Bukan Densus Antikorupsi tapi Densus 86

Selasa 29-10-2013,08:22 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

WACANA agar Mabes Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi mendapat tanggapan miring dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.

Pria yang aktif di komunitas \"anak Medan\' di Jakarta itu menilai, percuma saja Densus Antikorupsi dibentuk. Alasannya, selama ini Polri sudah punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) namun kinerjanya sangat loyo.

Dia khawatir, jika Densus Antikorupsi dibentuk, nantinya malah mendapat julukan Densus 86, karena gampang diajak \"damai\" para koruptor.

Berikut wawancara wartawan JPNN dengan Neta di Jakarta, kemarin (28/10).

Tanggapan Anda terhadap wacana pembentukan Densus Antikorupsi di Polri?

Itu kan wacana dilontarkan anggota Komisi III DPR Ahmad Yani saat fit and proper test Sutarman sebagai calon kapolri. Sutarman menelan mentah-mentah wacana itu untuk pencitraan saja. Pembentukan Densus Antikorupsi di Polri bukan sesuatu yang mendesak karena Polri sudah punya Dirtipikor yang ada hingga di Polda. Terlebih sudah ada KPK, di Kejaksaan juga sudah ada.

Anda menolak wacana ini?

Ya, karena kalau mau serius memberantas korupsi, maksimalkan saja kinerja Dirtipikor. Anggaran ditambah, personil ditambah, kewenangan juga ditambah. Dulu pemerintah pernah membentuk Timtas Korupsi, umurnya hanya setahun, kerja tak jelas. Juga pernah ada Tim Pemburu Koruptor, yang antara lain tugasnya memburu koruptor dan aset-asetnya yang ada di luar negeri. Sama saja, umur setahun, kerja tak jelas. Jadi buat apa Densus Antikorupsi? Malah bisa menjadi predator, rebutan kasus dengan KPK.

Anda tak yakin Polri mau serius memberantas korupsi?

Karena konsepnya juga tak jelas. Densus Antikorupsi jika dibentuk, lantas hasil pengusutannya di-BAP. BAP tetap harus dilimpahkan ke kejaksaan. Kalau kejaksaan tak sevisi, ya dikembalikan lagi ke Densus itu. Sesuai MoU MA, Kepolisian, dan Kejaksaan, jika berkas bolak-balik tiga kali, harus SP3. Kalau di KPK kan tidak, berkas bisa langsung diserahkan KPK ke pengadilan tipikor.

Jika harus memaksimalkan saja kinerja Dirtipikor, aspek mana yang harus diperbaiki?

Ada tiga yakni tambah anggota, tambah anggaran, dan tambah kewenangan. Kalau anggaran, mulai 2013 ini kan anggarannya per kasus Rp200 juta. Sebelumnya hanya Rp25 juta. Kalau di KPK anggaran per kasus Rp250 juta. Jadi sudah beda tipis dengan anggaran KPK.  Hanya tinggal penambahan personil dan kewenangan.

Kewenangannya harus seperti apa?

Kalau Polri mau serius, kewenangan penyadapan harus ditambah. Begitu juga kewenangan penangkapan. Misalnya kasus korupsi oleh kepala daerah, Polri bisa langsung menangkap tanpa harus direcoki masalah izin penangkapan dari presiden. Kalau mau nangkap saja harus izin, kapan mau memeriksa? Ini harus diubah.

Hal itu juga yang menyebabkan Dirtipikor Polri selama ini mandul?

Ya, tidak ada kemauan yang kuat. Pemberantasan korupsi oleh polri sangat loyo. Dirtipikor sejak dulu sampai sekarang belum pernah menangani kasus korupsi di tubuh polri. Menurut survei Transparency International Indonesia, polri merupakan institusi terkorup.

Bagaimana jika Sutarman sebagai Kaporli yang baru tetap membentuk Densus?

Kalau Densus Antikorupsi dibentuk hanya untuk pencitraan, ya nantinya menjadi Densus 86, damai-damai terus dalam menangani kasus korupsi.  Sekarang saja ada 25 kasus korupsi besar yang mandek di Dirtipikor Polri. Kasus terbaru ada kasus tanda nomor kendaraan bermotor yang diduga melibatkan beberapa jenderal. Sudah satu tahun kasus ini diambil alih Bareskrim dari KPK. (sam/jpnn)

Tags :
Kategori :

Terkait