Jaringan Perempuan Bengkulu Tolak Tes Keperawanan

Jaringan Perempuan Bengkulu Tolak Tes Keperawanan

Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPBB) mengajak orang tua dan wali murid untuk menolak diadakannya tes keperawanan.   Kebijakan tersebut berarti menafikan peran orang tua dan keluarga dalam melindungi anak, dan pihak yang menerima amanah dari sang Pencipta.  ‘ Kami mengajak PGRI dan Dinkas untuk memikirkan solusi yang paling bijak untuk membantu anak-anak mengatasi persoalan seksualitas mereka; serta memperbaiki kebijakan yang pro anak perempuan dengan  mendukung perlindungan hak anak. Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPPB) adalah organisasi masyarakat sipil dan nirlaba yang bekerja dan peduli pada isu-isu perlindungan perempuan dan anak.   JPPB merasa prihatin atas wacana kebijakan tes keperawanan yang dikeluarkan oleh pejabat Diknas Kabupaten Seluma serta dikeluarkannya siswi sekolah karena hamil seperti yang dilansir oleh Surat Kabar di Bengkulu. Kami juga sangat khawatir akan tindakan institusi pendidikan yang melakukan tes kehamilan terhadap pelajar putri tanpa ijin orang tuanya di Bengkulu Utara, disertai dengan ide tes keperawanan sebagai tindak lanjut dari tragedi kehamilan siswi.   Ide melakukan tes keperawanan, tes kehamilan dengan dalih tujuan moral, serta peristiwa kebijakan mengeluarkan siswi hamil dari sekolah bukanlah hal yang baru. Karena telah sering mencuat kebijakan kontroversi seperti itu ditengah sistem pendidikan kita. Melalui pernyataan sikap ini kami ingin memastikan bahwa pemikiran dan kebijakan semacam ini tidak perlu terjadi lagi.   Kebijakan tes keperawanan tidak memiliki landasan hukum yang mendasar; sehingga kebijakan tersebut merupakan suatu pelanggaran atas konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang -undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (yaitu Undang Undang Ratifikasi CEDAW) dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak.   Penelaahan sosial – budaya atas wacana tes keperawanan adalah sebagai berikut: Rusaknya selaput dara (yang menurut telaah kedokteran bisa karena berbagai hal, misalnya bersepeda, olah raga, aktifitas yang keras, selain penetrasi secara seksual), tidak bisa begitu saja disamakan dengan kerusakan moral seorang perempuan. Kerusakan fisik pada organ reproduksi perempuan itu bukan berarti kerusakan perilaku sosial.   Mengadakan tes keperawanan oleh institusi negara menunjukkan bahwa negara mewajibkan perempuan untuk moral masyarakat. Lebih jelasnya, moral masyarakat hanya menjadi tanggung jawab dan disangga oleh kaum perempuan saja. Atas dasar apa negara melakukan tindakan yang menjadi privasi dan hak otonomi perempuan dan anak perempuan atas tubuhnya sendiri. Kalau ini dilaksanakan, maka negara telah berkuasa dan mengkontrol tubuh warga negara nya yang perempuan.   Secara psikologis, tes keperawanan tanpa persetujuan anak dan tanpa didampingi orang tua anak bisa menjadi peristiwa traumatis bagi mereka. Di samping itu, mengapa menjaga moral masyarakat harus dikaitkan dengan ketubuhan perempuan dan bukan merupakan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan.     Penelaahan JPPB menunjukan bahwa melakukan tes keperawanan menjadikan tubuh perempuan sebagai objek, sebuah proyek belaka. Apabila tes tersebut dilaksanakan ini berarti bahwa keperawanan bukan lagi hak privat seorang perempuan/anak perempuan namun telah menjadi milik publik. Dengan demikian negara juga dianggap telah melakukan kekerasan terhadap anak dan kaum perempuan pada umumnya karena telah melanggar dan mengabaikan hak perempuan dan anak sebagai warga negara.   Sikap JPPB terhadap kebijakan Sekolah mengeluarkan siswi hamil. Sekolah perlu memperhatikan penyebab kehamilan pada siswi sebelum memberikan sanksi. Siswi hamil banyak penyebabnya: (i) karena peristiwa pemerkosaan, (ii) penipuan, bujuk rayu, dan intimidasi sosial-psikologis.   Solusi untuk kasus hamil karena perkosaan sangat tidak relevan dengan kebijakan mengeluarkan siswi dari sekolah. Selayaknya Sekolah memberi perlindungan terhadap korban, agar tidak menjadi korban kedua kalinya ketika ia dikeluarkan dari Sekolah. Sebaliknya, Sekolah perlu secara akomodatif memberikan cuti bagi korban, atau menawarkan skema pembelajaran lain, sehingga peristiwa pemerkosaan cukup menjadikan sang anak menjadi korban fisik dan mental saja, dan tidak kehilangan seluruh masa depan pendidikannya.   Bagi siswi hamil karena penipuan, bujuk rayu, intimidasi sosial dan psikologis, perlu penelaahan tentang usia. Apapun alasannya untuk anak di bawah umur, meskipun ia dianggap “suka sama suka” – kalau pasangan mereka adalah orang dewasa, maka itu masuk dalam kategori perkosaan. Anak di bawah umur tidak bisa dihukum dan bertanggung jawab atas tindakannya, harus ada bimbingan dalam bentuk lain, dan bukan menghentikan hak pendidikannya.   Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPPB) meliputi Aisyiah,  KHAIRANI STUDI CENTRE,  Koalisi Perempuan Indonesia,  KOHATI,  KPPI, LBH HENA,   Nasyiathul Aisyiah,  P3W UNIB,  PKBHB,  PMKRI,  PSG STAIN,  YASVA.  Pernyataan ini juga didukung CCRR,  Sarina GMNI,  Yayasan PUPA, Ikatan Pelajar Muhamadiyah, Sekolah Gender, Walhi, Muslimat NU dan Sehati.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: