Judicial Review UU BPK
JAKARTA - Pakar hukum Tata Negara Prof Saldi Isra menilai, pengaturan terkait masa jabatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK perlu direvisi.
Khususnya, aturan terkait masa jabatan anggota BPK pengganti hasil pergantian antarwaktu (PAW) yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK. Aturan itu sekarang sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh anggota BPK pengganti hasil PAW, Bahrullah Akbar.
“Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 kehilangan makna yuridis untuk terus dipertahankan, karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan, kehilangan basis konstitusionalnya untuk terus dipertahankan alias inkonstitusional,” kata Saldi Isra kepada wartawan di Jakarta, Minggu (8/9).
Penilaian Saldi Isra ini tak jauh berbeda dengan pernyataan yang sempat dilontarkan saat memaparkan pandangannya sebagai saksi ahli pemohon dalam sidang uji aturan terkait di MK pada pertengahan Maret lalu.
Setidaknya, ada tiga alasan mendasar yang menyebabkan pengaturan terkait masa jabatan anggota BPK pengganti dinilai inkonstitusional. Pertama, UU BPK mengandung kontradiksio interminis, di satu sisi menyatakan masa jabatan anggota BPK adalah lima tahun seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1). Namun di sisi lain bagi anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Padahal, anggota BPK pengganti menjalani proses pemilihan yang sama dengan anggota BPK bukan pengganti yang turut diatur dalam konstitusi.
Alasan kedua, mempertahankan cara pandang dalam UU BPK jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi anggota BPK yang terpilih melalui jalur pengganti atau PAW.
“Selain itu, ketidakpastian hukum juga potensial merembet pada lembaga negara atau komisi negara terkait,” kata Saldi Isra.
Alasan ketiga, lanjutnya, MK dalam beberapa putusan terkait persoalan serupa di sejumlah lembaga negara yang independen, seperti MK dan KPK, jelas menyatakan bahwa proses PAW bagi anggota pengganti yang dilakukan sama dan sebangun dengan anggota yang bukan PAW, namun posisinya hanya melanjutkan masa jabatan tersisa adalah pengaturan yang inkonstitusional.
Sementara, pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, adanya aturan PAW dalam UU BPK mengakibatkan pengaturan masa jabatan seorang anggota BPK menjadi tidak jelas tujuannya serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, UU BPK sudah tegas mengatur bahwa masa jabatan anggota BPK lima tahun. Dan, UUD 1945 mengatur dengan tegas mengatur bahwa semua pemangku jabatan anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Akibatnya, pengaturan PAW itu memunculkan pertentangan norma hukum.
“Penggunaan frasa pergantian antarwaktu menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada akhirnya berimplikasi kepada ketidakjelasan tujuan dan adanya ketidakpastian hukum,” katanya.
Terpisah, pakar hukum Prof Dwi Andayani menilai UU BPK, khususnya Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan Pasal 23 F UUD 1945 yang mengatur anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Konstitusi sudah mengatur dan memerintahkan bahwa untuk menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan dengan cara pengangkatan anggota BPK pengganti melalui mekanisme PAW sebagaimana diatur dalam UU BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut.
“Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan,” ujarnya.
Sebelumnya, anggota BPK pengganti hasil PAW, Bahrullah Akbar mengujimateri Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK. Dia menilai, aturan masa jabatan dalam UU BPK tersebut, khususnya bagi anggota BPK pengganti bertentangan dengan konstitusi Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. (sam/jpnn)