Jejak Keluarga KH Ahmad Dahlan Di Thailand (1)
yang mayoritas penduduknya beragama Budha,
ternyata ada andil keturunan KH Ahmad Dahlan,
pendiri ormas Islam terbesar Muhammadiyah yang juga pahlawan nasional Indonesia.
Jawa Pos National Network (JPNN) beberapa waktu lalu bertemu dengan salah satu cucu KH Ahmad Dahlan di Bangkok,
Thailand, yang kemudian mengungkap kisah perjalanan keluarganya dan perjuangan mereka menyebarkan Islam di Thailand hingga saat ini.
=========================================================================
Laporan: Afni Zulkifli-Bangkok
=========================================================================
Setelah berkomunikasi sejak pagi, barulah menjelang sore waktu Thailand, JPNN bertemu dengan Amphom Dahlan (60) di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok. Perawakannya sedang, pembawaannya ramah dan wajahnya sangat khas Indonesia. Namun begitu mengajaknya berbicara, barulah diketahui bahwa ia warga asli Thailand. Bahasa Inggrisnya lancar, begitu juga bahasa Thai (bahasa nasional Thailand). Namun sesekali, ia juga bisa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. “Soal bahasa, nanti ada ceritanya sendiri. Kita masih punya waktu panjang untuk bercerita hari ini,” kata Amphom dalam bahasa Indonesia yang fasih. Dengan bahasa ‘gado-gado’ campuran Inggris dan Indonesia, Amphom Dahlan yang merupakan cucu dari KH Ahmad Dahlan, mulai berbagi kisah tentang keluarganya. “Ayah saya bernama Erfan Dahlan (dalam sejarahnya tertulis Irfan Dahlan) atau dikenal di Thailand dengan nama Jumhan Dahlan. Merupakan anak kandung dari KH Ahmad Dahlan,” kata Amphom yang ingin disapa dengan nama Mina. Dalam catatan sejarahnya, kakek Mina, KH Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang tak lain adalah sepupunya sendiri yang juga anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah). Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Oleh Ayahnya KH Ahmad Dahlan, Irfan Dahlan dikirim belajar ke luar negeri sejak masih muda. Sepulang dari belajar di Pakistan dan India, sekitar 1930-an, Irfan tidak dapat masuk ke Indonesia karena situasi politik yang kian memanas. Selain itu lautan Hindia juga tengah menjadi medan tempur Perang Dunia II antara sekutu dan Jepang. Ervan (ejaan versi Mina) akhirnya memilih menetap di Thailand sekitar tahun 1930 dan membangun keluarga di sana. “Namun Ayah tidak mau bercerita apapun soal politik di Indonesia pada anak-anaknya. Dia hanya selalu mengingatkan, bahwa kami adalah keturunan KH Ahmad Dahlan, berasal dari Indonesia dan memiliki banyak saudara di sana. Hanya itu saja,” kata Mina. Meski meninggalkan tanah air dan menetap di negeri orang, darah pejuang Islam layaknya sang Ayah, sepertinya tak bisa hilang begitu saja dari Erfan Dahlan dan keturunannya kelak di Thailand. Bisa dikatakan mereka memperjuangkan Islam di negeri Gajah Putih selama hampir 83 tahun, hingga hari ini. Dimulai sekitar tahun 1930. Setelah menyelesaikan pendidikan di India, atas restu kedua orang tuanya, Erfan Dahlan tinggal dan bekerja dengan seorang Doktor keturunan India di Thailand Selatan. Sekitar tahun 1932, Erfan memilih berhenti bekerja dan pergi ke Bangkok. Di Ibukota negara ini, ia bekerja sekaligus berdakwah. Ketika itu Islam masih belum terlalu dikenal di Thailand karena mayoritas agamanya adalah Budha. Erfan mengajarkan Islam dengan cara baru. Saat itu muslim di Thailand mempelajari Islam hanya dengan membaca Al Quran tanpa memahami apapun artinya. Karena tidak ada satupun terjemahan Al Quran dalam bahasa Thailand. Erfan yang dikenal cerdas sejak masih belia dan menguasai 9 bahasa dengan lancar (Bahasa Indonesia, Jawa, Belanda, Inggris, India, Urdu , Arab, Thailand dan Jepang) mulai menerjemahkan dan mengajarkan isi Al Quran dalam bahasa Thailand kepada murid-muridnya. Ia juga berdakwah tentang ajaran Islam dengan konsep baru dan mengajarkan gaya hidup seorang muslim yang penuh kasih sayang. Konsep berdakwah Erfan Dahlan, berbeda dengan konsep dakwah pendahulunya yang membawa ajaran Islam ke Thailand. Karena itu pula, murid Erfan Dahlan kian hari bertambah banyak. Baik dari pendatang maupun penduduk lokal. “Saat itu sebenarnya sudah ada pemukiman muslim, namanya kampung Jawa. Penduduknya mayoritas pedagang dari Indonesia yang menetap di Thailand. Namun ajaran Islam mereka sudah bercampur kepercayaan, melenceng dari ajaran Al Quran dan Hadist. Karena itu murid Erfan Dahlan tidak banyak dari kampung Jawa,” ungkap Mina. Berhadapan dengan penganut Islam bercampur kepercayaan seperti di kampung Jawa, bukan berarti Erfan Dahlan menyerah begitu saja. Ia tetap mendakwahkan Islam dengan berpedoman pada ajaran Al Quran dan Hadist di pemukiman ini. Pada tahun 1932, Erfan Dahlan bertemu dengan Zahrah yang dikenal dengan nama Thailand, Yupha. Ia merupakan anak Imam Masjid Jawa, (Alm) Sukaimi, seorang pedagang asal Kendal, Jawa Tengah yang kemudian menetap di Thailand. Zahrah juga cucu dari pimpinan orang Jawa di Thailand, (Alm) Haji Mohamad Soleh, yang memberikan tanahnya (wakaf) untuk membangun Masjid Jawa. Setelah menikah, Erfan kemudian pindah ke kampung Jawa. Mereka memiliki 10 orang anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan. Usai menikah, Erfan Dahlan tercatat pernah bekerja di Kedutaan Besar Pakistan di Bangkok. Namun aktifitas dakwahnya tak pernah berhenti. Bersama temannya, ia memiliki perusahaan percetakan buku-buku Islam seperti ajaran sholat dan doa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand. Bersama sang istri Zahrah, Erfan juga membantu pendidikan anak-anak yatim. Suami istri ini pun menjadi aktivitas muslim yang menyiarkan Islam di Thailand. Andil keduanya mendakwahkan ajaran Islam begitu terasa. Zahrah bahkan tercatat sebagai salah satu pendiri Muslim Women Association of Thailand (Assosiasi Perempuan Muslim Thailand) yang khusus memberikan bantuan pendidikan kepada anak yatim. Organisasi tersebut masih eksis hingga saat ini dan telah diakui keberadaannya oleh pemerintah Thailand.
Setelah Meninggalnya Sang Ayah Erfan Dahlan meninggal dunia pada tahun 1967 di Thailand. Meski ia menetap dan memiliki keluarga di Thailand, namun hingga akhir hayatnya ia menolak berganti kewarganegaraan. “Kecintaannya pada Indonesia, dibawanya sampai mati. Ia meninggal tercatat sebagai WNI. Beliau mendapatkan paspor istimewa dari pemerintah Thailand. Sementara Ibu dan kami anak-anaknya, sudah berkewarganegaraan Thailand, karena lahir dan besar di sini,” kata Mina mengenang rasa cinta Ayahnya pada Indonesia. Saat meninggal, Erfan Dahlan meninggalkan 10 orang anak yang tidak begitu banyak tahu tentang sejarah leluhur ayah mereka. Meski pernah diceritakan tentang KH Ahmad Dahlan, namun Mina dan saudara-saudaranya tak pernah sekalipun bertemu sang Kakek. “Ayah begitu tertutup tentang cerita keluarganya dan kami tidak mau bertanya terlalu jauh,” ujar Mina diplomatis. Mina hanya mengenang, sepeninggal Ayahnya, kehidupan mereka sempat mengalami pasang surut. Dari 10 anaknya, hanya kakak tertuanya yang sudah bekerja dan berpenghasilan tetap. Namun Zahrah mengajarkan anak-anaknya untuk tetap sabar dan tegar meski sudah menjadi anak yatim. Sementara berusaha menghidupi anak-anaknya, Zahrah tetap aktif di organisasi dakwah muslim dan tetap membantu anak-anak yatim lainnya. Zahrah meninggal dunia pada tahun 1992. Meninggalkan putri putri yang kesemuanya berhasil meraih gelar Sarjana. Bahkan tiga diantaranya, pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Keberhasilan ini ungkap Mina, diraih saudara-saudaranya dengan susah payah. Tak jarang mereka yang ditinggal sang Ayah saat berusia masih begitu belia, terpaksa harus berjualan kue olahan Ibu mereka Zahrah, demi mendapatkan uang sekolah. Di depan rumah, keluarga Erfan Dahlan juga pernah membuka warung kecil demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Saudara saya Dr Winai Dahlan, dulu pernah menjadi pembuat roti di rumah temannya. Untuk pendidikan, bila ada saudara yang sudah bekerja, ia akan membantu adik-adiknya untuk sekolah. Hingga akhirnya semua menjadi sarjana,” ungkap Mina dengan penuh rasa bangga. Selain itu, menjadi keluarga pendakwah sepertinya juga sudah mengalir di keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand ini. Terbukti hingga kini, beberapa cucu pendiri Muhammadiyah ini masih melakukan dakwah bahkan memegang beberapa organisasi penting berbasis Islam di Thailand. Anak ke 5 Erfan Dahlan bernama Dr Winai Dahlan. Sosoknya sangat dikenal sebagai aktivis Muslim besar di Thailand. Ia juga dikenal sebagai pendakwah yang diundang ke beberapa negara, dosen tetap di Universitas Chulalongkorn Thailand dan saat ini menjabat sebagai Direktur Halal Science Center, sebuah pusat penelitian sertifikasi halal di Thailand (diceritakan pada tulisan selanjutnya). Anak ke 4 bernama Dahlan Ahmad Dahlan. Saat ini tercatat sebagai salah satu pendakwah terkenal di Propinsi Thailand Selatan. Ia mengusung metode dakwah dengan tema ‘Kekuatan Muslim’. Dahlan Ahmad Dahlan, mengajarkan tentang konsep sesungguhnya kehidupan muslim yang mandiri dan cinta damai. “Konsep dakwah ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah Thailand untuk dikembangkan di Thailand Selatan. Organisasi dakwah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik. Perihal konflik di sana, saudara saya memandangnya bukan karena konflik agama melainkan konflik politik. Kami sangat menghindari berbicara tentang politik,” tegas Mina. Sementara anak ke 7, bernama Adnan Dahlan atau dikenal dengan nama Thailand, Arthorn Dahlan. Menetap di Propinsi Krabi, Thailand Selatan, Adnan saat ini bekerja sama dengan Majelis Ulama berbagai Propinsi lainnya di Thailand untuk mengembangkan sistem koperasi Syariah. “Alhamdulillah, ajaran Kakek KH Ahmad Dahlan selalu disampaikan Ayah Erfan dan Ibu Zahrah kepada kami anak-anaknya. Banyak pesan baik yang selalu kami kenang. Mereka mengatakan bahwa warisan terbaik bagi anak cucu adalah pendidikan yang baik. Janganlah pernah malu pada kemiskinan tapi malulah ketika berbuat hal yang salah. Jangan malas bekerja dan harus ikhlas saat membantu orang lain. Jangan pernah menghina yang kecil, karena suatu ketika, mereka bisa saja diangkat derajatnya dan menjadi orang besar. Jangan pernah meminta belas kasihan dan tetap menjaga iman,” ungkap Mina dengan suara tegas.(bersambung)