Nelayan Butuh Kapal Berbobot Besar

Jumat 10-02-2017,09:10 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

HSNI: Minimal Ukuran 30 GT

BENGKULU, BE - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengatakan, nelayan Kota Bengkulu membutuhkan bantuan kapal nelayan yang berukuran diatas 30 gross ton (GT) guna meningkatkan produktivitas hasil tangkapan.

Ketua HNSI Kota Bengkulu Iswandi Ruslan S.Sos mengatakan, kebutuhan kapal berbobot besar mengingat laut Bengkulu yang terkenal dengan ombak ganas.

\"Kita tidak punya rangkaian kepulauan terdepan seperti di Sumatera Barat, jadi gelombang laut yang begitu kuat dari Samudera Hindia tidak ada penghambatnya,\" kata Iswandi kepada BE, kemarin (9/2).

Berbahayanya gelombang laut di Bengkulu, juga ikut dirasakan oleh Iswandi, kapal miliknya hancur dan dihempaskan ke daratan pulau terdepan Bengkulu, yakni Pulau Enggano.

\"Alhamdulillah awak kapal selamat semua, hanya saja sekarang kapal tersebut tinggal kerangka. Padahal saya memakai kapal berbobot besar yakni 28 gross ton,\" katanya lagi.

Dengan bantuan tersebut, nelayan Bengkulu tidak lagi hanya sebatas nelayan tradisional saja dan hasil tangkapan seadanya yang terkadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

\"Kapal besar, tentu peralatan yang ada didalamnya dikendalikan dengan teknologi, jadi yang lebih dulu digelar adalah pelatihan mengoperasikan kapal berteknologi modern serta peralatan tangkap,\" katanya.

Di Kota Bengkulu, sampai saat ini 95% mayoritas merupakan nelayan tradisional yang memiliki kapal dengan bobot di bawah lima gross ton.

\"Beberapa ada yang memiliki kapal 10 GT, namun kedua jenis kapal tersebut tidak bisa berlayar cukup jauh ke samudera, jadi hasil tangkapan tidak maksimal,\" ujarnya.

Nelayan Jadi Pengumpul Limbah Batu Bara

Ia juga mengungkapkan, sekarang banyak nelayan yang mengandalkan mata pencarian lain dikarenakan tidak dapat melaut sejak 4 bulan terakhir.

\"Banyak nelayan di Kota Bengkulu menghentikan aktivitas melautnya dikarenakan kondisi cuaca yang tidak mendukung, kebanyakan nelayan sekarang bekerja sebagai pengumpul limbah batu bara di pantai,\" ungkapnya.

Ia mengharapkan agar Pemerintah Provinsi Bengkulu peduli terhadap para nelayan di Kota Bengkulu. Terdapat ratusan nelayan tidak dapat melaut dan hanya mengandalkan limbah batu bara.

\"Pemerintah Provinsi Bengkulu harus peduli terhadap nasib rakyatnya, ratusan nelayan sekarang hanya menjadi pengumpul batu bara, kan kasihan,\" tutupnya.

Aminah (56), satu dari ratusan nelayan lainnya di Kota Bengkulu yang mengumpulkan limbah batu bara di pinggir Pantai Jakat, pesisir Kota Bengkulu. Ia sudah bertarung setiap hari dengan ombak untuk mendapatkan emas hitam itu.

Menggunakan jaring sepanjang 1,5 meter dengan warna hijau, lengkap dengan saringan, batu bara yang berhasil ditangkap Aminah ditumpuk di pinggir pantai, lalu dimasukannya ke dalam karung.

\"Sudah tiga pekan ini kami mengumpulkan limbah batu bara di sini, saya tidak bisa berharap banyak ke suami saya, karena sekarang tidak bisa melaut dikarenakan ombak yang tinggi,\" kata Aminah dengan paras yang sedih.

Deretan kapal nelayan tradisional yang menganggur dan ratusan orang yang \"berlomba\" mengumpulkan batu bara menjadi pemandangan sehari-hari di pantai itu. Musim angin Selatan yang tidak bersahabat bagi nelayan, ternyata membawa makna lain.

\"Berbahaya bagi nelayan kalau melawan angin Selatan, tinggi gelombang bisa membuat kapal terbalik,\" katanya.

Ia mengatakan bila cuaca bagus dimana angin tenang untuk melaut, batubara tidak muncul ke tepian pantai. Itu sebabnya, nelayan menduga, angin Selatan menciptakan perputaran arus laut sehingga timbunan batubara terangkat ke permukaan lalu ombak menghantarkannya ke darat.Menurut Aminah limbah batubara berasal dari aktivitas pertambangan di hulu Sungai Air Bengkulu di Kabupaten Bengkulu Tengah.

\"Hanya tiga kilometer jarak muara Sungai Air Bengkulu dengan pantai dimana masyarakat mengumpulkan limbah batu bara tersebut,\" terangnya.

Dulunya kata Aminah, pengumpul limbah batubara lainnya, warga berdesakan di muara Sungai Air Bengkulu untuk mengambil butiran batu bara. Tapi belakangan, aktivitas itu dilarang Pemerintah Kota Bengkulu sebab pengerukan sungai meski dengan cara sederhana untuk mencari batu bara telah merusak daerah aliran sungai.

Beberapa bulan belakangan, Pulau Tikus berjarak 10 mil laut dari Kota Bengkulu memang menjadi lokasi \"transhipment\" atau bongkar muat batu bara dari kapal tongkang ke kapal besar. Bagi nelayan, dari mana pun asal butiran hitam halus itu tidak menjadi persoalan, selama masih laku dijual kepada pedagang pengumpul. Harga sekarung batu bara yang dijual ke pedagang pengumpul yang setiap hari lalu lalang di Pantai Jakat mencapai Rp 10 ribu.

\"Sehari bisa mengumpulkan hingga 10 karung per hari, tapi yang lain mampu mengumpulkan sampai 20 karung, karena saya sudah tua\" kata Aminah.

Meski berkala karena bergantung pada kondisi cuaca, dalam sepuluh tahun terakhir Aminah dan ratusan warga sudah mengumpulkan ratusan ton batu bara dari laut Bengkulu.

Menurut seorang pedagang pengumpul yang ditemui di pantai itu, ada tiga pengumpul besar yang mampu mengangkut 120 ton batubara per hari. Sebagian besar batu bara dikirim ke Tangerang untuk memenuhi kebutuhan energi industri tekstil.

\"Ini hanya dari sekitar Pantai Jakat, belum ditambah ke arah Pantai Sungai Suci, berjarak 20 kilometer dari pantai ini,\" tutupnya.(cw2)

Tags :
Kategori :

Terkait