaha meyakinkan diri bahwa hal itu mungkin jalan terbaik yang harus kutempuh. Masa pacaran yang begitu indah dan kesetiaanku yang demikian berarti buatku ternyata tak mampu menggugah hati Bastian, dan perceraian akhirnya menghancurkan semuanya, bajingan perempuan itu, demikian hatiku mengumpat. Setelah hampir lima bulan menjada, aku kembali didekati beberapa pria. Mungkin karena aku masih terbilang muda dengan usia 27 tahun dan penampilan fisikku yang lumayan menarik, banyak pria yang akhirnya berniat melamarku. Saat itu aku sebenarnya telah memiliki \"teman dekat\" sebut saja namanya Tono (bukan nama sebenarnya), namun sampai saat itu ia mangaku belum siap untuk menikah. Sementara tiga orang pria lainnya telah dengan sabar menungguku. Permasalahan kembali muncul saat aku mengetahui bahwa ketiga orang pria tersebut telah memiliki istri. Aku kembali dihadapkan pada pilihan sulit, mengaharapkan Tono yang kucintai ternyata tak memiliki keberanian untuk segera menikah. Memilih salah satu dari mereka yang telah siap dan mampu membiayai kehidupanku, itu artinya sama dengan merebut suami orang. Di situ aku sadar betul, betapa sakitnya saat suami direbut perempuan lain. Namun di sisi lain, aku sudah tak mampu lagi bertahan dengan kesendirianku, selain butuh perhatian dan kasih sayang, aku amat membutuhan sokongan dana untuk menghidupi dan membesarkan anakku. Haruskan aku menjadi perebut suami orang, atau haruskan aku bertahan dengan kesedirianku dengan resiko anakku terbengkalai dengan kehidupannya, entahlah sampai saat ini aku masih binggung. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: