Perjuangan Budi Setiawan Menjadikan Belitung Destinasi Wisata
Film Laskar Pelangi (2008) memang berdampak signifikan terhadap popularitas Belitung, Bangka Belitung, di level domestik maupun mancanegara. Tapi, sebelum itu, Budi Setiawan melakukan berbagai langkah konkret agar daerah yang dianugerahi aneka pulau indah dengan air laut yang jernih itu layak menjadi destinasi wisata.
Cuaca akhir pekan pada minggu terakhir Agustus lalu begitu cerah di Pantai Tanjung Kelayang, Tanjung Pandan, Belitung. Perahu motor yang membawa Jawa Pos bersama tim dari PT Mandiri Sekuritas bersiap melaju menuju tiga pulau kecil di Provinsi Bangka Belitung itu.
Sekitar 10 menit kemudian, perahu sudah menepi di Pulau Pasir, pulau mungil yang hanya bisa disinggahi jika air laut sedang surut. Di tempat tersebut, rombongan berhenti sejenak untuk melihat-lihat pemandangan serta mengabadikan aneka binatang laut yang hidup di pantai itu.
Tidak lama berselang, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Menara. Di pulau tak berpenghuni itu terdapat menara tinggi yang bisa diakses dengan menaiki 500 anak tangga. Di situ, rombongan kembali memotret sana-sini dan berusaha menaklukkan menara menjulang tersebut.
Tujuan akhir perjalanan wisata siang itu adalah Pulau Kepayang. Satu-satunya pulau berpenghuni di kawasan tersebut. Di destinasi itu, pengunjung bisa menikmati makan siang makanan khas Belitung, minum kelapa muda, sekaligus melihat penangkaran penyu sisik.
Batu granit sebesar rumah menyambut tetamu di depan pulau yang mengandung air mineral bersih itu. Sesosok pria kurus dengan rambut gondrong sudah menyongsong pengunjung yang mampir. Dialah Budi Setiawan, koordinator Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB), yang menetap di Pulau Kepayang bersama puluhan warga lainnya.
’’Pulau ini menjadi pusat konservasi terumbu karang dan penangkaran penyu sisik,’’ ucapnya kepada rombongan dari Jakarta itu.
Menurut Budi, Pulau Kepayang memang strategis menjadi base camp bagi terumbu karang dan penyu sisik. Selain lautnya bersih, pulau seluas 13 hektare tersebut sangat indah dihiasi bebatuan granit raksasa di pinggir pantai, pohon nyiur, dan perbukitan yang hijau.
Budi dengan KPLB-nya dipercaya pemerintah untuk mengelola pulau tersebut. Tapi, hal itu tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, pulau cantik tersebut dulu sempat ’’dikuasai’’ para pemilik modal dari Jakarta yang ingin memilikinya. Di antaranya, pengusaha Eddy Sofyan dan Tommy Soeharto, bungsu presiden kedua Indonesia.
Saat itu, privatisasi pulau sedang marak dan menjadi kontroversi. ’’Ancaman paling nyata dari privatisasi pulau saat itu adalah kepunahan penyu di pulau ini. Apalagi para pemodal berencana membangun hotel di kawasan pantai yang justru merusak lingkungan. Untungnya, hotel tak jadi didirikan,’’ papar pria kelahiran Lassar, Belitung, 3 November 1976, tersebut.
Budi lalu memosisikan diri sebagai mitra pemerintah yang siap mengelola lingkungan pulau tersebut. ’’Tanpa dikelola dengan baik, pulau itu akan rusak dan ekosistem di sekitarnya punah. Selain itu, tidak mendatangkan income bagi pemerintah daerah,’’ tuturnya.
Perjuangan pembebasan pulau tersebut dimulai pada 2006. Dengan langkah teknis yang diusulkan, Budi berhasil meyakinkan pemerintah bahwa ada cara untuk kembali menguasai pulau itu. Dia juga mengusulkan pulau tersebut dijadikan tempat tujuan wisata yang bisa mendatangkan pemasukan bagi pemerintah daerah.
Dalam proses pembebasan itu, Budi menghadapi banyak rintangan. Ketika akhirnya yayasannya (KPLB) mendapat izin untuk mengelola pulau tersebut, Budi digeruduk wakil dari pihak yang mengaku pemilik sah atas pulau itu.
’’Memang datangnya baik-baik, tapi tujuannya mau mengusir kami. Mereka kasih kami kertas untuk ditandatangani yang intinya meminta kami meninggalkan pulau ini. Tapi, landasan kami kuat. Jadi, akhirnya kami yang menang,’’ ungkapnya berkisah.
Suami Rica Kurniasih itu sadar bahwa dirinya berhadapan dengan para pemodal besar dari Jakarta. Karena itu, mentalnya sudah disiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan datangnya bahaya. Untungnya, dalam perkembangannya, tidak ada ancaman langsung yang membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.
Namun, tetap saja ancaman itu datang, meski dalam bentuk berbeda. ’’Antek-antek di bawahnya kan banyak. Saya dapat informasi dari sumber tepercaya bahwa HP saya disadap. Kalau saya beraktivitas terkait lingkungan, intel-intel atau polisi juga rajin mengawasi,’’ ujar ayah Keysha, 6; Ahdan, 3,5; dan Asyiila, 1 bulan, tersebut.
Tapi, Budi pantang menyerah. Tekadnya untuk membuat Belitung tetap sehat dan mandiri sudah di depan mata. Telah banyak pengorbanan yang dilakukan sehingga mendorong dirinya untuk terus maju mewujudkan impian itu.
Rancangan atas visi-misinya membangun kampung halaman muncul sejak Budi berstatus mahasiswa tahap akhir jurusan Sastra Jerman di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Saat itu, 1996, dia mengumpulkan seluruh mahasiswa asal Belitung yang berada di Kota Kembang untuk bermusyawarah terkait dengan pembangunan kota kelahiran mereka.
’’Waktu itu potensi yang terlihat di Belitung memang tidak ada yang lain kecuali pertambangan (tambang timah). Padahal, di sisi lain, ada potensi besar yang sedang terancam. Yakni, lingkungan pulau-pulaunya,’’ ungkap Budi.
Di tengah isu lingkungan yang belum dinilai seksi dan krusial saat itu, Budi berhasil mengumpulkan 60 mahasiswa sekampung halaman pada pertemuan pertama. Namun, pada pertemuan kedua hanya tersisa setengahnya. Terakhir, hanya seorang mahasiswa yang mau diajak membangun pulau kelahiran penulis tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata itu.
Sesampai Budi dan seorang temannya di kampung halaman, bergabung dua relawan. Lalu, empat orang itu membentuk organisasi konservasi lingkungan. Mereka melakukan kampanye lingkungan, memberdayakan masyarakat, dan membina generasi muda untuk cinta lingkungan.
Tantangan nyata dihadapi Budi dkk saat terjadi krisis moneter yang berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja PT Timah. Banyak pekerja yang mau tidak mau beralih profesi menjadi petani dan nelayan.
Masalahnya, cara menangkap ikan para nelayan kala itu sangat merusak lingkungan. Mereka menggunakan bom dan campuran potasium. ’’Itulah tantangan kami untuk menyadarkan para nelayan sekaligus mengedukasi mereka bagaimana cara mencari ikan yang benar,’’ bebernya.
Bukan hanya itu, Budi juga mengajari mereka berbisnis ikan hias. Berbagai pelatihan pun dilakukan. Bahkan, para nelayan dididik agar bisa menyelam dengan baik dan bersertifikat.
Setelah dinilai layak beroperasi, bisnis baru menangkap ikan hias dimulai. Budi perlahan melepas dan memantau aktivitas para nelayan itu dari jauh. Di sisi lain, dia mulai mendapat banyak dukungan dari lembaga-lembaga berpengaruh. Di antaranya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan University of Florida, AS. Ahli dari Florida itu mengajari cara mengemas ikan hias agar tetap sehat saat diekspor ke Eropa dan AS.
’’Suatu saat saya kembali mendatangi para nelayan. Kali ini saya memberi tahu bahwa ikan hias banyak terdapat di terumbu karang, bukan di tengah laut,’’ cerita Budi.
Agar lebih mudah mendapatkannya, Budi bersama para nelayan membuatkan rumah-rumahan untuk menanam terumbu karang di area dekat pantai. ’’Itulah salah satu cara kami dalam konservasi terumbu karang,’’ tuturnya.
Dia mengakui bahwa awalnya tidak mudah mengajak para nelayan berbisnis ikan hias dan meninggalkan cara menangkap ikan dengan bom. Sebab, mayoritas nelayan terlibat transaksi ijon dengan para tengkulak. ’’Saat para nelayan itu tidak punya uang, mereka pinjam kepada para tengkulak. Sebagai gantinya, nanti saat panen, ikannya harus dijual kepada si tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan. Harganya jadi murah.’’
Selain di Pulau Kepayang, Budi dkk mempunyai dua pulau besar lain untuk konservasi lingkungan. Dua pulau lainnya itu adalah Pulau Batu Mentas dengan konsentrasi menjaga keberadaan tarsius, sejenis monyet namun berukuran mungil seperti tupai. Binatang itu harus dijaga karena merupakan salah satu identitas Belitung.
Lalu, Pulau Mendanau yang di dalamnya terdapat Kecamatan Nasik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Nasik termasuk kecamatan termiskin di Belitung. ’’Mereka miskin bukannya tidak bisa makan, tapi karena tidak pegang uang cash,’’ tegasnya.
Kini Budi memberdayakan tiga pulau besar tersebut yang dimulai dari Pulau Kepayang sebagai pusat konservasi terumbu karang dan penyu sisik. Tercatat lebih dari 10 ribu penyu dikembalikan ke habitatnya sejak 2006. Kemudian, Pulau Batu Mentas menjadi pusat konservasi tarsius dan Pulau Mendanau sebagai pusat ekowisata.
’’Selain tiga pulau itu, ada 24 pulau kecil lain yang menjadi tanggung jawab kami,’’ tandasnya. (*/c5/ari)