AMBON - Yang terbayang di di benak banyak orang tentang Morotai sebuah pulau kaya peninggalan Perang Pasifik dan jejak Jenderal Douglas McArthur. Tidak salah. Namun, ada keindahan lain di Pulau Morotai, yaitu Tanjung Gorango.
Jika berlibur ke Morotai, sempatkan mengunjungi destinasi yang terletak di antara Desa Gorua dan Korago, Kecamatan Morotai Utara. Anda akan dibuat terngaga, dipaksa berlama-lama tinggal untuk menikmati hamparan pasir putih, laut biru, dan panorama sekitar pantai yang belum tersentuh banyak wisatawan.
Tanjung Gorango terletak 90 kilometer dari Daruba, ibu kota Kabupaten Pulau Morotai. Perlu tiga jam berkendara dengan kendaraan roda empat, dan dua jam dengan sepeda motor.
Jalan Daruba-Tanjung Gorango sebagian beraspal dan lainnya masih tanah. Saat kemarau, jalan tanah berdebu. Di musim hujan, jalan tanah berubah menjadi bubur.
Perjalanan tidak akan melelahkan jika pengunjung menikmati panorama di kiri dan kanan jalan. Semilir angin meningkahi deburan ombak pantai timur Pulau Morotai. Di kejauahan, burung-burung laut hilir-mudik. Hutan di kiri jalan sedemikian rimbun, menawarkan keteduhan.
Letak Tanjung Gorango yang terpencil membuat pengunjung tidak akan menemukan fasilitas apa pun di sini. Hanya ada satu moda transportasi umum dengan rute Daruba-Tanjung Sopi, tapi waktu tempuh lebih lama.
Setiap orang yang datang ke sini harus membawa bekal cukup; makanan, minuman, dan bahan bakar. Tidak ada penjual kebutuhan dasar di sepanjang perjalanan, karena penduduk sangat jarang.
Gorango adalah kata dalam bahasa setempat yang berarti hiu. Jadi, Tanjung Gorango adalah Tanjung Hiu. Namun, menurut penduduk setempat, tidak pernah ada kabar orang disantap hiu saat berenang.
Hamparan pasir pantai Tanjung Gorango sedemikian luas dan panjang. Butiran pasir tidak terlalu halus, tapi cukup bikin betah siapa pun berguling-guling di atasnya.
Ombaknya tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk peselancar pemula bermain sepuas hati. Tidak ada tempat berteduh karena pantai belum tergarap serius sebagai tempat wisata, namun rimbuh pepohonan sangat membantu wisatawan berlindung dari terik matahari.
Tanjung Gorango dipadati wisman lokal hanya sekali dalam setahun, yaitu saat libur Idul Fitri. Terakhir, saat libur Idul Fitri 2016, Tanjung Gorango kebanjiran wisman dari sekujur Pulau Morotai.
Zainal Kharie, warga Morotai Selatan, mengatakan berkunjung ke Tanjung Gorango saat Idul Fitri seakan telah menjadi ritus penduduk Muslim Morotai. \"Hampir setiap tahun kami ke sini,\" kata Kharie.
Menurut Kharie, wisatawan lokal datang berkelompok; kecil dan besar. Kelompok kecil terdiri dari satu atau dua keluarga, dan biasanya membawa mobil pribadi. Kelompok besar adalah masyarakat satu kampung, dan biasanya datang dengan truk terbuka, atau angkutan umum yang disewa. \"Tanjung Gorango adalah destinasi primadona warga Morotai,\" kata Kharie.
Seperti destinasi wisata lainnya, Tanjung Gorango nyaris tak tergarap dan salah satu spot sepi di bibir Samudera Pasifik. Bahkan, setelah pemerintah menetapkan Pulau Morotai sebagai satu dari 10 Top Destinasi Prioritas, Tanjung Gorango jarang disebut.
Promosi Pulau Morotai terbatas pada perannya sebagai pangkalan angkatan laut sekutu pimpinan Jenderal Douglas McArthur selama Perang Pasifik, dengan segala peninggalannya berupa peralatan perang yang terdapat di dasar laut dan pantai. Atau tentang Kerajaan Moro yang hilang bersama penduduknya.
Namun kisah sunyi Tanjung Gorango mungkin akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Sejak 2014, lewat PP No 50 tahun 2014, pemerintah menetapkan Pulau Morotai sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata. Akan ada pembangunan besar-besaran di atas 1.101,76 hektar lahan, yang dikerjakan PT Jababeka Morotai.
Pemerintah akan mengucurkan investasi Rp 6,8 triliun untuk membangun infrastruktur, salah satunya bandara. Morotai, terhitung sejak berakhirnya Perang Pasifik, tidak pernah lagi didarati pesawat selama 70 tahun. Pemerintah membangun kembali Bandara Morotai, dan sejak 18 Maret 2016 Morotai kembali didarati pesawat berkapasitas 18 kursi.
Wings Air mengoperasikan pesawat ATR-72 berkapasitas 70 kursi dengan durasi tujuh kali sepekan. Citilink mendaratkan pesawat berbadan besar, yang membuat Morotai kembali terbuka.
Letak Morotai yang strategis, bisa dijangkau dari Korea, Jepang, dan Tiongkok, membuat Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yakin wilayah bekas Kerajaan Moro ini akan menjadi destinasi internasional. Tidak keliru pula jika Menpar Arief Yahya menargetkan kunjungan 500 ribu wisman ke Morotai pada tahun 2019, atau setelah amenitas dan akses terbangun.
Saat ini, PT Jababeka Morotai masih terus berusaha mengundang investor dalam dan luar negeri untuk membangun amenitas dan fasilitas lain. Pemerintah juga akan membangun dermaga kapal pesiar dan yacht.
Ketika semua itu terbangun, Tanjung Gorango dipastikan tidak lagi menjadi keindahan berselimut sunyi, tapi pantai dengan banyak wisman dan wisnus. (*)