Konversi Gagal, Impor BBM Tinggi
JAKARTA - Setiap tahun, pemerintah selalu dipusingkan dengan jebolnya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kementerian Keuangan pun meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai instansi teknis di sektor energi untuk lebih serius menjalankan program penghematan subsidi.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, besarnya subsidi BBM selalu ditentukan oleh faktor pasokan dan permintaan. Dari sisi pasokan, produksi minyak Indonesia sulit diharapkan naik.
Untuk itu, yang bisa dilakukan saat ini adalah menekan permintaan. \"Karena itu, konversi BBG (bahan bakar gas) dan biofuel yang sudah direncanakan itu harus dijalankan dengan serius,\" ujarnya Senin (18/11).
Menurut Bambang, pemerintah realistis bahwa sulit untuk berharap adanya kenaikan produksi minyak Indonesia. Sumur-sumur minyak yang sudah tua dan tidak adanya penemuan sumber minyak baru dalam jumlah besar, membuat tren produksi minyak justru turun. \"Sementara tren konsumsi (BBM) naik,\" katanya.
Turunnya produksi minyak memang berimplikasi panjang. Selain memperkecil penerimaan negara dari sektor migas, kondisi tersebut juga membuat Indonesia terpaksa mengimpor lebih banyak minyak mentah dan BBM untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tentunya, hal itu makin memperburuk current account atau transaksi berjalan. Ujung-ujungnya, nilai tukar mata uang rupiah makin tertekan.
Bambang menyebut upaya menekan konsumsi BBM memang sulit dilakukan seiring terus tumbuhnya penjualan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor. Karena itu, cara paling efektif adalah mengembangkan BBG dan biofuel sebagai substitusi BBM. \"Sekarang waktu yang tepat untuk melakukan konversi,\" ucapnya. Selain lebih murah, BBG juga lebih ramah lingkungan dibanding BBM.
Program konversi BBM ke BBG sebenarnya bukan program baru. Sejak sebelum 2010, Kementerian ESDM sudah memulai inisiatif konversi BBM ke BBG untuk beberapa kendaraan angkutan umum.
Namun, program tersebut tidak pernah bisa sesukses konversi minyak tanah ke gas elpiji. Salah satu penyebab mandegnya program konversi ke BBG adalah mahalnya alat konverter yang mencapai kisaran Rp 12 juta per unit.
Untuk kendala ini, sebenarnya pemerintah sudah memberikan anggaran dalam jumlah besar. Namun, pelaksanaannya terganggu masalah teknis. Misalnya, dana untuk pengadaan alat konverter dan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) pada 2012 lalu tidak bisa cair. Penyebabnya, persiapan dokumen pencairan anggaran Kementerian ESDM kurang lengkap.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, pemerintah menyediakan dana hingga Rp 3,1 triliun untuk pengadaan alat konverter dan pembangunan SPBG guna mendukung program konversi ke BBG pada 2014 mendatang. \"Kami harapkan upaya pengendalian konsumsi BBM bisa dilakukan dengan sistem distribusi tertutup,\" ujarnya. Sistem yang dimaksud adalah larangan konsumsi BBM subsidi oleh kendaraan pribadi.
Sementara itu, Menteri ESDM Jero Wacik kembali berjanji untuk mendorong konversi BBM ke BBG. Menurut Jero, dirinya sudah berbicara dengan produsen mobil terkait rencana pemerintah terkait konversi BBG.
Namun, belum ada langkah konkret dalam program konversi BBG yang melibatkan produsen mobil. \"Kita tidak boleh tenang-tenang saja dengan tingginya impor BBM, harus mulai beralih ke gas. Tapi, gerakan ini belum berhasil baik selama ini,\" ujarnya. (owi/wir/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: