HASIL penelitian Adi Santoso tentang terapeutik erythropoietin (EPO) II segera diproduksi masal. Temuan baru tersebut diharapkan bisa membantu mengurangi beban penderita anemia –yang kebanyakan dialami pasien gagal ginjal dan kanker.
M. HILMI SETIAWAN, Bogor
KOMPLEKS Cibinong Science Center (CSC) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, begitu luas. Asri lagi. Hampir seluruh lahan tertutup pepohonan yang rimbun. Lingkungan yang tenang itu sangat cocok bagi para peneliti untuk berkonsentrasi menggarap proyek-proyek riset.
Di kompleks CSC, terdapat beberapa pusat penelitian (puslit) di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di antaranya, Puslit Bioteknologi, Puslit Biologi, dan Puslit Limnologi. Di kompleks CSC itu, juga bercokol markas Badan Informasi Geospasial (BIG).
Di lantai 2 gedung Puslit Bioteknologi, Adi Santoso berkantor. Peneliti kelahiran Jember, 17 Desember 1960, itu langsung mengajak Jawa Pos masuk ke ruang laboratorium, tempat dia biasa bekerja.
Ruangan berukuran 5x6 meter itu dipenuhi perkakas pendukung risetnya. Antara lain, mikroskop, kulkas, inkubator CO2, dan biological safety cabinet. Masing-masing berjumlah dua unit. Ada pula alat centrifuge untuk pemurnian objek penelitian serta lemari yang berisi tabung kaca dalam berbagai ukuran.
Adi nyaman bekerja di laboratorium yang bersuhu dingin itu. Di freezer kulkas, dia menunjukkan sel-sel makhluk hidup yang sudah membeku tetapi masih hidup. Kemudian, di kulkas bagian bawah, dia memperlihatkan karya monumentalnya. Yakni, protein terapeutik EPO generasi II (EPO II) yang masih berada dalam cairan bening kemerahan.
Protein yang bermanfaat bagi dunia medis itu baru saja dia serahkan kepada PT Bio Farma di Bandung. Di pabrik farmasi tersebut, protein terapeutik EPO bakal diproduksi masal dalam beberapa tahun ke depan.
”Saya merasa bangga. Supaya karyanya mengalir ke luar laboratorium, peneliti harus bekerja sama dengan banyak pihak,” kata suami Avi Fibry Octavina itu. Istri Adi juga bekerja di Puslit Bioteknologi LIPI.
Adi menjelaskan, protein EPO berfungsi merangsang pembentukan sel darah merah (eritrosit) dalam sumsum tulang. Pada keadaan normal, tubuh manusia dapat memproduksi sendiri protein itu di dalam ginjal.
Namun, pada pasien yang mengalami gagal ginjal, produksi protein EPO terganggu. Akibatnya, mereka sering kekurangan sel darah merah atau anemia. ”Anemia juga dialami penderita kanker,” tuturnya. Anemia penderita kanker yang menjalani kemoterapi juga semakin dahsyat.
Protein terapeutik EPO II yang berhasil dikembangkan Adi bersama timnya diharapkan bisa menjadi penolong bagi para penderita anemia itu. Protein terapeutik EPO II yang berwujud cair disuntikkan melalui intravena (IV). Kemudian, protein tersebut akan menstimulasi pembentukan sel darah merah di sumsum tulang (bone marrow).
Setelah disuntikkan, protein EPO II yang dikembangkan Adi itu menuju sumsum tulang. ”Setelah itu, produksi sel darah merah akan mendapatkan rangsangan kembali. Maka, produksi sel darah merah dapat berjalan lagi sebagaimana mestinya,” urai pria lulusan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang itu.
Adi mengaku mulai bersinggungan dengan riset protein EPO pada 2004. Dia ditawari langsung oleh Umar Anggara Jenie, kepala LIPI waktu itu. Umar menugasi Adi supaya mengembangkan riset untuk memproduksi protein EPO dengan media tanaman.
Saat itu Adi mengatakan, kebutuhan protein EPO sangat penting. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Sampai sekarang, papar dia, kebutuhan protein EPO di dunia farmasi masih sangat tinggi.
Jebolan S-2 Animal Sciences dan S-3 Cellular Molecular Biology di North Dakota State University (NDSU) AS itu langsung menerima tawaran tersebut.
”Kebetulan juga, masih ada kaitannya dengan riset saya ketika S-3 dan melakukan postdoctoral research di United States Department of Agriculture (USDA),” jelasnya.
Saat menempuh program doktoral di AS, Adi meneliti gen yang ada dalam lalat rumah. Nama gen tersebut adalah ornithine decarboxylase gene (ODC). Gen itu sudah dia daftarkan ke GenBank, sebuah website gudangnya gen-gen yang ditemukan dari seluruh penjuru dunia.
Menurut Adi, bila diteliti lebih lanjut, gen ODC itu bisa dikaitkan dengan upaya mengobati sel kanker. Sebab, di dalam sel kanker manusia, ternyata kandungan gen ODC tinggi. Ketika teknologi bisa menekan produksi gen ODC, secara teori bisa juga pertumbuhan sel kanker ditekan.
Pada awal penelitian, Adi menggunakan media produksi yang berupa tanaman barley (sejenis gandum). Dia menyuntikkan barley stripe mosaic virus (BSMV) ke tanaman barley. Melalui bantuan virus itu, Adi berhasil memproduksi protein EPO di tanaman tersebut.
Namun sayang, protein EPO yang dihasilkan tanaman barley tidak cocok bagi tubuh manusia. Dia sempat kecewa, tetapi tidak sampai patah semangat. Akhirnya, dia kembali melakukan riset dengan mengubah media produksi. ”Kali ini saya gunakan media yeast (ragi, Red) Pichia pastoris,” tuturnya.
Riset dengan media ragi itu dilakukan dalam rentang 2008 sampai 2011. Anak keenam di antara tujuh bersaudara tersebut mengembangkan lagi produksi protein EPO dengan menggunakan humanized Pichia pastoris. Tujuannya, protein EPO yang dihasilkan lebih cocok untuk dimasukkan ke tubuh manusia.
Namun sayang, Adi kesulitan untuk mendapatkan humanized Pichia pastoris. Dia mengatakan, satu-satunya tempat yang memproduksi zat itu berada di New Jersey, AS. ”Produksi humanized Pichia pastoris itu ternyata dimiliki oleh sebuah perusahaan farmasi di New Jersey. Sangat sulit mendapatkannya,” ungkapnya.
Adi terus memutar otak supaya mendapatkan media produksi yang bisa menghasilkan protein EPO yang cocok untuk dimasukkan ke tubuh manusia. Akhirnya, dia menemukan jawabannya. Yakni, sel mamalia yang bernama CHO-DG44 (Chinese hamster ovary) pada 2012. Sesuai dengan namanya, yang dia pakai itu berasal dari sel ovarium hamster Tiongkok.
”Tapi, jangan dibayangkan kami di sini menernak hamster, kemudian diambil ovariumnya,” ujarnya. Dia mengatakan, untuk penelitian tersebut, pihaknya bekerja sama dengan PT Bio Farma dan Fakultas Farmasi UGM. PT Bio Farma bahkan membelikan mammalian cell line CHO-DG44 yang berharga sampai Rp 300 juta per 1 mililiter.
Setelah punya sel ovarium hamster Tiongkok itu, Adi langsung mengembangbiakkannya melalui teknik kultur sel mamalia. Akhirnya, dia sekarang memiliki stok sel ovarium hamster Tiongkok yang melimpah. Sel yang sangat penting itu tidak hanya bisa digunakan untuk riset produksi protein EPO, tetapi juga protein farmasetik berbasis bioteknologi lainnya.
Adi menjelaskan, riset untuk produksi protein EPO dengan media sel ovarium hamster itu pada skala laboratorium ternyata mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia bahkan memperoleh protein EPO II. Dia mengatakan, banyak sekali keunggulan protein EPO II bila dibandingkan dengan generasi pertama.
Protein EPO generasi pertama hanya memiliki 3 N-linked gugus karbohidrat. Sedangkan protein EPO generasi kedua memiliki 5 N-linked gugus karbohidrat. Karena jumlah gugus karbohidratnya lebih banyak, protein EPO II memiliki waktu paro lebih lama ketimbang generasi pertama.
”Kalau menggunakan protein EPO generasi pertama, pasien itu bisa disuntik 2–3 kali dalam sepekan,” katanya. Tetapi, dengan protein EPO II, pasien cukup disuntik sekali dalam sepekan. Sebab, protein EPO II memiliki ”durasi hidup” lebih lama di dalam tubuh manusia.
Sebagai peneliti, dia bersyukur karena risetnya tentang protein EPO II telah berhasil dan EPO II bakal diproduksi masal oleh kalangan industri.
Dia menuturkan, selama penelitian bertahun-tahun itu, dirinya juga sering menghadapi rasa bosan atau jenuh yang sangat. ”Kalau sudah seperti itu, terapinya adalah mendengarkan musik rock dari grup Oasis,” jelas dia. Obat lain pengusir jenuhnya adalah membaca buku-buku filsafat.
Dengan membaca buku filsafat, Adi mengaku bisa merasakan lebih dalam lagi siapa kita di alam semesta. Lalu, bagaimana kita meresponsnya dalam bentuk tindakan sehari-hari, baik kepada sesama maupun alam sekitar.
Sebelum mempunyai anak, Adi meluangkan waktu untuk membaca buku setelah pulang dari kantor. Kini, setelah dikaruniai momongan kembar, Elang dan Egan, tidak banyak waktu luang yang tersisa. Dia membaca buku pada Sabtu dan Minggu. ”Start baca pukul 03.00 atau 04.00 sampai pukul 10.00,” kata pria yang tinggal di Kota Bogor itu.
Spot paling nyaman bagi Adi untuk membaca buku adalah teras depan atau pelataran belakang rumahnya. Tentu dia membaca sambil ditemani secangkir kopi panas. (*/c11/nw)