Bagaimana Mengganti Puasa Pasutri yang Berhubungan Badan Siang Hari

Kamis 23-03-2023,17:27 WIB
Reporter : Jamal Maarif
Editor : Rajman Azhar

Kafarat untuk Suami-Istri yang Berhubungan Badan Lebih dari Sehari Imam Nawawi dalam kitab al Majmu Syarah al Muhadzdzab menjelaskan bahwa mazhab Syafi’i mewajibkan pembayaran kafarat untuk tiap-tiap hari, baik ia telah membayar kafarat untuk hubungan badan yang pertama ataupun belum. Mazhab Syafi’i berdasar kapada pendapat Malik, Daud, Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang shahih.

Sementara itu, Abu Hanifah berpendapat jika seseorang kembali berhubungan badan sebelum membayar kafarat yang pertama, maka ia cukup membayar satu kafarat. Kemudian, apabila ia ternyata telah membayar kafarat untuk hubungan badan yang pertama, Abu Hanifah memiliki dua riwayat dalam perkara ini. Akan tetapi, pendapat dari Abu Hanifah yang paling shahih ialah ia harus membayar kafarat lagi. 

Pihak yang Membayar Kafarat: Suami atau Istri? 

Syekh Nawawi masih dalam kitab al Majmu Syarah al Muhadzdzab menjelaskan bahwa pendapat dari mazhab Syafi’i yang shahih terkait kewajiban membayar kafarah ‘udhma hanya dikenakan kepada suami. Istri dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk membayar kafarah.

Alasannya adalah melihat dalam hadis kafarat perkara ini, Rasulullah saw hanya memerintahkan bagi kaum lelaki. Sementara itu, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan Ibnu Al Mundzir berpendapat bahwa perempuan juga wajib membayar kafarat ‘udhma.

Mazhab Hanafi menjelaskan jika alasanya terletak pada adanya kolaborasi (musyrakah) antara kedua pihak, yakni suami dan istri untuk melakukan pelanggaran. Dalam "Suami-Istri Melakukan Hubungan Siang Hari, Siapa yang Didenda?" oleh Mahbub Ma’afi Ramdlan (NU Online), umat Islam yang mengalami peristiwa berhubungan badan pada siang hari pada bulan puasa, diimbau untuk memilih opsi yang kedua, yaitu pihak suami dan istri yang melakukan kafarat.

Dengan demikian, suami dan istri sama-sama mesti menanggung puasa 60 hari sendiri-sendiri, atau memberi makan 60 orang fakir miskin sendiri-sendiri. Tujuan memilih opsi yang kedua, selain karena itu adalah pendapat yang paling banyak diikuti oleh mayoritas ulama, juga karena langkah hati-hati. Pasalnya, jika memilih yang kedua, yaitu tanggungan dibebankan kepada suami dan istri, maka ini dapat mengakomodasi pendapat pertama (lebih baik jumlahnya banyak, daripada jumlahnya kurang). (**)

 

Kategori :