16 Menteri Batal Hadiri HUT Kemerdekaan RI ke-71 di Pulau Enggano

Jumat 12-08-2016,09:40 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

  BENGKULU, BE - Rencana penyelenggaraan upacara HUT Kemerdekaan RI ke-71 di Pulau Enggano 17 Agustus besok yang dihadiri 17 menteri, sulit terwujud.

Pasalnya, Pemerintah Provinsi Bengkulu sudah menerima konfirmasi bahwa 16 menteri batal hadir dan hanya akan diwakili oleh pejabat eselon I.

Namun Plt Sekda Provinsi, Ir Drs H Sudoto MPd mengaku, pihaknya masih menunggu konfirmasi satu undangan lainnya yaitu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, karena hingga kemarin hanya kementerian tersebut yang belum memberikan konfirmasi lebih lanjut, bisa hadir atau tidak.

\"Kita berharap Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dapat hadir ke Pulau Enggano, mengingat banyaknya potensi yang akan kita perlihatkan nantinya, apalagi kegiatan ini juga di motori oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu yang mendapatkan pinjaman langsung kapal penyeberangan dari kementerian tersebut,\" terangnya.

Ia menyebutkan, jika Menteri Kelautan dan Perikanan bisa hadir, pemprov berharap ada program nyata dan gagasan yang baik untuk masyarakat yang tinggal di pulau Enggano tersebut bisa disampaikan oleh Menteri susi Pudjiastuti karena Menteri Susi selalu mempunyai terobosan yang bagus dan baik bagi para nelayan khususnya.

\"Kita akan terus berkoordinasi dengan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan agar Menteri Susi Pudjiastuti bisa hadir dan mengikuti upacara kemerdekaan RI ke-71 tersebut,\" ucapnya.

Ke-16 menteri yang dikabarkan batal hadir itu adalah Menkopolhukam, Mendagri, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat, Menteri ESDM, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menkumham, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Menteri Desa Transmigrasi dan PDT, Menkominfo dan Menpora. Selain itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan kepala BIN.

Lindungi Suku Enggano

Perayaan 17 Agustus di Enggano ini tentunya akan menjadi spesial bagi masyarakat adat Enggano. Disamping akan mempercepat pembangunan. Namun ada yang perlu harus dipertegas, sejak Pulau Enggano dihuni oleh masyarakat setempat, suku adat yang ada di pulau tersebut belum memiliki perlindungan hukum.

Terkadang, aturan udangan-udangan dan aturan adat pun harus berbenturan. Aturan suku adat sering kali harus kalah dengan aturan undang-undang yang ada. Korbannya masyarakat adat yang telah diwariskan turun temurun aturan adat oleh leluhurnya ini.

Atas dasar UUD 45 pasal 18 ayat 1 putusan MK 35 tahun 2012 terkait hutan adat, Permendagri No. 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan beberapa konstitusi lainnya, yang mengatur negara mengakui serta menempatkan masyarakat adat dan instrumennya sebagai pihak yang berhak atas wilayah adatnya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan secara tertulis untuk memberikan perlindungan suku adat asli Pulau Enggano.

\"Sejauh ini, perintah dan amanat konstitusi tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh penyelenggara Negara pusat dan daerah, kehadiran lembaga Negara RI ke Enggano dalam peringatan 17 Agustus 2016 ini hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah pusat dan khususnya pemerintah daerah Provinsi Bengkulu dalam menjalankan perintah konstitusi dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat Enggano,\" terang Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, Deff Tri Hamri kepada BE, kemarin.

Dijelaskannya saat ini ada 6 suku Enggano yaitu suku Kauno, Kaitora, Kaohoa, Kaarubi, Kaaruba dan Kamai. Keenam suku ini terdapat di 6 desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana dan Desa Kahyapu. Enam suku adat asli tersebut tentunya harus dilindungi secara undang-undang.

Ia meminta negara harus menjalankan perintah konstitusi dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Enggano.

\"Sebagai mana tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dimana Undnag-undang ini pada Bab XI, pasal 60 hingga 62 menegaskan peran, hak dan keterlibatan masyarakat adat dalam projek-projek pembangunan yang akan dilakukan di wilayah adat,\" bebernya.

Ditambahkannya, Pasal 61 ayat I menyebutkan pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Sementara Pasal 61 ayat II juga menyebutkan, pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal sebagaimana pada ayat (i) dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Sementara, Pasal 62 (i) masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

\"Ini harus terlaksana secara keseluruhan, minimal ada peraturan daerah (perda) maupun peraturan bupati (perbub) untuk melakukan perlindungan adat. Karena masyarakat adat Enggano memiliki hukum adat dan kesepakatan itu telah terdokumentasi secara turun-temurun. Hukum tersebut hendaknya menjadi acuan negara dalam melakukan pembangunan di Pulau Enggano,\" tegas Deff.

Deff menilai, pulau yang sangat eksotis dan terjaga ini sering menjadi sasaran untuk dijadikan objek pendorong pembangunan. Namaun demikian, ketika kebijakan pembanguan tersebut dilakukan. Masyarakat setempat jarang untuk dilibatkan. Oleh karena itu, pihaknya meminta ada sinkronisasi dan pemerataan dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang ada di pulau tersebut.

\"Masyarakat harus dilibatkan dan masyarakat tidak boleh tersingkirkan dari arah kebijakan pembangunan daerah,\" ungkapnya.

Pembangunan Harus Merata

Disisi lain, masyarakat Pulau Enggano juga mendesak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik provinsi maupun Kabupaten BU untuk melakukan pembangunan di Pulau Enggano. Masyarakat menilai pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini masih tebang pilih.

\"Kita contohkan saja, seperti pembangunan pengolahan air laut menjadi air tawar dengan sistem reverse osmosi (RO), masih tidak merata. Satu desa ada yang dapat dua unit bantuan dan ada desa yang tidak mendapatkan sama sekeli. Termasuk desa kami,\" terang Kepala Desa Apoho Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara, Reddy Heloman, saat dikonfirmasi BE, kemarin.

Reddy mengatakan pembangunan RO pada zaman Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamzah hanya dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Malakoni 2 unit, Desa Meok 2 unit sedang proses pembangunan dan 1 unit lagi di Desa Kaana. Sementara di Desa Banjar Sari, Apoho dan Desa Kayapu sama sekali belum menerima bantuan pengelolahan air laut menjadi air tawar tersebut.

\"Apa salahnya kalau merata dengan satu desa diberi satu unit alat ini. Jadi kita tidak ada lagi desa yang tidak dapat bantuan alat tersebut. Padahal semua desa yang tidak dapat alat ini sudah menyiapkan tanah atau lahan untuk dijadikan pembangunan,\" tegasnya.

Tak hanya itu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di 3 desa tersebut juga tidak dilakukan. Sementara di tiga desa lainnya yaitu Desa Malakoni, Meok dan Desa Kaana sudah mendapatkan bantuan tersebut.

\"Bantuan dari pemerintah banyak tidak merata. Padahal seperti didesa kita ini, sudah menjadi pusat kecamatan, tetapi bantuan didesa kita palah minim. Ini harus menjadi catatan pemerintah. Dimana pembangunan harus dilakukan secara merata. Sehingga apa yang telah diberikan oleh pemerintah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Pulau Enggano,\" tandas Reddy. (151/cw2)

Tags :
Kategori :

Terkait