Mendalami Kasus Penembakan Bripka Sukardi
JAKARTA - Polisi menemukan titik terang dalam penyidikan kasus penembakan Bripka Sukardi, anggota Provos Ditpolair Baharkam Mabes Polri, di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa malam (10/9). Peluru yang menewaskan pria 46 tahun itu berasal dari kaliber 4,5 milimeter (mm). Pistol berjenis FN (Fabrique Nationale Hestal, nama pabrik senjata di Belgia).
\"Saat ini masih dikembangkan untuk mencari register pelurunya oleh Labfor (laboratorium forensik),\" ujar Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Mabes Polri Komjen Badrodin Haiti kemarin (11/9).
Pistol FN kaliber 4,5 mm adalah senjata organik yang biasa digunakan oleh aparat, baik dari kepolisian atau TNI. \"Kita belum bisa memastikan itu pistol yang resmi atau rakitan atau dari pasar gelap. Masih disidik,\" kata Badrotin.
Polisi juga mencari senjata revolver milik Bripka Sukardi yang dirampas pelaku. Anggota korps Provost bersenjata revolver (silinder berputar) dan bukan pistol. \"Ini merupakan kehilangan besar bagi Korps Baharkam,\" katanya. Polisi Air (Polair) adalah Direktorat di bawah Baharkam Mabes Polri.
Fakta penggunaan pistol FN kaliber 4,5 mm oleh pelaku memunculkan analisis bahwa kasus penembakan Bripka Sukardi berbeda dengan penembakan empat polisi sebelumnya yang terjadi dalam kurun tiga bulan terakhir. Saat itu pelaku menggunakan peluru kaliber 9 mm. Peluru kaliber 4,5 mm susah dicari. Bahkan di pasar gelap sekalipun. Karena itu, bisa jadi pelaku dalam dua kasus tersebut berasal dari kelompok berbeda. Tentu dengan modus yang berbeda pula.
Wakapolri Komjen Oegroseno menekankan penyidikan harus berdasar olah tempat kejadian perkara (TKP). \"Kami hormati komentar kanan kiri dari pengamat, tapi biarkan penyidik bekerja profesional dulu,\" ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Oegro menilai, spekulasi yang berkembang bisa mengaburkan fakta-fakta yang diperoleh di TKP. \"Penyidik harus objektif, dan bekerja secepatnya berdasar fakta. Hindari persepsi dan asumsi dulu,\" katanya.
Penyidik Resmob Polda Metro Jaya mengaku ragu aksi itu dilakukan oleh teroris seperti yang terjadi di Tangerang Selatan (Tangsel) beberapa waktu lalu. Perbedaan itu terlihat dari lokasi, waktu, dan pelaku. Penembakan di Tangsel terjadi di tempat sepi dan waktunya menjelang pagi.
Sedangkan yang terjadi di depan gedung KPK itu area terbuka, kendaraan masih ramai dan banyak saksi mata di lokasi. Selain itu, pada kasus penembakan di Tangsel, pelau tidak mengambil senjata korban. Sebaliknya, setelah menembak Bripka Sukardi, pelaku juga merampas senjata korban.
Penyidik kooordinasi dengan Densus 88 dan menginterogasi ulang para tersangka teroris kelompok Abu Roban yang sudah ditahan. \"Semua menyatakan bukan pola mereka. Juga Iqbal, tersangka yang kita tahan karena jual senjata. Dia mengaku tak punya kaliber 4,5 mm,\" katanya.
Fakta-fakta itu mencuatkan dugaan bahwa penembakan Bripka Sukardi terkait dengan bisnis jasa pengawalan yang dijalankan anggota kepolisian.
Informasi yang dihimpun, pada hari kejadian Sukardi mengawal truk di luar jam dinas. Pengawalan itu tanpa sepengetahuan institusi Ditpolair Baharkam Mabes Polri. Tidak ada penugasan untuk Sukardi malam itu. Dari catatan petugas jaga di kesatuan Sukardi, dia keluar kantor sekitar pukul 19.30 WIB.
Sukardi mengawal enam truk sendirian. Padahal, pascaperistiwa penembakan polisi di Pondok Aren, Tangsel, Wakapolri Komjen Oegroseno melarang seluruh anggota Polri patroli atau berjaga sendirian. (rdl/byu/gun/ken/dod/ca)