*** HALAMAN depan rumah tipe 70 di Perumahan Pamulang Permai itu penuh dengan barang konfeksi. Berbagai bahan untuk pembuatan tas tertumpuk di sejumlah sudut. Ada kain kanvas, benang berbagai warna, sampai ritsleting. Di sekitar barang-barang tersebut juga ada sejumlah mesin jahit dan obras.
Pemandangan di dalam rumah tak jauh berbeda. Barang konfeksi tergeletak di mana-mana. Kecuali televisi, tak tampak perabotan lain yang memperlihatkan rumah itu sebagai tempat tinggal. Yang mencolok di dalam rumah hanyalah sebuah pigura ukuran A4. Pigura tersebut bertulisan nama Achmad Nuril Mahyudin sebagai Pahlawan untuk Indonesia. Sebuah penghargaan yang diberikan salah satu televisi swasta nasional November lalu.
Nuril merupakan pengontrak rumah itu. Dia menjadikan rumah tersebut arena workshop konfeksi pembuatan tas bermerek Amphibi dan Reptile. Meski skalanya home industry, tas yang diproduksi Nuril telah menembus pasar internasional. Nuril beberapa kali mendapatkan pesanan dari mahasiswa di University of Melbourne dan National Resource Management. Dia juga sempat menunjukkan tas yang dipesan The British International School Jakarta. Menariknya, tas itu dikerjakan anak-anak kurang mampu yang dijaring Nuril dari berbagai daerah. ”Sejak awal berdiri pada 1998, saya memang sengaja membuat usaha ini untuk memberdayakan anak-anak dari keluarga kurang mampu,” ujar pria yang masih melajang tersebut.
Usaha konfeksi itu dibangun Nuril bersama sahabatnya, Zaki Zulkarnaen, yang baru saja tutup usia karena sakit kanker saraf sebulan lalu. Nuril dan Zaki awalnya merekrut anak muda di sekitar kontrakannya di Pamulang sebagai pekerja. ”Saya tak anggap mereka sebagai pekerja, tapi keluarga yang ingin saya didik untuk bisa mandiri,” tegasnya.
Sejak usahanya berdiri 16 tahun lalu, puluhan pemuda berhasil dia cetak sebagai wirausahawan. Kebanyakan anak-anak binaan dientaskan ketika akan menikah. Biasanya Nuril akan memberikan modal dan peralatan kerja konfeksi sampai membukakan pasar untuk anak didiknya. ”Banyak yang karena kegigihannya sampai sekarang berhasil bertahan di bisnis konfeksi. Sebagian lainnya memang ada yang gagal,” ujarnya. Kini ada sekitar 12 anak didik yang masih berstatus ”pegawai” di konfeksi milik Nuril.
Bisnis konfeksi itu selama ini merupakan modal Nuril menjalankan misi sosialnya. Setiap bulan Nuril mencatat keuntungan Rp 20 hingga 30 juta. ”Tapi, itu belum dikurangi gaji karyawan,” ungkapnya. Keuntungan bersih dari bisnis konfeksi tersebut digunakan sebagai biaya membangun sarana sosial di sejumlah daerah terpencil di Jawa.
”Sudah sekitar 25 tahun saya keluar masuk desa terpencil untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat sekitar dengan apa yang saya miliki,” bebernya. Dulu, sebelum memiliki usaha, alumnus Pondok Pesantren Gontor itu mengaku hanya bisa mengajar. Mulai mengajar mengaji sampai bahasa Indonesia dan Arab.
Blusukan-nya ke daerah terpencil diakui Nuril sebagai bagian dari laku spiritualnya. Dalam perjalanan spiritual itu pula Nuril juga menekuni seni lukis kaligrafi. Nah, dari sinilah Nuril mendapatkan banyak modal untuk mewujudkan misi sosialnya. ”Sudah lama sebenarnya saya menekuni karya lukis. Tapi, setelah melalui perjalanan spiritual, saya menemukan aliran lukis saya sendiri,” terangnya.
Lukisan Nuril memang diakui sejumlah pemerhati seni memiliki kelebihan tersendiri. Kepada koran ini Nuril sempat menunjukkan beberapa dokumentasi pameran yang pernah dilakoninya. Termasuk testimoni dari sejumlah pejabat negara. Salah satunya mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Dia menilai karya Nuril bagian dari seni intelektual yang tinggi dan layak mendapatkan tempat di peta seni lukis nasional. Lukisan kaligrafi Nuril juga pernah dipajang di ruang peristirahatan presiden di Lemhanas Eksekutif. Lukisan itu kini dibanderol Nuril USD 185 ribu.
Karya-karya Nuril tersebut sekarang masih tersimpan di sebuah tempat yang dia rahasiakan. Dia sempat menunjukkan foto yang memuat gambar detail lukisannya. Sepintas karya Nuril terlihat kental akan nuansa abstrak, namun juga impresionis. Nuril mengakui bahwa goresannya menyerupai sentuhan master pelukis asal Belanda Vincent van Gogh. ”Tapi, saya merasa memiliki kelebihan dalam sentuhan cat yang bisa menimbulkan bentuk tiga dimensi,” ujarnya. Nuril menamai aliran lukisannya itu Wet Positive Abstract of Nurielist.
Hasil menjual lukisan Nuril jadikan modal bisnis konfeksi. Sampai kini Nuril pun tetap menjual lukisannya, namun dalam bentuk replika. Sebab, dia trauma waktu menjual lukisan asli dengan menggandeng pihak perantara penjual lukisan, kerja sama itu berantakan.
Untuk meningkatkan nilai jual, lukisan replika tersebut dijual dalam ukuran besar dan dengan desain bingkai yang menawan. ”Saya menjual replika untuk kegiatan kemanusiaan yang selama ini saya gagas bertahun-tahun,” ungkapnya. Sampai sekarang dia memang masih aktif blusukan ke sejumlah pelosok desa untuk melakukan kegiatan sosial tanpa embel-embel lembaga mana pun.
Sebelum Zaki meninggal, biasanya Nuril memasrahkan bisnis konfeksinya ke sahabatnya tersebut. Nuril biasanya pergi ke desa terpencil yang sudah dipantau dalam waktu dua minggu sampai satu bulan. Di sana dia memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa sekitar.
Nuril sempat menunjukkan video berisi tayangan televisi yang memberinya penghargaan Pahlawan untuk Indonesia. Dalam video itu Nuril menunjukkan sumbangsihnya membangun sumur air bersih untuk warga Dusun Gede Pandean, Desa Kebon Waru, Ngawi.
Sebelum ada sumur itu, air bersih merupakan pemandangan langka bagi warga desa, terutama saat kemarau tiba. ”Biasanya warga harus masuk hutan untuk mencari air. Itu pun keruh dan harus diendapkan semalam agar bisa dibuat memenuhi kebutuhan,” jelasnya.
Dengan uang pribadi yang dibawanya, Nuril mengajak warga bergotong royong membangun sumur. ”Sekarang warga sudah punya air bersih dari sumur tersebut,” ucapnya. Di desa itu Nuril juga membangunkan warga sarana MCK. Pria tamatan Jurusan Pendidikan STIT Tangerang Raya tersebut juga punya sejumlah proyek sosial lainnya, baik di Ngawi maupun beberapa kota. Salah satu yang unik adalah proyek yang diberi nama Gurem atau Gudang Remukan Sepeda. Melalui proyek itu dia mengajak anak-anak desa di Ngawi mencari sepeda kuno yang sudah rusak. Dengan pengetahuannya tentang sepeda kuno yang mumpuni, Nuril mengajari anak-anak tersebut merestorasi sepeda kuno untuk dijual kembali. ”Lumayan, ada yang laku Rp 12 juta. Di luar ongkos restorasi, keuntungan semuanya saya berikan ke mereka,” jelasnya.
Foto proyek sosial lain didokumentasikan dengan baik oleh Nuril dan disimpannya di netbook mininya. ”Foto-foto ini saya tunjukkan ke anak-anak (karyawan konfeksi Nuril). Sebab, mereka saya biasakan untuk ikut urunan mewujudkan misi sosial ini,” terangnya.
Setiap bulan ada tambahan dana mulai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta untuk bekal Nuril blusukan. Dana urunan itu dimasukkan dalam celengan sedekah yang ditaruh di pojok arena workshop. Jawa Pos sempat diajak membuka isi celengan. Ada isi uang mulai Rp 5.000 hingga Rp 100.000 yang menunjukkan bahwa dana urunan itu berasal dari sisa kebutuhan sehari-hari karyawan Nuril. Dengan cara itu Nuril ingin menumbuhkan semangat saling membantu meskipun mereka dalam kondisi yang tergolong masih kekurangan.
Nuril menitikkan air mata ketika ditanya kepuasan yang didapatkan dari aktivitas sosialnya selama ini. ”Saya menemukan kebahagiaan yang tidak bisa saya ungkapkan dan tak bisa diganti dengan materi apa pun,” tuturnya. Nuril mengaku sejak remaja sudah menyampaikan ke ibundanya ingin menjadi seseorang yang bisa memberi contoh keteladanan. Nuril ingin mewujudkan keinginan itu dengan berupaya mengorbankan apa yang dimilikinya. Bahkan, sampai saat ini pun Nuril mengaku belum memiliki rumah. Satu-satunya barang berharga yang dibeli untuk kepentingan pribadinya hanya sebuah motor bebek butut. (*/c9/kim)