___________________ DINIHARI pukul 02.00 WIB, 23 Nopember 1945. Di tengah musim hujan dan hawa dingin menusuk tulang, sejumlah pasukan TKR dipimpin Letnan Kolonel Santoso menyerbu markas Jepang di Kepahiang. Penyerbuan itu terkesan mendadak dan tidak terorganisasi dengan baik dari kacamata taktik perang. Perintah untuk \'bersiap\' baru diterima oleh Zamhari Abidin, Komandan TKR Kepahiang, sore hari pada 22 Nopember 1945. Ironisnya, Zamhari Abidin sendiri tidak mengerti bersiap untuk apa maksud perintah itu. Menjelang senja, pasukan TKR Curup bergerak menuju Kepahiang. Dalam perjalanan semuanya membisu, semuanya diliputi tanda tanya, tak ada yang tahu apa tujuan keberangkatan itu, kecuali Letnan Kolonel Santoso, sang komandan. Tiba di Kepahiang pukul 22.00 WIB. Pada pukul 00.00 WIB barulah teka-teki apa sesungguhnya misi dari perjalanan itu terjawab, ketika Letkol. Santoso memerintahkan Vandrieg Arifin Jamil, Komandan Kompi TKR Curup, untuk menghubungi Vandrieg Zamhari Abidin, Komandan Kompi TKR Kepahiang. Ternyata, Letnan Kolonel Santoso merencanakan menyerbu markas Jepang di Kepahiang. Zamhari Abidin diperintahkan untuk segera mengumpulkan pasukannya. TKR Kepahiang tak banyak yang bisa dikumpulkan tengah malam itu. Hanya mengandalkan dua pucuk senapan hamburg ditambah dengan senjata tradisional seperti keris, pedang dan tombak, serta belum ada pengalaman berperang, pasukan TKR pun siap \"berjibaku menyabung nyawa\" menyerbu Jepang yang bersenjata lengkap dan modern untuk ukuran saat itu. Pertempuran pecah pukul 02.00. Setidaknya 3 orang prajurit Jepang terbunuh. Namun, karena keterbatasan senjata di pihak TKR, kontak tembak berlangsung singkat, hanya sekitar 15-20 menit. Dalam pertempuran singkat ini juga, Letnan Kolonel Santoso gugur. TKR kemudian mundur ke Pesiunan Belakang. Suasana perjalanan pulang pasukan TKR ke Curup tak berbeda ketika berangkatnya, bahkan lebih membisu dan lelah. Semua diliputi rasa duka cita, karena sang komandan telah gugur dan jenazahnya berada di tangan pihak Jepang. ______________________ Luput dari Catatan Sejarah Dalam pasukan TKR Kepahiang yang ikut dalam pertempuran malam itu, terdapatlah seorang patriot bangsa berdarah Tionghoa. Dia bernama Baba Lamsam. Dia adalah salah seorang dari sedikit anggota TKR Kepahiang yang berhasil dikumpulkan oleh Vandrieg Zamhari Abidin dalam waktu yang begitu singkat, menjelang penyerangan markas tentara Jepang. Tidak banyak orang tahu tentang sosok ini. Hal ini terutama sekali karena kesederhanaan pibadinya, yang membuat dia tak mau banyak bercerita tentang perjuangannya dulu. Dari lepitan-lepitan sejarah, saya (Emong Sowandi) dan rekan saya Agustam Rachman, di rentang Oktober dan November 2020 ini, telah melakukan penelusuran khusus terhadap sosok yang begitu cinta Indonesia ini. Semoga saja hasil penelusuran yang dituang di tulisan ini akan dapat menginspirasi kaum muda untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan. Melalui tulisan ini juga, diharapkan terbangun keinsyafan, bahwa kemerdekaan ini berkat perjuangan seluruh anak bangsa, termasuk keturunan Tionghoa Selama di Kepahiang, Lamsam muda telah bersahabat dan bertetangga dekat dengan Santoso dan Zamhari Abidin. Karena hubungan pertemanan yang baik ini juga, ditambah dengan kecintaan terhadap Indonesia, dimungkinkan Lamsam ikut bergabung di TKR. Atas dasar semua ini juga, dia pun tidak ragu-ragu lagi menerima komando tengah malam dari Zamhari Abidin untuk bersiap melakukan penyerbuan markas Jepang, pada 23 November 1945 itu. Bisa dibayangkan, bagaimana sedih hati saat Letnan Kolonel Santoso gugur. Seorang sahabat telah gugur sebagai syuhada, diberondong senapan mesin tentara Jepang, di depan matanya sendiri. Dengan tetap berusaha tegar, walau tak bisa menahan keharuan, dia ikut mengantarkan Santoso ke tempat peristirahatan terakhir di pinggiran kota Kepahiang (Pemakaman Umum Pasar Ujung sekarang) Pada 1975, dia ditawari untuk masuk menjadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) dan mendapat tunjangan veteran Pejuang \'45. Namun, dengan alasan, bahwa perjuangan yang telah dilakukannya tanpa pamrih, dia menolak tawaran tersebut. Walaupun begitu, Baba Lamsam tetap menjalin silaturahmi dengan veteran-veteran \'45 di Bengkulu. Terlahir dengan nama Hock Lam San, yang kemudian berganti nama jadi Sam Hoswandi. Namun, di waktu-waktu berikutnya, orang Bengkulu lebih mengenalnya akrab dengan panggilan Baba Lamsam, pemilik PD Sinar Harapan Teknik, yang beralamat di Kebun Tebeng, Bengkulu. Baba Lamsam lahir di Pariaman Sumatera Barat tahun 1923, putra dari Hock Lam Seng. Saudara-saudaranya yang lain adalah Evi, Hock Lam Tun, Hermy, Edy Yusuf dan Mascik. Sekitar 1936, Hock Lam Seng pindah dari Pariaman ke Kepahiang. Sebagaimana orang-orang Tionghoa lainnya, Hock Lam Seng berdagang. Di Kepahiang, Hock Lam Seng, yang lebih sering disapa Cek Lam Seng, membuka usaha cuci cetak foto, jual obat ramuan Cina dan sebuah toko kelontongan di Sempiang (Pasar Ujung Kepahiang, saat ini). Cek Lam Seng selama di Kepahiang, juga berprofesi sebagai instalatir listrik yang dipercaya oleh pihak perusahaan listrik (OGEM) untuk pemasangan listrik di wilayah Kepahiang dan Curup. Saat itu tak banyak orang berprofesi ini. Dan, karena profesi ini juga Cek Lam Seng mendapat julukan \"Tali Kabel\" oleh orang-orang di Kepahiang. Saat kepindahan keluarganya ke Kepahiang, Lamsam berusia 13 tahun. Dia adalah seorang bocah yang lincah, juga sedikit nakal, namun ia tumbuh menjadi pribadi yang supel, yang memiliki banyak teman di semua lapisan masyarakat dan suku bangsa yang ada di Kepahiang. Saat temannya diganggu orang berniat jahat, maka Lamsam tampil membela, walaupun resikonya harus berkelahi. Lamsam menguasai bela diri Kungfu aliran Wing Chun dari Tiongkok Selatan. Di Kepahiang saat itu telah berdiri sekolah eksklusif untuk anak-anak Cina, yakni Tiong Hoa Hwee Koan (komplek SDN 39, Pasar Ujung-Kepahiang hari ini), berada tak begitu jauh dari rumah keluarga Lamsam. Walaupun dia memiliki hak untuk bersekolah di sana dan keluarganya adalah penganut Khonghucu, namun oleh orang tuanya justru dia dimasukkan ke Sekolah Rakyat Muhammadiyah Kepahiang. Hal ini tak lepas dari pandangan orang tuanya sendiri, yang menginginkan Lamsam dan saudara-saudaranya dapat lebih berbaur dan bergaul dengan pribumi lainnya. Sampai akhir hayatnya, Baba Lamsam tidak menguasai bahasa Mandarin, tetapi dia fasih berbahasa Minang dan Rejang. \"Ya, memang ada nama Sam dan Jenawa yang ikut dalam penyerbuan itu,\" tutur Bapak. Zainal Arifin Djamil, pelaku dan saksi mata pertempuran di Kepahiang, November 1945 itu, sebagaimana diceritakan kepada Emong Soewandi, pemerhati sejarah Bengkulu yang telah melakukan wawancara khusus pada 2000 silam. Bapak Zainal Arifin Djamil juga diceritakan, bahwa Cek Lam Seng, orang tua Baba Lamsam, pada masa-masa Agresi Militer Belanda II, banyak membantu kebutuhan logistik untuk TKR Curup dan TKR Kepahiang. Selain Cek Lam Seng, tercatat keturunan-keturunan Tionghoa lainnya, seperti Cek Gemuk, Cek Kuang dan Cek Peng Moh yang setia membantu perjuangan TKR demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kisah itu berkesesuaian dengan cerita Johan Surya, anak sulung Baba Lamsam. \"Dulu tahun 1975, waktu itu saya masih SMA, ada pak Zulkifli Zoro dari Jakarta datang berkunjung ke rumah kami menemui ayah saya, saya lihat kartu namanya berlambang Paspampres. Pak Zulkifli Zoro minta kepada ayah supaya mengurus pensiunan veteran perang. Karena ayah adalah salah satu anggota TKR Kepahiang. Tapi ayah menolak. Kami pernah berkunjung kerumah Pak Zulkifkli Zoro di daerah Menteng Jakarta Pusat,\" ujar Johan Surya. \"Alasan ayah menolak, karena perjuangan beliau tanpa pamrih dan murni untuk mempertahankan kemerdekaan. Kalau pak Zulkifli Zoro tidak datang, kami tidak akan tahu jika ayah pernah berjuang angkat senjata melawan Jepang,\" lanjut Johan Surya. Pada 1957, Baba Lamsam menikah dengan Elisabeth Darmawan. Mereka menetap di Kota Bengkulu dan menekuni dunia bisnis. Mereka dikaruniai empat orang anak: Johan Surya (insinyur alumni ITB), dr. Agus Gunawan, Willy Hoswandi dan Meki (alumni Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu) \"Ibulah yang mendorong kami supaya giat belajar menuntut ilmu, kebetulan pendidikan ibu saya lumayan tinggi,\" cerita Johan Surya kepada penulis. \"Sementara dari figur ayah, kami belajar soal etos kerja keras dan tekad kuat dalam mengarungi kehidupan\". Setelah Indonesia merdeka, kecintaannya pada negara tak pernah berkurang. Baba Lamsam pernah membantu menyediakan ribuan kloset untuk program sanitasi di Bengkulu Utara semasa Bupati Boerhan Dahri yang juga Pejuang \'45. Kebetulan keduanya bersahabat sejak muda. Program itu dalam rangka mengubah kebiasaan masyarakat supaya tidak buang air ke sungai dan pantai. Pada 2014 lalu, Baba Lamsam wafat dalam usia 91 tahun. Dia dimakamkan secara Katolik di pemakaman Tionghoa Nakau. Turut hadir dalam pemakaman itu pemuka-pemuka agama Islam, pengurus-pengurus masjid dan tokoh agama lain serta sahabat-sahabat dekat. Upacara pemakaman sangat sederhana, tetapi penuh khidmat. Tanpa tembakan salvo, tanpa pidato petinggi militer dan tiada bendera merah putih membalut petinya. Yah, sesederhana pribadi Baba Lamsam yang kisah perjuangannya tidak diketahui banyak orang. Bahkan, kisah perjuangannya pun nyaris ikut terkubur bersama jasadnya. Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2020 Referensi: Soewandi, Emong. Sejarah Perjuangan Rakyat Kota Curup. Curup: Pemda Rejang Lebong. 2000 Memoar Bapak Zainal Arifin Djamil (alm.) Wawancara dengan Bapak Johan Surya, Bengkulu Wawancara dengan Ibu Seng Tin, usia 84 tahun, Kepahiang ____________________ Penulis 1 : Agustam Rachman,SH, MAPS Penulis 2 dan Editor : Emong Soewandi
Baba Lamsam; Patriot Tionghoa Kepahiang yang tak Terceritakan
Senin 09-11-2020,20:43 WIB
Editor : Rajman Azhar
Kategori :