Ichwan Yunus Menata Karir di Lingkaran Birokrasi (4)

Senin 27-05-2013,13:00 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Mula-mula pertemuan dengan Jenderal Adisoemarta Direktur Perbekalan Dalam Negeri Pertamina itu terkesan sangat formal dan kaku. Bisa dimaklumi karena jabatannya sebagai salah satu Direktur Perusahaan Negara paling bergengsi saat itu. Tentu saja Jenderal Adisoemarta ingin memberi kesan kebesaran dan kewibawaannya.

Begitu duduk berhadapan dengan direktur tersebut langsung saja Ichwan dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan, mulai dari saudara siapa,  dari mana dan apa pangkat dan jabatan saudara, dan seterusnya seperti layaknya interogasi.

Kalau saja bukan “si kancil” Ichwan Yunus, yang diperlakukan seperti itu, pastilah suasananya semakin mencekam, apalagi setelah mendapatkan jawaban siapa sebenarnya Ichwan dan dua rekannya itu, sang Jenderal berkomentar:

“... kurang ajar juga Direktur PLN itu, masa Direktur Muda ditugaskan menghadap saya....”.

Tapi apa yang terjadi, seorang Ichwan jika sudah tersudut seperti ini selalu saja refleknya yang khas bekerja.  Tanpa diduga oleh Jenderal, Ichwan dengan enteng menjawab: “Barangkali Direktur PLN menganggap Direktur Muda seperti saya ini memiliki kapasitas dan kwalitas yang tidak kalah dan bahkan melebihi Direktur Pertamina.’’

Untuk level seorang Jenderal sekaligus Direktur Pertamina, ungkapan tersebut termasuk sangat kasar bahkan mungkin “kurang ajar\". Tetapi karena diucapkan dengan nada rendah dan dengan ekspresi dan gaya kocaknya yang khas, maka suasana tegang tersebut justru berbalik menjadi cair, komunikatif dan penuh kelakar.

Dalam pertemuan yang penuh akrab tersebut Ichwan berhasil meyakinkan pihak Pertamina, mengapa PLN menginginkan pembayaran BBM terpusat. Akhirnya saat itu juga diperoleh persetujuan pihak Pertamina.  Dengan syarat PLN harus deposit sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah).  Tanpa pikir panjang Ichwan Yunus langsung menyatakan deal dengan syarat tersebut.

Keputusan tersebut tergolong berani kalaupun tidak dikatakan nekad. Sebab, di samping uang sebesar 25 milyar saat itu (tahun 1984) adalah jumlah yang sangat besar, juga sebenarnya Ichwan sendiri menyadari jika menyatakan persetujuan  kesanggupan tersebut bukanlah kapasitas dia selaku Direktur Muda Akutansi.

Lalu apa yang menjadi dasar Ichwan berani mengarnbil keputusan tersebut?  Pertama, soal deposit 25 Milyar, jika hanya dilihat dari sisi jumlah, maka sudah pasti akan timbul pertanyaan darimana mendatangkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat. 

Namun Ichwan yang tidak melihat hanya dari segi besarnya jumlah uang, tapi lebih pada sisi kebutuhan. Dimana sentralisasi keuangan PLN ketika itu adalah kebutuhan PLN sendiri.  Bukan berdasarkan keinginan orang tertentu, termasuk Ichwan sendiri. Jika sesuatu sudah menjadi kebutuhan maka pasti akan lebih mudah didapatkan, bagaimanapun caranya.

Alasan kedua, adalah keyakinan yang kuat dari Ichwan bahwa atasannya akan menyetujui persyaratan yang diberikan oleh Pertamina. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka sebagai alasan ketiga, adalah efisien waktu. Jika  Ichwan tidak mengambil keputusan saat itu, maka perlu waktu yang panjang untuk merealisasikan sentralisasi pembayaran BBM PLN terpnsat.

Mereka akan melaporkan dulu hasil pertemuan tersebut kepada Direktur Keuangan PLN, lalu (kemungkinan besar) akan rapat untuk mengambil keputusan, selanjutnya melapor kembali ke Pertamina, dan seterusnya, baru kemudian proses nota kesepakatan. Jelas  memerlukan waktu yang panjang dan menguras tenaga dan pikiran.

Benar saja, dengan keputusan cepat Ichwan berani tersebut, maka dalam tempo yang relatif singkat pembayaran BBM PLN terpusat dapat terrealisasi. Dimulai dari deposit 25 milyar kepada Pertamina, pada waktu yang sama pula penarikan uang dari wilayah-wilayah PLN ke rekening PLN pusat untuk pembayaran BBM ke Pertamina mulai dilakukan. Dalam tempo kurang dari satu minggu, saldo pada rekening PLN pusat mencapai 400 miliyar, dari yang tadinya nihil.(bersambung)

Tags :
Kategori :

Terkait