JAKARTA - Hubungan bilateral RI-Korea Selatan makin hangat. Setelah Korea menyatakan komitmen investasi hingga USD 4,14 miliar atau sekitar Rp 46 triliun, kini Korea kembali menyatakan untuk menjalin penguatan sektor perdagangan dan pasar keuangan dengan Indonesia.
Kerjasama itu dituangkan dalam bilateral currency swap arrangement (BCSA) pada Sabtu (12/10) malam. Diteken oleh masing-masing pimpinan bank sentral, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Gubernur Bank Korea Kim Choong-soo, kesepakatan tersebut senilai Won 10,7 triliun atau setara Rp 115 triliun, atau ekuivalen USD 10 miliar. Bahkan, nilai konsensus itu melebihi perjanjian yang sama pada 2009 silam, yang hanya USD 2 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah mengatakan, perjanjian tersebut bertujuan untuk mempromosikan perdagangan bilateral, dan memperkuat kerjasama keuangan yang bermanfaat bagi kedua negara. Dengan BCSA, maka pelaku perdagangan antara kedua Negara tak perlu lagi memakai dollar sebagai alat tukar internasional. Sehingga, kebutuhan terhadap dollar pun dapat diminimalisasi.
Sebagaimana diketahui, saat ini dollar AS masih menjadi mata uang pertama untuk transaksi internasional dengan porsi transaksi mencapai 84,4 persen. Berikutnya disusul EURO dengan komposisi 7 persen, dan renmimbi Tiongkok sebesar 4 persen.
Maka dalam hal ini, kedua belah pihak Indonesia dan Korea Selatan sepakat bahwa kerjasama ini akan berkontribusi secara positif terhadap stabilisasi pasar keuangan regional, dan memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan bilateral untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. \"Fasilitas bilateral Korea Won dengan Rupiah tersebut akan berlaku efektif selama tiga tahun, dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua belah pihak,\" ungkap Difi.
Sebelumnya, Indonesia juga telah menandatangi kesepakatan swap mata uang dengan Renmimbi atau Yuan Tiongkok senilai USD 15 miliar atau setara Rp 175 triliun. Kesepakatan antara dua bank sentral tersebut diteken oleh Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Gubernur People\'s Bank of China, Zhou Xiaochuan, di Jakarta, pada Selasa (1/10).
Menurut Agus, dengan adanya swap devisa, diharapkan bakal meningkatkan perdagangan dan investasi langsung antara Indonesia dengan Tiongkok. Ini lantaran, perusahaan Indonesia yang melakukan kegiatan ekspor-impor tak perlu lagi mengubah mata uang rupiah dengan Dollar, namun bisa langsung ke Yuan. Begitu juga sebaliknya bagi perusahaan Tiongkok.
Selain itu, BCSA juga dapat membantu penyediaan likuiditas jangka pendek, untuk menyetabilisasi pasar keuangan. \"Dengan demikian kami meyakini kerjasama antar bank sentral ini semakin meningkatkan kepercayaan pasar terhadap kondisi fundamental perekonomian Indonesia,\" papar Agus.
Kerjasama RI- Tiongkok ini juga ditangkap sebagai peluang oleh perbankan. Direktur PT Bank Mandiri Tbk Sunarso mengatakan, saat ini transaksi perdagangan dengan Tiongkok di Bank Mandiri sendiri menjadi yang terbesar kedua setelah Singapura.
Namun, dia mengakui secara jumlah transaksi dengan Tiongkok masih cukup kecil. Pada Januari hingga Agustus tahun ini, nilai transaksi perdagangan Bank Mandiri ke Tiongkok dan Hongkong yang menggunakan L/C mencapai USD 783,43 juta, atau sekitar 15,5 persen dari total transaksi trade L/C perbankan pelat merah tersebut.
\"Shanghai branch kami baru boleh bertransaksi menggunakan renmimbi pada 2012. Hal ini karena regulasi di Tiongkok sangat ketat. Jadi fasilitas perdagangan renmimbi ini kami rasa masih belum telat,\" ujarnya. (gal)