Menurutnya, laporan dari berbagai organisasi lingkungan ini tentunya telah diinvestigasi ulang oleh berbagai perusahaan internasional tersebut sampai akhirnya ada keputusan untuk menghentikan pembelian sawit dari salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia. Indonesia, katanya, tidak bisa menyalahkan keputusan perusahaan-perusahaan internasional ini, karena mereka memiliki standar yang lebih ketat.
Bhima berpendapat, pemerintah tidak mengambil sikap tegas dan cenderung menganggap enteng permasalahan ini. Perusahaan-perusahaan sawit tanah air pun, katanya, tidak menaruh perhatian lebih kepada standar environmental sosial governance (ESG) atau tata kelola yang baik. Padahal, saat ini berbagai perusahaan internasional berusaha memastikan rantai pasok untuk kebutuhan produknya harus memiliki prinsip-prinsip yang berkelanjutan jika tidak ingin tersandung masalah.
“Kalau laporannya sampai ke perusahaan manufaktur yang ada di Eropa terutama manufaktur yang ada di Eropa dan Amerika, itu mereka sangat concerned. Dan ini seringkali terjadi, kenapa? Karena banyak perusahaan-perusahaan sawit itu menganggap enteng masalah-masalah terkait dengan konflik agraria dan lingkungan. Lalu kedua, kalau memang tidak merasa ada permasalahan harusnya bisa melakukan verifikasi, investigasi ulang, apa keluhan dari masyarakat terdampak, bagaimana dampak ke lingkungan, itu kadang banyak perusahaan sawit merasa kita sudah sudah punya CSR, padahal bukan itu. Masalah konflik agraria dengan CSR itu dua hal yang beda meskipun sudah banyak CSR dimana-mana tapi konflik agraria masih berjalan, masalah lingkungan juga masih ada, itu yang harusnya di selesaikan dulu,” jelasnya. CSR adalah corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
“Dan tugas pemerintah, sebenarnya bukan berpihak kepada perusahaan sawit, tapi justru harus mengamankan perusahaan sawit ini agar sesuai dengan standar praktik perkebunan yang berkelanjutan atau ESG standar dipatuhi. Itu yang harusnya diberikan tekanan kepada perusahaan-perusahaan sawit baik sawit skala korporasi maupun sawit rakyat. Jadi ini titik poin bahwa masih banyak praktik-praktik perusahaan di Indonesia ini yang dianggap belum memenuhi standar untuk masuk kepada rantai pasok internasional padahal potensinya besar,” pungkasnya.
Pekan lalu produsen minuman dari Amerika Serikat PepsiCo Inc dan produsen susu dari Belanda FrieslandCampina juga meminta para pemasok mereka menghentikan pembelian minyak sawit dari AAL. (**)