PYONGYANG – Ketegangan di Semenanjung Korea terus meningkat. Korea Utara (Korut) kembali bermanuver sebagai respons terhadap latihan militer gabungan Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) belakangan ini. Setelah menyiagakan rudal dan roket untuk menyerang AS, Sabtu (30/3) Korut giliran mendeklarasikan ’’kondisi perang’’ terhadap Korsel.
Itu merupakan rangkaian dari retorika kemarahan terbaru pemerintahan Kim Jong-un yang ditujukan pada Korsel dan AS. Pyongyang pun mewanti-wanti Seoul dan Washington bahwa setiap bentuk provokasi bakal berubah dan dapat meningkat menjadi konflik nuklir habis-habisan.
Tidak hanya itu, Korut juga mengancam untuk menutup kompleks kawasan industri Kaesong di selatan negaranya yang dioperasikan bersama Korsel. Lokasinya berada dekat zona demiliterisasi yang dijaga ketat militer kedua negara. Kawasan industri itulah satu-satunya kerja sama di antara dua negara yang masih terjalin untuk kepentingan ekonomi. Penutupan Kaesong akan diwujudkan kalau Korsel terus mengampanyekan bahwa kompleks industri itu selama ini tetap berjalan karena alasan (Korut butuh) uang.
’’Mulai saat ini, hubungan utara-selatan akan memasuki keadaan perang. Semua isu dan urusan antara kedua Korea akan ditangani secara patut sesuai protokol perang,’’ tegas pernyataan resmi pemerintah Korut seperti dikutip kantor berita KCNA.
’’Situasi di Semenanjung Korea yang sudah lama berada dalam situasi tidak menentu, bukan damai ataupun bukan perang, kini sudah berakhir,’’ lanjut pernyataan itu. KCNA menyatakan, deklarasi keadaan perang tersebut diumumkan bersama oleh pemerintah, militer, dan lembaga negara lain di Korut.
Jumat lalu (29/3) pemimpin Korut Kim Jong-un meneken perintah pengerahan rudal-rudal miliknya dalam posisi siap menyerang pangkalan militer AS di Korsel dan Pasifik. Hal ini terjadi setelah Washington menerbangkan dua pesawat pembom B-2 di Semenanjung Korea. Pesawat siluman yang punya kemampuan nuklir itu dikerahkan dalam unjuk kekuatan yang jarang terjadi.
Secara teknis Korut dan Korsel masih ada dalam keadaan perang selama enam dekade. Perang Korea pada 1950-1953 hanya diakhiri dengan kesepakatan soal gencatan senjata. Juli nanti, gencatan senjata Perang Korea genap 60 tahun. Tetapi, awal bulan ini Korut menyatakan membatalkan dan menarik diri dari kesepakatan gencatan maupun perjanjian damai dengan Korsel sebagai bentuk protes atas latihan militer gabungan Seoul-Washington.
AS menganggap serius deklarasi perang Korut tersebut. Tapi, Washington juga mencatat bahwa pernyataan serupa biasanya merupakan pola yang dapat ditebak alias hanya gertak sambal.
Gedung Putih tetap menganggap serius deklarasi keadaan perang tersebut dan menyiapkan langkah antisipasi. ’’Kami telah mencermati laporan adanya deklarasi baru dan tidak konstruktif dari Korut,’’ ujar Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) Caitlin Hayden. ’’Kami menganggap serius dan tetap menjalin hubungan intensif dengan sekutu kami (Korsel),’’ jelasnya. Hanya, dia juga mengingatkan bahwa Korut punya sejarah selalu melancarkan retorika dan ancaman kosong dalam berbagai kesempatan.
Sebaliknya, Korsel menilainya sebagai ancaman usang. Di Seoul, Kementerian Unifikasi menegaskan bahwa ancaman perang dari Korut itu ’’sama sekali bukan merupakan hal baru’’. Kementerian Pertahanan Korsel pun menambahkan bahwa tidak ada aktivitas luar biasa dari militer Korut yang menunjukkan adanya persiapan perang.
Meski demikian, Kementerian Pertahanan bertekad untuk membalas setiap provokasi Korut. Tetapi, hingga kemarin belum terlihat pergerakan militer yang berarti di sepanjang perbatasan dua negara. ’’Akses menuju kompleks Kaesong juga masih berfungsi secara normal,’’ tutur Park Soo-jin, jubir Kementerian Unifikasi Korsel.
Korut terus melontarkan ancamannya untuk menyerang Korsel maupun pangkalan militer AS di Asia Pasifik nyaris setiap hari sejak awal Maret lalu. Itu terjadi setelah militer AS-Korsel memulai latihan tempur secara rutin. Selama beberapa dekade latihan bersama itu berjalan tanpa insiden atau gangguan apapun.
Banyak kalangan di Korsel berpandangan lain. Kesediaan Korut untuk tetap membuka kawasan industri Kaesong, yang hanya berjarak beberapa kilometer di utara perbatasan dua negara, sebagai sinyal bahwa Pyongyang tidak akan mau berisiko kehilangan sumber devisa potensial dengan melancarkan agresi secara nyata.
Kaesong merupakan sumber vital bagi pemerintahan Kim Jong-un. Ratusan pekerja dan kendaraan dari Korsel pun setiap hari masuk ke sana dengan melintasi perbatasan yang dijaga ketat oleh tentara dua negara.
’’Jika kelompok pengkhianat boneka (baca: Korsel) terus menyebut zona industri Kaesong sengaja tetap dioperasikan dan merusak harga diri kami, tanpa ampun akan ditutup dan dihentikan,’’ tulis KCNA mengutip pernyataan pemerintah soal Kaesong.
Ancaman penutupan itu bisa saja menyulut ketegangan. Sebab, ini berarti menghentikan proyek simbolis bersama yang dikelola perusahaan Korsel. Penutupan itu juga akan memerangkap ratusan buruh dan manajer asal Korsel yang selama ini bekerja pada 123 perusahaan di Kaesong.
Sebelumnya, Korut pernah menghentikan operasi pabrik di zona industri itu di tengah ketegangan politik dengan Korsel. Tapi, Pyongyang kemudian membuka kembali dan melanjutkan operasi pabrik di Kaesong.
Ketegangan ini memicu keprihatinan internasional bahwa situasi tersebut bisa berubah menjadi tak terkendali. Rusia dan Tiongkok, sekutu dekat Korut, mendesak agar semua pihak menahan diri di tengah ketegangan.
Rusia secara khusus menyerukan agar diambil langkah-langkah bertanggung jawab pasca-deklarasi perang Korut itu. ’’Kami juga berharap tidak ada pihak yang melanggar batas. Sekali ada pelanggaran, tak akan ada lagi langkah mundur,’’ ungkap Grigory Logvinov, utusan Kemenlu Rusia untuk Korut kepada Interfax.
’’Kami tidak bisa diam saat eskalasi ketegangan terjadi di wilayah terdepan kami di timur. Kami benar-benar khawatir,’’ lanjutnya.
Sebagian pengamat yakin bahwa ancaman Korut itu lebih bersifat verbal daripada fisik. ’’Beberapa pekan terakhir, Korut telah mengubah retorika menjadi seni pertunjukan,’’ terang Gordon Flake, pakar Korea dan direktur eksekutif Mansfield Foundation di Washington.
’’Ketika mereka menyatakan gencatan senjata sudah tidak berlaku dan batal, saya merasa deklarasi perang ini mirip seperti pernyataan mereka sebelumnya,’’ kata Flake.
Tetapi, dia tetap mengingatkan bahwa situasinya menjadi sangat rawan. Sebab, kesalahan perhitungan sekecil apapun bisa menyulut eskalasi konflik dengan cepat.’’Yang paling berbahaya adalah ketika Korut mengancam melakukan serangan nuklir ke Washington, mereka tidak tahu berapa besar kemampuan Korut sesungguhnya,’’ jelas Flake. (AFP/RTR/cak/dwi)