Suka dan Duka Dokter Paliatif Mendampingi Pasien Kanker Kronis

Suka dan Duka Dokter Paliatif Mendampingi Pasien Kanker Kronis

Tak Sembuhkan Penyakit, tapi Beri Kualitas Hidup

Divonis kanker stadium akhir tidak berarti menyerah dan menunggu takdir. Masih ada harapan di antara penderitaan. Dalam kondisi itulah spesialis paliatif hadir. Memberikan asa agar harapan tersebut bisa menjadi nyata.

Zalzilatul Hikmia, Jakarta

Jakarta masih temaram pagi itu. Awan hitam masih menyelimuti langit ibu kota. Matahari pun seolah enggan beranjak dari peraduannya. Tapi, kesibukan sudah mulai tampak di ruang tunggu Rumah Sakit (RS) Kanker Dharmais Jakarta Barat Jumat (27/1).

Aktivitas yang sama terjadi di ruang perawatan paliatif yang berada di lantai dasar. Dokter Maria Astheria Witjaksono MPALLC (FU) PC Physician, 55, salah seorang dokter paliatif di unit pelayanan paliatif dan kedokteran komplementer, tampak sibuk memeriksa sejumlah berkas pasien untuk praktik hari itu. Padahal, masih ada waktu lebih dari satu jam sebelum unit tersebut buka untuk melayani pasien pada pukul 08.00 WIB.

Aktivitas itu terusik sejenak saat bunyi handphone memanggil. Raut wajah Maria sontak berubah tak lama setelah menyapa orang di seberang sana. Semangat pagi yang ditunjukkan di awal seolah menguap tak tersisa. Bahkan, dia sempat mematung cukup lama. ”Kenapa saya tidak ditelepon tadi malam?” ujarnya lirih setelah sadar dari kebekuannya.

Telepon itu ternyata membawa kabar duka. Salah seorang pasien yang ditanganinya meninggal dunia Kamis malam (26/1). Seketika muncul rasa sesak di dadanya. Kesedihan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Ada penyesalan mendalam karena tak bisa mendampingi keluarga pasien saat pasien tutup usia. Apalagi, semalam Maria sempat berkunjung dan tak melihat gejala buruk. Meski dia sadar kondisi pasien sudah kronis.

Pasien itu memang baru tiga minggu ditanganinya. Namun, kedekatan yang terjalin membuatnya seolah sudah saling mengenal lama. ”Saya semalam memang baru pulang jam 23.30. Tapi, kalau dikabari, pasti saya akan datang,” ujarnya sambil menahan air mata.

Maria memang selalu pulang malam setelah menjalankan kewajiban. Piket pagi di Dharmais, visit ke rumah pasien saat siang, dan bersapa dengan pasien inap pada malam hari.

Ketika sambungan telepon diakhiri, Maria kembali terdiam. Berbagai pertanyaan langsung muncul di benaknya. Tentang apakah perawatan yang diberikannya sudah maksimal? Apakah dia sudah memberikan yang terbaik untuk pasien dan keluarganya? Pertanyaan itu selalu muncul setelah mendapat kabar duka tentang pasiennya.

Maria bercerita, almarhum divonis kanker ginjal. Saat dia tangani, sudah dalam kondisi kronis. Pihak keluarga juga telah mengetahui kondisi tersebut.

Meski dirundung duka, dia mengaku ada sedikit kelegaan. Sebab, keinginan almarhum sebelum mengembuskan napas terakhir telah terwujud. ”Beliau sangat ingin mengumrahkan salah seorang yang dirasa sangat berjasa dalam hidupnya,” tutur perempuan kelahiran Jogjakarta itu.

Almarhum meminta sang istri untuk mencari sang pahlawan tanpa tanda jasa tadi. Dia mengatakan, agar setelah ketemu, sang istri mau berangkat umrah bersama orang tersebut. ’’Kebetulan istri beliau baru saja kembali dari Tanah Suci,’’ ujarnya.

Menurut Maria, sebagian besar pasien yang ditransfer ke unit paliatif memang sudah dalam kondisi kronis. Sejujurnya, dia tak ingin seperti itu. Ibu dua anak tersebut berharap paliatif bisa dihadirkan sejak awal. Dengan begitu, kualitas hidup pasien bisa ditingkatkan.

Dia menjelaskan, ada penyakit-penyakit yang memang tidak bisa disembuhkan total seperti layaknya sakit flu. Contohnya, diabetes, darah tinggi, dan kanker. Namun, penyakit-penyakit tersebut bisa dikontrol. Dengan begitu, harapan hidup pun lebih panjang. ”Paliatif tidak memberikan obat kanker, itu tugas onkologis. Tapi, kita hadir untuk membantu pasien memperoleh quality of life,” ungkapnya.

Bayangkan. Divonis dokter sakit kanker. Bagi pasien, informasi tersebut serasa kiamat. Di samping harus menahan nyeri tak terkira, beribu kekhawatiran pun melanda. Tak jarang, pasien langsung menyerah. Belum lagi, ketika pasien menderita, keluarga pun mengalami beban yang sama beratnya. Lalu, pasien dan keluarga merasa tak memiliki harapan.

”Nyeri yang dirasakan ini bukan hanya fisik, tapi juga hati. Berbagai macam pikiran muncul. Ibu muda misalnya, terkena kanker payudara. Dia pasti langsung berpikir: apakah aku bisa jadi istri yang baik nantinya sementara kondisiku seperti ini? Bagaimana nasib anakku nanti? Atau, akankah suami saya tetap mencintai saya nantinya?” tutur alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu.

Di sinilah paliatif hadir, untuk mendampingi dan membantu pasien serta keluarga menghadapi kondisi tersebut. Membantu pasien bangkit dan menerima kondisinya. Sebab, ketika pasien bisa ’’berteman” dengan penyakitnya, dia akan lebih kuat. Sebaliknya, bila pasien hidup dalam kemarahan dan tidak bisa menerima, justru dia lebih cepat drop.

”Semua orang suatu saat meninggal. Dan, meninggal ini bukan untuk ditakuti, tapi dipersiapkan. Sehingga, berapa pun lama hidupnya, mau seminggu, sebulan atau setahun, bisa dijalaninya secara berkualitas,” paparnya.

Biasanya, dalam memulai pengobatan, perempuan pencinta batik itu lebih dulu melakukan pendekatan ke pihak keluarga pasien. Dia akan bertanya kepada keluarga tentang kondisi pasien dan apa yang ingin dicapai. Baru setelahnya, dicocokkan dengan keinginan pasien.

Pasien tentu harus tahu bagaimana kondisinya. Tapi, yang jadi pertanyaan, apakah pasien siap? Karena itu, dokter harus pandai-pandai menyampaikan. Jangan sampai kejujuran yang disampaikan tapi membuat harapan mereka hilang.

”Misalnya, dok aku katanya gak boleh kemo dulu. Belum kuat katanya. Padahal kita tahu, dia memang sudah tidak bisa. Lalu kita tanya, menurut bapak kuat gak nanti? Dia jawab, kuat.’’

Semangat tersebut yang akhirnya menjadi bekal bagi Maria untuk mewujudkan quality of life pasien. Membantu pasien ’’sembuh” untuk bisa mencapai goal-nya. ”Kita tanya apa yang ingin mereka lakukan dan apa yang bisa kita bantu?” ujar istri A. Firman Arif W. Soepalal itu.

Jawabannya beragam. Ada yang hanya ingin ditemani dan ngobrol bila dalam masa sulit dan kesakitan. Ada pula yang ingin bisa ikut pengajian, ikut reuni teman-temannya tahun depan, dan lainnya. Terhadap keinginan-keinginan tersebut, Maria berupaya membantu bagaimana bisa terwujud.

Ada pula kisah lain, saat seorang bapak yang tengah berjuang melawan kanker stadium akhir dan berkeinginan membawa sang anak kembali ke Jakarta. Sebelumnya, sang anak terpaksa dititipkan ke eyangnya di Klaten, Jawa Tengah, setelah dia di-PHK.

Dengan sekuat tenaga, Maria menghubungi satu per satu relasi sang pasien. Kemudian, mengupayakan membawa sang anak ke Jakarta. Tak sampai di situ saja, bersama tim di unit paliatif, Maria membantu mencari sekolah dan membayar biaya masuk.

”Karena sembuh untuk pasien itu lain-lain. Sembuh yang didefinisikan pasien itu belum tentu seperti yang kita definisikan untuk sembuh,” ungkapnya.

Paliatif bukan berarti memenuhi segala keinginan pasien. Paliatif memberikan dorongan bagaimana seorang pasien bisa lebih hidup dan memiliki harapan.

Sebab, tak jarang pula, pasien Maria bisa hidup jauh lebih lama dari vonis dokter. Maria menyebutnya kondisi di luar nalar dan bukan lagi kuasa dokter.

Kisah Ani (bukan nama sebenarnya) misalnya. Dia divonis dokter hanya bisa bertahan sembilan bulan karena penyakitnya. Namun, hingga saat ini ibu satu anak itu telah berhasil melewati 13 bulan. Bahkan, beberapa hari lalu dia bersama sang suami merayakan ulang tahun putri tunggalnya. Maria pun turut hadir dalam perayaan tersebut.

Maria ingat, saat itu kondisi Ani yang dirawat di rumah sakit semakin buruk. Hingga akhirnya, perawatannya dialihkan pada unit paliatif. Ani kemudian disarankan menjalani perawatan di rumah. Itu dilakukan agar dia lebih dekat dengan keluarga dan tentu merasa nyaman dengan suasana rumah.

”Saya berbicara dengan suaminya. Memberikan pengertian dan masukan. Lalu, menyiapkan anaknya dan mendampingi si ibu untuk bisa mengontrol penyakitnya,” tuturnya.

Dia pun meminta suami Ani beraktivitas seperti biasa. Ngantor di Aceh ketika weekday dan pulang saat weekend. Tapi, dengan catatan, sang suami wajib menelepon istrinya setiap hari tanpa terkecuali. Anak Ani pun dipastikan bisa hidup normal. Bersekolah dan lainnya. ”Jangan sampai saat satu orang ambruk, lalu satu rumah ikut ambruk,” ujarnya.

Dia menampik bila itu terjadi berkat kehebatan tangannya. Menurut dia, itu usaha semua pihak. Terutama pasien dan keluarga. Terlebih kehendak Tuhan. ”Suaminya selalu berharap, semoga abis ultah perkawinan kami, ya Dok. Ternyata lewat. Natal, ya Dok, lewat. Sampai anak kami ulang tahun, ya Dok, lewat juga. Saat berhadapan dengan pasien itu, kita jadi sadar, dokter itu gak ada apa-apanya,” kenangnya.

Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mengungkapkan, dalam mengobati pasien, ada beberapa hal yang tak boleh dilewatkan. Pertama, statement pasien dan achievement untuk pasien. Pernah suatu hari, kata dia, pasiennya bertanya, ”Dok, kapan ya tanggal 24?” ”Saya jawab, kenapa memang, Bu? Nanti tanggal itu saya dijemput suami. Benar saja, beliau meninggal pada tanggal tersebut,” tutur alumnus Flinders University, South Australia, itu.

Sementara itu, achievement digunakan sebagai salah satu strategi untuk mendongkrak semangat pasien. Itu pun tak perlu mahal, cukup melalui pujian terhadap capaian dan semangat mereka.

Jalan mengabdi Maria ternyata tak mudah. Dia harus mengesampingkan kehidupan pribadi. Dengan berat hati, dia harus berpisah dengan suami yang bertugas di luar negeri.

Mengabdi di Kementerian Luar Negeri membuat A. Firman Soepalal, suami Maria, banyak tugas di luar negeri. Dalam mengemban tugas itu, Firman kerap berpindah-pindah negara. Saat ini dia menjadi minister counselor di KBRI Vientiane, Laos.

Awalnya Maria selalu ikut ke mana pun suami bertugas. Sampai suatu hari, sang suami minta dia pulang ke Indonesia. ”Suami saya bilang, ’Kamu paling dibutuhkan di Indonesia. Kalau ikut aku, kamu akan terus jadi volunter. Lalu kapan kamu punya waktu untuk berbakti kepada bangsamu sendiri?’” kenangnya.

Maria langsung trenyuh. Akhirnya, pada 2010, ibu dua anak itu kembali ke Indonesia dan mulai membantu masyarakat yang membutuhkan. Dia bertekad akan selalu memberikan yang terbaik sehingga pasien-pasiennya bisa mencapai quality of life. Dengan harapan bisa memperpanjang harapan hidup mereka. (*/nw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: