HONDA BANNER
BPBDBANNER

PERWIRA DAN PERTIWI

PERWIRA DAN PERTIWI

Penulis, Liza Anwar -foto: istimewa -

BENGKULUEKSPRESS.COM - Perwira atau panggil saja dengan sebutan Wira. mungkin orang tuaku bercita-cita nanti suatu saat aku bisa menjadi sosok yang katanya mengayomi masyarakat itu. Atau mungkin karena dalam bahasa Sansekerta artinya adalah Pahlawan, sosok yang gagah berani. Tentu saja aku senang dengan nama itu, bukankah nama adalah doa.

Tapi setelahku selidiki ternyata bukan karena itu, aku sedikit kecewa dengan alasan Bapak dan Ibu. Kata mereka nama yang mereka siapkan itu adalah Pertiwi karena mereka kira aku perempuan. 

Dengan bangganya ibu bercerita kalau ingin dipanggil Ibu Pertiwi. Maka, ketika dokter berkata anak mereka perempuan, Ibu langsung ingin menamakannya Pertiwi.

Tapi apa mau dikata, dokter salah, ini loh Perwira. Sedikit kesal aku berceloteh, kalau Pertiwi perempuan kenapa tidak Pertowo saja, seperti Kartini-Kartono. Bocah kembar tetangga sebelah rumahku.

Ibu hanya tertawa mendengar celotehanku itu. Sementara bapak dengan gaya khas bapak-bapak selalu berusaha menenangkan, "Sudahlah, Nak. Perwira itu karena kami ingin kamu jadi anak yang pemberani, jadi pahlawan untuk hidupmu syukur-syukur bisa untuk orang lain juga. Ya....walau sejujurnya...." Tanpa melanjutkan pembicaraannya Bapak malah tertawa disusul tawa Ibu. 

"Sejujurnya apa, Pak?”

“Sejujurnya karena gak ada ide, yang terlintas ya itu, Perwira." 

Aku kembali cemberut sementara Bapak dan Ibu tersenyum lagi. Baik Perwira ataupun Pertiwi semuanya mendapat tempat di hati Bapak. Pria yang paruh baya itu sering bercerita bagaimana perjuangannya.

Dia salah seorang aktivis 98, anak muda berprestasi yang berhasil keluar dari desa. Mengenyam pendidikan di salah satu universitas negeri di Jakarta dengan beasiswa.

Sayangnya karena pergerakannya saat era reformasi itu, dia yang dinilai terlalu vokal mengkritik pemerintahan dipaksa bungkam. Bukan dengan pukulan, bukan pula menghilangkan nyawanya tapi dengan cara pendidikannya direnggut. Dia dikeluarkan dari kampusnya. 

Itulah Bapak, sosok pemuda yang idealis terpaksa kembali ke desa. Setelah era Orde Baru tumbang dan genderang kemenangan perjuangan telah ditabuhkan dia pun pulang.

Kembali ke Pertiwi, membajak sawah yang tak seberapa kemudian mencoba peruntungan ke kota. Walau kota kecil tak sesibuk Jakarta, tapi perjuangan untuk hidup tak kalah beratnya.

Bapak bekerja serabutan, dengan ijazah SMA apa pun Bapak lakukan. Dan sekarang tubuh itu telah lelah, serangan jantung membuat gagahnya hilang. Bapak mengalami stroke dan semenjak itu aku pun membantu ibu berjualan. 

Semua cerita Bapak menempel di otakku, seperti Kidung sebelum tidur. Namun hari ini aku kembali memulai ceritaku, berjualan di sekitaran masjid Raya di depan kantor DPRD Provinsi Bengkulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: