Sabung Ayam Tempo Doeloe di Tanah Haji

Jumat 08-04-2022,10:15 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

TULISAN ini tidak bermaksud untuk memberi contoh buruk bagi kita. Tidak pula bermaksud untuk   memberikan citra buruk suku Haji (yang sebagian besar mendiami wilayah eks Marga Haji Kabupten OKU Selatan Propinsi Sumatera Selatan) terkait praktek sabung Ayam. Dari cerita ini kita mengetahui betapa praktek judi sabung ayam begitu keji dan merusak kehidupan masyarakat. Semoga menimbulkan keinsyafan kita untuk menjauhi judi. \'Suh, setungkat siambon tali Remang begantung diawangan Tuah pusako anak Haji Andolan puyang Rakian\'. Kalimat itu diakhiri dengan menjejakkan kaki kanan ke tanah sebelum ayam SUH (catatan : bulu ayam jenis SUH berwarna lengkap,kaki kuning,paruh kuning, ada brewok warna kelabu tipis dibawah paruhnya,sisiknya belah siring dari lutut sampai pangkal jari) dilepaskan di arena gelanggang sabung Ayam persawahan Meraki. Kata-kata itu disebut Ceca dalam bahasa Haji. Dimaksudkan untuk memberi semangat pada ayam aduannya juga pemberi semangat bagi mereka yang berada dipihak pendukung Ayam Suh itu. Kata-kata itu juga bisa bertujuan untuk menggentarkan hati pendukung lawan. Bahkan tak jarang sebelum ayam dilepaskan. Seseorang terlebih dulu \'nyebut\' (membakar kemenyan didekat gelanggang sabung ayam) tujuannya memberi tahu ruh leluhur bahwa tidak lama lagi ayam akan diadu. Dan minta bantuan leluhur supaya dibantu secara gaib supaya menang. Di gelangganglah semuanya dipertaruhkan dari uang, harga diri, rasa malu bahkan nama leluhur yang paling dihormati seperti puyang Rakian dan Naga Berisang pun turut dibawa-bawa di arena judi. Di gelanggang judi dan kemusyrikan bercampur jadi satu. Pada era  tahun 60-an ada banyak gelanggang ayam di daerah Haji dan sekitarnya. Sebutlah misalnya Gelanggang Meraki,Gelanggang Penganjangan (didekat desa Peninggiran) ada juga gelanggang terkenal yaitu gelanggang Batu Beranak di desa Negeri Batin. Digelanggang sabung ayam tidak hanya diramaikan oleh praktek sabung ayam tapi juga diikuti dengan praktek judi kartu dan dadu guncang. Ada juga para pedagang makanan(lemang ketan dan bubur kolang-kaling menjadi menu favorite di gelanggang) dan minuman. Biasanya para  pedagang itu masih memiliki hubungan kekuarga dengan \'tiang gelanggang\' atau penangung-jawab gelanggang. Pada masa itu dedengkot judi sabung ayam umumnya dari kalangan kelas menengah. Misalnya Ria (kepala desa), Pembarap (setingkat pesirah) bahkan seorang Khatib dari desa Tanjung Menang Ulu/Nambak juga merangkap sebagai Tiang Gelanggang. (Jaman sekarang jika seorang Khatib berjudi sudah tentu akan dipecat). Praktek-praktek curang sering terjadi, bisa saja bentuknya persekongkolan dengan tukang bulang (tukang pasang taji) ayam pihak lawan yang akan berlawanan di gelanggang. Jika sudah ada persekongkolan, berikutnya tinggal ditentukan modus kecurangannya.  misal tukang bulang akan  memasang pisau taji kwalitas buruk pada ayam pihaknya. Bisa juga tukang bulang pihak lawan sengaja memasang taji ayam yang sudah patah separoh tapi dilem atau ikatan taji ayam pihak lawan sengaja dilonggarkan saat dipasang. Tentu persekongkolan itu bertujuan supaya ayam lawan kalah. Dan sudah pasti tukang bulang pihak lawan mendapat bayaran dari pihak yang diuntungkan atas pengkhianatan tukang bulang itu. Ada lagi metode curang yang sangat halus yaitu dengan cara \'ayam direpuk\'(ditotok sayap dan kakinya) supaya ayam tidak bisa melompat saat diadu. Teknik ini dilakukan secara diam-diam biasanya malam hari, tidak diketahui oleh pemilik ayam yang akan direpuk. Tapi sepanjang sejarah sabung ayam kemampuan merepuk ini hanya dimiliki oleh pak Senai dari daerah Kisam. Tentu pak Senai mendapat uang jasa atas keahliannya ini dari pihak yang menang karena jasa pak Senai. Penulis: Agustam Rachman

Tags :
Kategori :

Terkait