BENGKULUEKSPRESS.COM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, melalui Asisten Tindak Pidana Umum, Herwin Ardiono, menggelar ekspose keadilan restoratif (restorative justice) bersama Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) terkait perkara penyalahgunaan narkotika dengan tersangka Riki Kalenser.
Hasil ekspose tersebut menyetujui perkara diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Artinya, penuntutan terhadap tersangka dihentikan, dan proses pemulihan dilakukan melalui rehabilitasi.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bengkulu, Ristianti Andriani, menyampaikan bahwa Riki sebelumnya dijerat Pasal 112 Ayat (1) dan/atau Pasal 127 Ayat (1) Huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena terlibat dalam penyalahgunaan narkotika jenis sabu.
“Perkara ini diselesaikan secara restoratif karena tersangka terbukti sebagai pengguna, bukan pengedar, dan memenuhi seluruh syarat keadilan restoratif sesuai arahan JAMPIDUM,” ujar Ristianti, Selasa (15/7/2025).
Diketahui, peristiwa terjadi pada Senin, 5 Mei 2025, sekitar pukul 11.00 WIB. Saat itu, saksi bernama Bayu datang ke rumah tersangka dan mengajak menggunakan sabu milik saksi. Sekitar pukul 14.00 WIB, saksi lain bernama Nanda menyusul ke rumah tersebut dan melihat tersangka sedang membakar alat isap sabu (bong).
BACA JUGA:Sebulan Menikah, Pria di Bengkulu Butuh Uang, Nekat Curi Handphone di Rumah Makan
Tak berselang lama, tim Satres Narkoba Polres Seluma melakukan penggerebekan dan mengamankan tersangka bersama para saksi. Hasil tes urine yang dilakukan keesokan harinya, 6 Mei 2025, menunjukkan Riki positif mengandung zat amphetamin, morphin, dan THC (marijuana).
Berdasarkan surat dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bengkulu tertanggal 12 Juni 2025, Tim Asesmen Terpadu menyarankan agar tersangka menjalani rehabilitasi rawat inap di lembaga rehabilitasi milik pemerintah.
Adapun alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini adalah:
- Tersangka terbukti positif menggunakan narkotika.
- Tidak terlibat dalam jaringan peredaran narkoba.
- Dikategorikan sebagai penyalahguna, bukan pengedar.
- Belum pernah menjalani rehabilitasi sebelumnya.
- Keluarga menjamin tersangka akan menjalani rehabilitasi secara hukum.
- Bukan residivis kasus narkotika.
Pihak Kejati menilai pendekatan restoratif ini merupakan langkah pemulihan sosial yang lebih tepat bagi penyalahguna narkotika, tanpa mengesampingkan aspek hukum.
“Proses ini bukan berarti membebaskan pelaku begitu saja, melainkan memberikan ruang pemulihan yang lebih manusiawi. Rehabilitasi yang dijalani merupakan bagian dari pertanggungjawaban dan pembinaan agar tersangka tidak kembali terjerumus,” tegas Ristianti.
Dia juga menambahkan bahwa langkah ini selaras dengan instruksi Jaksa Agung RI yang mendorong penanganan kasus narkotika bagi pengguna untuk lebih berorientasi pada pendekatan rehabilitatif, bukan pemidanaan semata. “Ini menjadi bukti bahwa hukum tidak hanya menghukum, tapi juga bisa memulihkan,” pungkasnya.(**)