Ikut Jalur Khusus, Kelas Percepatan
Namun dosen tersebut segera menyadari bahwa kelas yang diajarnya ini berbeda dengan kelas biasa seperti SMEA misalnya. Siswa yang dihadapinya ini adalah orang-orang yang sudah dewasa dan memiliki pengetahuan dan kecerdasan di atas rata-rata. Kenyataan inilah yang membuat dosen senior ini harus menahan emosinya dan berpikir realistis. Seketika itu juga -walaupun bernada marah, tapi serius- ia menawarkan kepada Ichwan untuk menempuh jalur khusus (semacam jalur cepat atau kalausekarang mungkin sama dengan semester pendek), dan memerintahkan Ichwan untuk mencari kawan-kawanlain yang merasa mau dan mampu mengikuti jalur tersebut.
Gayung bersambut, segera saja Ichwan menerima tawaran itu dan menjalankan perintahnya untuk mengajak kawan-kawan yang lain. Setelah semua sepakat, dosen melanjutkan penjelasannya tentang program jalur cepat tersebut sampai pada hal-hal teknis.
Hari-hari berikutnya hampir tidak ada lagi waktu bagi Ichwan dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok ini untuk bermain atau bersantai. Mereka di-dril belajar siang malam, pagi sore, selama satu bulan penuh, dan setelah itu langsung diikutkan ujian. Tidak lama menunggu akhirnya keluarlah pengumuman hasil ujian, dan tidak seorang pun kelompok ini ada yang tertinggal, semuanya lulus dan mendapatkan ijazah Tata Buku B.
Dengan demikian, kursus yang semula dijadwalkan selama sembilan bulan tersebut, hanya ditempuh oleh Ichwan dan beberapa orang kawannya selama tiga bulan. Sedangkan kawan-kawan yang lain harus menunggu selama enam bulan lagi.
Selama lebih kurang tiga bulan kursus, Ichwan merasakan paling prihatin dibanding dengan kawan-kawannya. Jarang sekali Ichwan membawa makan-makanan ringan dikamar indekosnya atau jajan di luar di sela-sela kesibukannya belajar seperti kawan-kawannya yang Iain. Kalau pun ada sesekali, itu karena diajak/dibandar oleh kawannya. Bukannya tidak ada selera, tapi memang karena ketiadaan persediaan untuk itu.
Ia berusaha mencukupkan diri dengan makanan dan minuman yang disuguhkan oleh Ibu Indekosnya. Karena sudah terlatih, tertempa dan terbiasa hidup prihatin sejak kecilnya, maka Ichwan sama sekali tidak merasakan keprihatinan itu sebagai penderitaan. Semuanya ia jalani dengan biasa-biasa saja dan sama sekali tidak mengurangi semangatnya untuk belajar dan belajar terus. Dan tidak juga menjadikannya minder atau rendah diri di hadapan kawan-kawannya.Tidak juga pernah terjadi selama kursus itu ia mengeluh atau meminta belas kasihan kepada siapa pun. Ichwan tetap tegar dan bangga menjadi dirinya sendiri.
Sekalipun Ichwan tidak pernah menampakkan kekurangannya dengan orang lain, tapi keprihatinan Ichwan ini tidak Iuput dari perhatian kawan kawannya. Itulah sebabnya pada suatu ketika Ichwan disarankan oleh kawannya untuk menikah dengan seorang gadis Bandung bernama Neti teman sekelasnya, yang diketahui Ichwan dan kawan-kawannya sebagai anak orang kaya.
Hal ini juga terlihat jelas dari segi gaya hidup dan penampiIannya. Ichwan sangat mengerti maksud dan tujuan kawan-kawannya ini, tidak Iain adalah untuk memberi jalan keluar dari keprihatinannya yang salama ini mereka saksikan. Jika Ichwan menikah dengan gadis kaya itu, maka sudah barang tentu masalah kekurangan finansial Ichwan akan teratasi.
Tetapi anjuran tersebut langsung ditolak oleh Ichwan karena beberapa alasan: Pertama, berumah tangga bagi Ichwan tidak sesederhana seperti apa yang terpikirkan oleh kawan-kawannya. Sangat naif bagi Ichwan jika menikahi seorang gadis hanya karena hartanya.
Ichwan justru berfikir sebaliknya, yang juga merupakan cita-citanya jika suatu saat nanti ia menikah karena ia benar-benar sudah siap untuk bertanggung jawab menghidupi dan mensejahterakan istri dan anak-anaknya. Kedua, Ichwan merasa perjuangannya masih panjang, bukan berarti berumah tangga tidak terpikirkan olehnya, hanya saja ia harus istiqomah/konsisten dengan skala prioritas perjuangan hidupnya.
Sekarang ini prioritas utama Ichwan hanyalah bagaimana secepat mungkin menyelesaikan kursusnya, lalu bekerja. Untuk itu seberat apa pun hambatan dan tantangannya akan ia hadapi, apa lagi hambatan itu hanya sekedar pemenuhan kebutuhan sekunder. Ketiga, Ichwan memegang kuat prinsip bahwa membangun rumah tangga harus berpondasikan cinta dan kasih sayang. Sekalipun ia tahu bahwa gadis itu suka kepadanya, tapi sebaliknya Ichwan sendiri tidak mempunyai perasaan Iain kepadanya kecuali teman biasa.(bersambung)