New Hope: Penari Langit di Lokasi Steak Tujuh Ons

Senin 18-04-2016,08:45 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

MENGAPA Anda ke Amarillo ini? Jauh-jauh datang dari Indonesia? Itulah pertanyaan yang sulit saya jawab. Kota ini memang kecil sekali. Letaknya pun nun di pedalaman Texas.

Maka saya putuskan untuk menjawabnya dengan seloroh. Sekalian untuk membina keakraban. Biar segera bisa diterima dengan simpati di kota ini.

\"Mumpung Donald Trump belum jadi presiden. Saya kan Islam,\" kata saya. Sang penanya, seorang ibu, tertawa ngakak. Trump memang kurang disukai orang Texas. Juga kurang disukai pemilih wanita.

Semua tahu Trump punya rencana melarang orang Islam datang ke Amerika. Juga sering keceplosan menyudutkan wanita.

Saya berani berseloroh seperti itu karena saya sadar saya lagi di Texas. Daerah pendukung Capres Ted Cruz, putra daerah.

Tentu saya tidak boleh hanya berseloroh. Saya harus punya jawaban berikutnya. Yang lebih menghibur.

\"Saya datang ke pedalaman Texas ini dengan alasan khusus: untuk sebuah pembuktian,\" kata saya lebih serius.

\"Pembuktian apa?\" tanyanya seperti tidak sabar.

\"Apakah benar steak daging sapi di sini paling enak sedunia.\"

\"Wow. Sudah membuktikannya?\" tanyanya.

\"Sudah. Siang tadi.\"

\"Benar kan?\"

\"Benar sekali.\" Bukan main senangnya. Mereka bangga. Campur tertawa. Tapi saya tidak mengada-ada. Siang itu saya memang ke restoran khusus steak. Khas Texas. Asai. Di kota kecil ini: The Big Texan.

Mencolok sekali bangunannya. Khas cowboy. Kanan kirinya tanah kosong. Mirip ranch pertenakan sapi. Ada patung sapi bongsor di depannya.

Di dalam, penataannya juga khas cowboy. Lengkap dengan patung-patung cowboy yang lagi teler. Lalu ada toko cendera mata yang juga serba cowboy.

\"Ada berapa The Big Texan di AS?\" tanya saya kepada manajer restoran.

\"Hanya satu ini. Di dunia,\" jawabnya.

\"Wow!\" ganti saya yang wow.

Daging sapi di sini tentu segar sekali. Amarillo adalah pusat daging sapi Amerika. Di mana-mana terlihat ranch. Lima jam saya naik bus dari Oklahoma City ke Amarillo. Yang terlihat tidak ada lain: padang luas penggembalaan sapi. Di sepanjang I-40, high way antar negara bagian. Demikian juga pemandangan di perjalanan lima jam berikutnya. Dari Amarillo ke Albuquerque, di New Mexico. Semuanya ternak. Ternak. Dan ternak.

Sebetulnya ada pemandangan lain di atas ternak itu: para penari langit. Tidak habis-habisnya pemandangan kincir angin yang lagi ribut mengipasi langit. Besar-besar. Tinggi-tinggi.

Jadinya pemandangan ini seperti kontradiktif. Kombinasi tradisional dan modern. Ternak di bawah, kincir di atas. Tidak saling mengganggu. Bahkan petani kaya di Texas bisa lebih kaya: dapat penghasilan dari dua sumber.

Itulah salah satu perkebunan kincir terbesar di dunia: 600 km2. Inilah wind power yang ingin saya lihat. Menghasilkan 670 MW listrik. Hampir sama dengan pasokan listrik di seluruh Kalimantan.

Itulah tujuan yang sebenarnya saya ke Amarillo. Melihat wind power yang dikerjakan dengan penuh antusias.

Steak daging Texas memang terbukti mengenyangkan. Sayangnya saya tidak berani memesan steak seperti di meja-meja orang Texas: ukuran 7 ons. Saya hanya berani memesan 2,5 ons rib. Lalu pesan lagi 2,5 ons yang tenderloin.

Kincir anginnya terbukti juga mengenyangkan. Memuaskan emosi spiritual saya.

Saya terus memandang ke perkebunan kincir itu. Tak ada hentinya. Saya bandingkan dengan yang pernah saya lihat di Spanyol. Atau di Tiongkok. Di gurun Gobi. Di wilayah barat Tiongkok. Waktu itu saya sampai ke gurun Gobi khusus untuk melihat ini: pembangkit listrik tenaga angin yang dibangun secara masif di atas gurun pasir itu.

Tapi yang di Texas ini jauh lebih masif. Pun masih akan lebih luas lagi. Saya lihat masih banyak pekerja yang mendirikan tiang-tiang baru.

Maka saya terus memandangi baling-baling besar yang berputar di langit Texas itu. Kadang muncul kekaguman saya. Kadang muncul wajah tertentu di balik putaran kincir itu: wajah Ricky Elson.

Benar saya lagi di Texas. Tapi sebagian perasaan saya seperti sedang di Sumba. Atau di Ciheras. Tempat para penari langit ciptaan Ricky menghibur langit nusantara yang lagi kelabu.

Saya pun kian ngiri pada Texas ini. Juga pada perkebunan kincir terbesar lainnya di California. Tapi terselip juga perasaan bangga: ciptaan Ricky Elson tidak akan kalah sebenarnya.

Saya sudah minta pada Ricky untuk membuat proyek penari langit seluas 5 MW. Tahun lalu.

\"Mau ditaruh di mana?\" tanya Ricky.

\"Saya belum tahu,\" jawab saya.

Terlalu banyak lokasi di Indonesia yang menunggu kehadiran para penari langit. Khususnya di wilayah timur.

Hanya saja saya juga belum tahu: apakah akan mendapat ijin. Terutama ijin penyerapan listriknya. Saya hanya ingin Ricky segera bersaing pada tingkat dunia.

Saya yakin penemuan teknologi Ricky yang sudah dipatenkan di Jepang itu punya kelebihannya sendiri.

Ricky memang menjawab permintaan saya itu dengan hati-hati. Khas teknolog Jepang. Ia mengatakan masih harus menyusun kekuatan. Kekuatan ratusan mahasiswa yang kini magang di Ciheras, pantai selatan Tasikmalaya.

Kekuatan itu mungkin tidak mudah disusun. Ciheras tidaklah berada di Texas. Yang bisa dapat dukungan dari mana-mana. (**)

Tags :
Kategori :

Terkait