ASANDA, 25, masih tidak bisa melupakan kejadian tiga tahun silam. Ketika itu dia berjalan menyusuri bukit untuk menjadi seorang pria sejati. Asanda berada dalam perjalanan untuk disunat.
Biasanya prosesi sunat dilakukan berbarengan dengan puluhan hingga ratusan pemuda lain. Pascasunat, mereka baru sah menyandang status sebagai pria dewasa.
Kebahagiaan sempat membuncah di dadanya. Namun, perasaan tersebut langsung musnah berganti kekecewaan luar biasa begitu prosesi sunat dilakukan. Ada luka di area Mr.P-nya yang mengakibatkan gangrene. Asanda yang ingin menjadi pria seutuhnya malah harus kehilangan barang yang menurutnya paling berharga. Mr.P-nya justru diamputasi.
Asanda kini memang diasingkan dari lingkungan. Sebab, dia mengungkapkan detail upacara sunat itu ke media sebagai bentuk protes. Asanda akhirnya dikucilkan penduduk karena dianggap menghina ritual dan pantas menerima hukuman pukulan yang cukup parah.
’’Orang-orang melihat saya layaknya saya bukanlah seorang pria,’’ ujar Asanda yang tidak mau nama keluarganya disebutkan. Malu luar biasa membuat Asanda mengatakan kepada kekasihnya bahwa dirinya jatuh dari sepeda dan melukai Mr.P-nya. Sayangnya, kekasihnya tidak percaya dan menuduhnya selingkuh. Nasib Asanda ibarat jatuh tertimpa tangga pula.
Asanda tentu saja bukan kasus satu-satunya di Afrika Selatan. Setiap tahun ritual sunatan itu memang memakan korban. Baik itu korban tewas maupun yang kehilangan Mr.P. Berdasar laporan pemerintah yang dikeluarkan pada Minggu (5/7), sepanjang tahun ini saja dilaporkan ada 14 orang tewas dan 141 orang terluka karena prosesi tersebut.
’’Sebanyak 141 orang ini dirawat di berbagai rumah sakit. Mayoritas mengalami luka, dehidrasi, pneumonia, gangrene, dan aseptik penis,’’ tutur Juru Bicara Dinas Kesehatan di Provinsi Eastern Cape Sizwe Kupelo.
Berdasar laporan media, 41 ribu pria di Eastern Cape telah mengikuti upacara menuju kedewasaan itu sepanjang tahun lalu. Prosesi tersebut memang paling banyak dijalankan di Eastern Cape. Remaja pria yang ingin mengikuti inisiasi itu harus membayar ZAR 1.500 (Rp 1,6 juta). Alih-alih menerima perlakuan yang manusiawi, mereka kadang justru kekurangan makan selama prosesi berlangsung.
Ritual menuju kedewasaan memang tidak mudah bagi remaja pria di Afrika Selatan. Bukan hanya karena inisiasi itu tidak gratis, tetapi mereka harus berjudi dengan hidupnya. Sebab, setelah disunat, mereka biasanya diasingkan di daerah bersemak selama 2–4 minggu. Tujuannya, menguji ketahanan fisik mereka.
Tindakan tersebut tentu saja berdampak luar biasa. Sebab, mereka harus berada di alam bebas dengan luka sunat yang masih baru. Padahal, sebagian luka itu mengalami infeksi karena si dukun sunat hanya menggunakan satu alat pemotong untuk semua pria.
Begitu mereka pulang ke rumah masing-masing setelah 2–4 minggu, kondisi lukanya sudah cukup parah. Pada akhirnya, mereka meninggal ataupun diamputasi kelaki-lakiannya.
’’Jumlah korban tewas selalu saja terlalu banyak,’’ ungkap Juru Bicara Bagian Urusan Tradisional dan Kerja Sama Pemerintah di Eastern Cape Mamkeli Ngam.
Biasanya saat datang ke rumah sakit, para korban luka berharap dokter mampu mengobati dan masalah selesai. Kalaupun harus diamputasi, Mr.P mereka tumbuh kembali setelahnya. Itulah yang dikatakan para dukun pelaku penyunatan. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi.
Meski begitu, penduduk Afrika Selatan yang kehilangan Mr.P kini memiliki harapan baru setelah prosedur transplantasi Mr.P bisa dilakukan di negara tersebut. Saat ini sudah ada sembilan pasien yang antre menunggu donor Mr.P agar mereka bisa kembali menjadi lelaki seutuhnya. (AFP/AP/sha/c14/ami)