NU Tolak Rencana Pemerintah Ratifikasi Konvensi Antitembakau
JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak rencana pemerintah meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control (FCTC). Dengan berbagai alasan baik dari sisi kesehatan, ekonomi, agama, hingga hukum, NU menolak rencana ratifikasi konvensi antitembakau itu.
Penolakan tersebut merupakan kesimpulan dari diskusi terbuka yang dilaksanakan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU dengan tema “Kampanye Kondom, Antirokok: Indah, tapi Manipulatif?” di Jakarta, Senin (15/12). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Brawijaya Prof. Dr. Sutiman Bambang Sumitro, Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Syahrizal Syarif, MPH., PhD, anggota Dewan Tahqiq Badan Halal PBNU KH Arwani Faisal, serta Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Andi Najmi Fuaidi sebagai moderator. “Rokok memiliki dampak negatif tentu tidak bisa dipungkiri, tapi itu tidak bisa dijadikan untuk pendekatan yang bersifat individual. Sama halnya dengan daging kambing, tidak boleh untuk orang yang memiliki riwayat berpenyakit hipertensi, yang tidak ya tidak apa-apa,” tegas Sutiman. Menurutnya, rokok dan produk turunan tembakau lainnya tidak selamanya mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan. “Ada sejumlah orang yang bermasalah dengan kesehatannya, tapi bisa disembuhkan justru dengan terapi asap rokok, terapi tembakau, dan lain sebagainya. Itu saya sendiri sudah membuktikan, di mana banyak pasien saya yang datang dari luar negeri,” tandasnya. KH Arwani Faisal membenarkan penuturan Sutiman. Berdasarkan keputusan Muktamar dan Munas NU, sebenarnya rokok bukanlah produk yang haram untuk dikonsumsi.
“Islam menegaskan, sebuah produk jika masih memiliki manfaat tidak boleh diharamkan. Demikian juga dengan rokok, seperti apa yang sudah disampaikan Pak Sutiman,” kata Arwani. Penolakan atas rencana ratifikasi FCTC juga disampaikan Andi Najmi yang bertindak sebagai moderator dalam diskusi tersebut. Andi yang merupakan praktisi hukum berbicara berdasarkan keilmuan yang dikuasainya. “Satu hal yang harus diperhatikan betul oleh pemerintah jika kita meratifikasi FCTC, potensi pendapatan dari cukai akan mengalami kemerosotan hingga Rp 50 triliun. Dan jika itu terjadi, maka potensi hutang negara akan meningkat. Pertanyaannya, apakah anak cucu kita akan terus dibebani hutang negaranya?” papar Andi. Dari kacamata ekonomi, Bendahara Umum PBNU H. Bina Suhendra yang hadir sebagai peserta diskusi mengungkapkan, ratifikasi FCTC harus dicermati dari kemungkinan adanya kepentingan politik dagang yang curang. Menurutnya, saat ini politik dagang ini bukan lagi sebatas dugaan tapi sudah terjadi.
\"Di pedagang kelontong pinggir jalan sekarang sudah gampang didapatkan rokok impor. Artinya apa? Ratifikasi FCTC berpotensi mematikan industri rokok dalam negeri, dan jika itu terjadi, produk rokok asing akan semakin membanjiri pasar kita,” ujar pria bergelar doktor daru lulusan Technische Universität Darmstadt di Jerman itu. (fat/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: