Menyadap untuk Kepentingan Amerika

Rabu 20-11-2013,08:00 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

HUBUNGAN Pemerintah RI dengan Australia memanas. Gara-garanya, terbongkar ulah badan intelijen Australia, Defence Signals Directorate (DSD), yang menyadap ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudyonono, dan beberapa petinggi lain termasuk menteri BUMN era 2007-2009, Sofyan Djalil .

Apa sebenarnya kepentingan Australia? Bagaimana hubungan Australia dengan RI selama ini? Berikut wawancara wartawan JPNN Soetomo Samsu, dengan pengamat militer yang juga mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko, Prof.Dr.Salim Said, MA, MAIA, di Jakarta, kemarin (19/11).

Bagaimana Anda melihat kasus penyadapan oleh Australia ini?

Australia itu tak pernah percaya 100 persen kepada kita. Itu dari dulu. Hubungan Indonesia dengan Australia selalu naik turun. Meski mereka bilang Indonesia merupakan negara partner, tapi tak pernah percaya 100 persen ke kita. Jadi saya tak terkejut atas penyadapan ini.

Apa kiranya kepentingan Australia hingga menyadap begitu banyak petinggi RI?

Saya curiga, ini bagian dari penyadapan global yang dilakukan Amerika. Australia itu bekerja untuk Amerika. Amerika ingin tahu banyak tentang Indonesia dan Australia punya alat sadap yang canggih untuk meng-cover Indonesia. Ingat, Australia itu pembantu Amerika untuk wilayah Asia Tenggara. Amerika senang atas kesediaan Australia menjadi pembantunya.

Jadi tak hanya Indonesia yang disadap Australia?

Sadap menyadap itu biasa dilakukan, tapi saya tak bilang itu legal atau bagus. Amerika juga menyadap telepon PM Jerman. Itu ribut kalau ketahuan. Wajar pemerintah Indonesia marah karena itu tidak benar secara etika. Bilangnya berteman kok menyadap.

Kalau untuk kepentingan Amerika, kepentingan Australia sendiri apa? Kok menteri BUMN juga disadap?

Kita tak tahu semua kepentingan Australia. Yang pasti Australia tahu bahwa Indonesia tidak akan menyerang mereka. Tapi ini menyangkut rasa keingintahuan Indonesia kecenderungannya ke mana, lebih ke persaingan ekonomi global, Amerika versus China. Australia juga punya kepentingan untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai hal itu, sehingga presiden, ibu negara, jubir, para menteri, disadap untuk tahu Indonesia bergerak ke mana.

Bagaimana Anda melihat reaksi pemerintah RI?

Sudah bagus. Dubes ditarik. Tapi kita tak bisa berbuat lebih dari itu. Perkiraan saya, ketegangan ini hanya berlangsung satu hingga dua bulan saja bisa diatasi. Australia itu punya aturan dilarang terhadap kegiatan-kegiatan intelijennya. Jadi tak mungkin pemerintah Australia akan meminta maaf. Karena jika meminta maaf sama saja mengakui memang benar menyadap.

Sebelumnya pernah terjadi yang seperti ini?

Australia menyadap itu bukan barang baru. Saat kasus Timtim dulu, dari Darwin petinggi-petinggi TNI kita disadap habis-habisan. Kita juga tahu itu. Bagi Australia, itu biasa. Tapi kita tak boleh diam saja untuk kasus yang sekarang ini.

Banyak kalangan berpendapat, dalam hubungan antarnegara, menyadap itu biasa. Pendapat Anda?

Saya ini bekas Dubes. Kedubes itu salah satu tugasnya mengumpulkan informasi tentang negara tempat penugasan, yang selanjutnya dilaporkan ke pemerintah kita. Kedubes itu kantor intelijen terbuka, resmi. Negara yang punya modal besar, sudah tentu akan menggunakan alat sadap yang canggih, tidak akan mau hanya mengandalkan informan-informan. Sejumlah Kedubes di Jakarta sudah lama melakukan penyadapan. Kita tahu itu. Nah, daripada kita ribut terus, lebih baik menyiapkan diri bagaimana caranya mencegah agar kita tak disadap.

Jadi aksi penyadapan itu antara legal dan ilegal, begitu?

Amerika dan Jerman itu bersahabat loh, toh Jerman juga disadap. Pernah dengar cerita, bagaimana kantor Kedubes Amerika di Rusia dulu dibangun? Oleh buruh-buruh Rusia, semua sudut sudah dipasangi microfone. Itu biasa. Intelijen mencari informasi negara lain itu sama tuanya dengan usia negara itu. ***

Tags :
Kategori :

Terkait