HONDA BANNER
BPBDBANNER

Bunga di Ujung Samudra

Bunga di Ujung Samudra

Tri Chamauliddah, Bunda dari Trio_Zi yang mulai menyukai dunia literasi sejak Maret 2020. Karya-karyanya telah terabadikan dalam 73 buku antologi. -(ist)-

Oleh: Tri Chamauliddah

Beberapa kisah tidak tercantum dalam buku pelajaran. Kisah-kisah itu hanya tersembunyi di balik debu arsip, bisik lisan orang tua, dan aroma laut yang menyimpan luka. Tak semua pahlawan memakai seragam atau dikenal negara. Sebagian memilih sunyi, menyusuri rimba dengan pesan di dada dan harapan dalam bisikan.

Di masa ketika teriakan kemerdekaan dianggap makar, Bengkulu menjadi tempat pengasingan sekaligus penyemaian harapan. Di balik jeruji tak kasatmata, ide-ide besar diselundupkan lewat potongan surat, disalin oleh tangan-tangan sunyi, kemudian dibawa menembus hutan dan malam oleh mereka yang tak pernah disebut dalam pidato atau monumen. Dalam bayang-bayang sejarah itulah nama Sari berbisik, perempuan muda tanpa gelar yang mungkin pernah menyelamatkan bangsa dengan hanya selembar kertas dan keberanian.

Sore itu langit Bengkulu menggantung kelabu, seolah menyimpan rahasia yang lama tertahan. Angin dari Samudra Hindia membawa aroma asin dan sedikit tanah basah dari Pantai Tapak Paderi di mana Ayla berdiri dengan jurnal tua di tangannya. Lembaran rapuh milik seorang perempuan yang tak pernah disebut dalam buku sejarah: Sari.

Ayla, mahasiswi arkeologi dari Jakarta datang ke Bengkulu untuk penelitian tugas akhir. Gadis manis itu awalnya mencari jejak Soekarno di masa pengasingan. Namun yang ia temukan justru lebih menggugah, lembaran catatan tangan tersembunyi di rak tua saat berkunjung ke Rumah Pengasingan Bung Karno. Jurnal itu lusuh dan nyaris lapuk, namun tinta hitamnya masih terbaca.

12 November 1940

Hari ini aku menyalin surat untuk Bapak. Ia akan menyampaikannya ke kawan-kawan di Padang. Aku hanya penyalin, tapi diam-diam aku hafalkan isi surat itu. Tentang bangsa yang merdeka. Tentang tanah yang tidak tunduk.

“Dia bukan siapa-siapa dalam sejarah resmi,” kata Riko, pemuda Bengkulu yang bekerja di Dinas Pariwisata. “Tapi namanya sering disebut di cerita-cerita lisan tua. Perempuan yang lari di tengah malam membawa pesan rahasia.”

Sejak itu, pencarian Ayla dan Riko dimulai. Mereka menjelajahi Bengkulu dari pusat kota hingga pelosok desa, menapaki jejak-jejak yang nyaris terhapus waktu. Tak sekadar berjalan, mereka seperti menyusuri lorong waktu, melalui batu tua yang menyimpan jejak kaki kolonial, kayu lapuk yang menghitam oleh hujan zaman, dan tanah yang diam-diam menjadi makam rahasia sejarah.

Benteng Marlborough megah dan dingin, berdiri angkuh di tepi laut seperti penjaga masa silam. Dinding tebalnya memantulkan gema langkah Ayla dan Riko, seolah masih menyimpan desah para tahanan dan bisik perlawanan. Mereka pun menuju ke Danau Dendam Tak Sudah yang airnya nyaris tak bergelombang tenang, tapi penuh bisu. Di sana, seorang nelayan tua bercerita tentang perempuan muda yang pernah melintasi danau itu malam-malam, membawa gulungan kertas di balik pakaian.

Ayla dan Riko melanjutkan perjalanan ke daerah pegunungan Kepahiang, di mana kabut pagi menggantung rendah dan hutan-hutan seperti menelan cahaya. Di sanalah, cerita tentang Sari menjadi semakin nyata, disebut dalam nyanyian lama para ibu saat menumbuk padi dalam coretan samar di dinding lumbung tua, dalam diamnya pohon-pohon besar yang tak pernah bertanya siapa yang pernah bersembunyi di balik batangnya.

Setiap tempat menyimpan potongan teka-teki. Tak ada yang utuh, tak ada yang pasti, namun semua terasa saling berkait. Seolah sejarah Sari hanya mau didekati dengan hati-hati, satu tapak kaki dalam sekali waktu. Bagi Ayla, ini bukan lagi sekadar penelitian. Ini adalah ziarah ke masa lalu yang sunyi untuk mendengar suara seorang perempuan yang pernah memilih diam demi sebuah bangsa.

Desa-desa di Kepahiang masih menyimpan cerita tentang perempuan misterius itu dalam ingatan para orang tua. Salah satunya Inang Marni, nenek berusia delapan puluh tahun yang tinggal di rumah kayu di pinggir hutan. Ia memandangi jurnal Sari dengan mata berkaca.

“Dulu, ibu saya pernah bercerita tentang seorang gadis kurir. Ia lewat tengah malam, membawa tas kecil, tak pernah bicara banyak. Namun, saat Jepang datang, gadis kurir itu tak pernah kembali.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait