BENGKULU, BE - Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu, kemarin (9/12) menggelar Rapat Evaluasi Inventarisasi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Peternakan di Provinsi Bengkulu. Kegiatan yang dihelat di Aula Bapelkes Provinsi Bengkulu diikuti oleh perwakilan BLH dari kabupaten/kota se-Provinsi Bengkulu serta perwakilan dari Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu dengan pemateri Kepala BLH Provinsi Bengkulu, H Iskandar ZO SH MSi dan Kabid Pengendalian Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan, Norma Zawani SH MSi.
Dalam kesempatan itu, Iskandar ZO memaparkan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor pertanian dan peternakan. Dari sektor pertanian bisa bersumber dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida, baik dilakukan oleh petani sawah maupun dilakukan petani kebun.
\"Kedepan kita harus mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Karena itu, kami minta kepada BLH kabupaten/kota untuk mensosialisasikan efek dari pupuk kimia ini kepada masyarakat,\" kata Iskandar.
Menurutnya, semakin banyak penggunaan pupuk kimia, maka semakin tinggi pula emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Padahal pemerintah daerah diharapkan berkontribusi menurunkan gas rumah kaca sebesar 24 persen pada 2020 mendatang.
Secara ekonomis penggunaan pupuk berbahan kimia juga tidak diuntungkan, dibandingkan penggunakaan pupuk organik yang bersumber dari kotoran hewan dan pupuk kompos. Sebab, selain pupuk kimia berharga tinggi, hasil yang akan diperoleh pun kurang memuaskan.
\"Misalnya beras yang dihasilkan dari penggunaan pupuk kimia kualitasnya lebih rendah dibandingkan pupuk organik. Karena itu kami meminta agar kita semua mengsubtitusikan atau menggantikan pupuk kimia ke pupuk organik,\" paparnya.
Sementara disektor peternakan, mantan Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Bengkulu ini mengungkapkan bahwa kotoroan hewan merupan penyumbang Gas Rumah Kaca tertinggi. Sebab uap dari kotoran hewan tersebut sangat berbahaya, jika terkena tanaman maka langsung mati.
\"Kita tahu bahwa sejak beberapa waktu belakangan ini Pemerintah Provinsi Bengkulu semakin genjar memberikan bantuan berupa sapi kepada masyarakat untuk dikembangkan. Tanpa kita sadari bahwa ternak sapi akan mendatangkan Gas Rumah Kaca dan ini sangat berbahaya bila tidak dicarikan solusinya,\" jelasnya.
BLH sendiri sudah menjalin kerjasama dengan LIPI untuk menanggulangi kotoran hewan tersebut agar tidak menjadi Gas Rumah Kaca, yakni dengan melakukan pemasangan instalasi biogas dan bio elektrik. Dengan demikian, kotoran sapi yang baru dikeluarkan bisa diubah menjadi gas yang bisa digunakan untuk keperluan memasak dan bio elektrik yang bisa digunakan untuk dijadikan bahan baku genset listrik.
\"Pemasangan instalasi dengan memanfaatkan kotoran sapi ini sudah kita lakukan dibeberapa titik di Provinsi Bengkulu, hasilnya sangat memuaskan, masyarakat sekiyat tidak perlu lagi memasak menggunakan kayu bakar atau kompor gas. Selain memanfaatkan kotoran sapi, kita juga sudah memasang instalasi pipa komunal dengan memanfaatkan kotoran manusia. Ini kita pasang di Pondok Pesanteran Pancasila, Pondok Pesantren Hidayatullah dan Rusunawa Unib,\" urainya.
Sementara itu, Norma Zawani SH MSi memaparkan bahwa dari sektor pertanian GRK juga disebabkan oleh emisi metana dari pengelolaan sawah, emisi karbondioksida dari pengapuran tanah pertanian, emisi karbokdioksida dari penggunaan pupuk urea, emisi dinitrogen dari pengelolaan tanah, emisi non karbondiaksida dari pembakaran biomassa, fermentasi enterik hewan ternak dan pengelolaan hewan ternak.
Sedangkan di sektor peternakan, di Bengkulu sangat banyak jenis ternak yang menghasilkan gas metana, seperti sapi pedaging, sapi perah, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, ayam dan bebek.(400)