Pemprov Perjuangkan Bagi Hasil CPO
BENGKULU, bengkuluekspress.com - Pungutan penjualan crude palm oil (CPO) yang didapat oleh pusat dari Provinsi Bengkulu diketahui sangat besar. Bahkan, diperkirakan Pemerintah Pusat mampu menghasilkan pungutan CPO hingga Rp 706 miliar dari Bumi Rafflesia. Namun sampai saat ini, aliran dana bagi hasil (DBH) untuk CPO terbilang masih minim.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bengkulu, Ir Ricky Gunarwan mengatakan, Pemerintah Provinsi Bengkulu saat ini tengah memperjuangkan aliran DBH tersebut ke daerah.
Pihaknya bersama dengan 17 Provinsi di Indonesia pada 11 Januari 2020 lalu sudah mengadakan rakor untuk memperjuangkan DBH CPO ini. Hal ini mengingat, Provinsi Bengkulu diketahui memiliki luas perkebunan kelapa sawit mencapai 377.052 hektar (ha) dan menghasilkan CPO sebanyak 1.008.718 ton pada 2019 lalu. Sehingga potensi pungutan CPO diperkirakan mencapai ratusan miliar.
\"Kalau kita nilai dari produksi CPO terakhir, kita perkirakan nilai pungutan CPO sangat besar dari Bengkulu untuk Pemerintah Pusat, bisa mencapai ratusan miliar per tahun,\" kata Ricky, kemarin (29/1).
Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.05/2019, apabila harga CPO di atas 570 dolar AS per ton maka akan dikenakan pungutan terhadap CPO dan turunannya sebesar 50 persen dari pungutan penuh. Sementara jika harga di atas 620 dolar AS maka terkena pungutan penuh 100 persen.
Dimana nilai pungutan ekspor produk CPO 100 persen terkena tarif 50 dolar AS per ton. Sedangkan pungutan 50 persen hanya sebesar 25 dolar AS per ton. Berdasarkan harga referensi produk CPO yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan pada Januari 2020, harganya mencapai USD729,72 per metrik ton (mt). Sehingga potensi sumbangan keuangan dari CPO sebesar lebih kurang 1.008.718×50 dolar AS sama dengan 50.435.900 dolar AS.
\"Atau jika menggunakan kurs rupiah di angka Rp 14 ribu per 1 dolar AS, maka terdapat potensi pungutan yang disetor ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 706,1 miliar pertahun,\" jelas Ricky. Meski begitu, ia mengaku potensi pungutan dari penjualan CPO yang dikembalikan ke daerah hanya kurang lebih sekitar Rp 77,3 miliar saja pada 2019 lalu. Dengan peruntukan salah satunya adalah digunakan untuk replanting kelapa sawit sebesar Rp 25 juta per hektare.
Sementara, kontribusinya untuk pembangunan infrastruktur di Bengkulu hingga saat ini masih nihil. \"Kontribusinya hanya untuk replanting kelapa sawit masyarakat sebesar 77,3 miliar atau sekitar 11 persen dari potensi pungutan yang diberikan oleh BPDPKS. Sementara kebutuhan daerah bukan hanya terkait replanting saja, akan tetapi infrastruktur juga penting,\" tuturnya.
Untuk itu, pihaknya menuntut agar pemerintah pusat dapat mengembalikan hasil pungutan penjualan CPO itu bersifat proposional bagi daerah penghasil. Bahkan Pemerintah Provinsi Bengkulu bersama sejumlah gubernur dari Provinsi Riau, Sumatera Utara, Aceh, Sumsel, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara dan Papua Barat mendorong hal tersebut.
Serta memberikan isyarat usulan pembagian DBH sawit daerah dan pusat itu berkisar antara 30:70 atau 35:65. \"Kita sudah usulkan, kalau bisa jangan 10 persen, tapi 30 persen atau 35 persen, sehingga bisa digunakan untuk pembangunan daerah,\" tutupnya.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Universitas Bengkulu, Prof Dr Kamaludin MM mengatakan, kalau ditengok dari rating penyumbang devisa terbesar untuk Negara, kelapa sawit sudah bertengger di posisi puncak. Menyetor sekitar Rp471,31 triliun pada 2017 bahkan jauh di atas Minyak dan Gas (Migas) yang hanya di angka Rp390,48 triliun di tahun yang sama.
Seksinya duit kelapa sawit ini akhirnya membikin daerah penghasil kelapa sawit mulai melirik DBH dari sektor ini khususnya CPO, tak terkecuali Bengkulu. Sebab kalau dari Migas saja daerah bisa mendapat DBH, kenapa dari kelapa sawit tidak. Hal ini disebabkan, ada persoalan birokrasi yang membuat DBH kelapa sawit ini belum terlihat.
\"Ini kan persoalan birokrasi. Karena DBH CPO belum diusulkan dalam bentuk regulasi. Tentu harus ada cara regulasi agar itu bisa dialirkan ke daerah,\" kata Kamaludin. Oleh karena itu, perlunya penggalangan daerah sentra Sawit untuk memperjuangkan DBH tadi. Kalau upaya itu hanya dilakukan oleh sendiri maka akan terasa sulit dan berat.
Hal yang sama pernah terjadi pada Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, dimana keduanya pernah memperjuangkan DBH migas sehingga desakan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan regulasi juga semakin kuat. Meski begitu, Ia berharap upaya mencari uang untuk daerah jangan melulu pada penerbitan regulasi DBH CPO.
Ia menilai, ada sejumlah opsi pemasukan yang dapat diperjuangkan untuk daerah seperti PBB pertambangan dan PBB perhutanan.\"Tidak hanya DBH CPO saja, tetapi PBB Pertambangan dan perhutanan jika diberikan ke daerah itu sangat membantu. Regulasi untuk ini juga harus kita perjuangkan,\" tutupnya. (999)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: