Sleeping with the Enemy
Oleh Rhenald Kasali SEBAGIAN Anda tentu familier dengan judul film thriller awal 1990-an di atas yang dibintangi Julia Robert. Kisahnya lumayan menegangkan, tentang seorang istri yang berjuang menyelamatkan diri menghadapi suami yang berkepribadian ganda. Kadang lembut, tetapi kali lain sangat kasar. Sebagaimana layaknya film-film Hollywood, film tersebut berakhir happy ending. Sang istri akhirnya berhasil menyelamatkan diri dan memperoleh pasangan baru yang baik hati. Sayang, kehidupan kita tak selalu seperti film-film Hollywood. Banyak di antara kita terpaksa menerima kenyataan yang berbeda: harus rela hidup bersama dengan pesaing sepanjang waktu, Sleeping with the Enemy. Dalam bisnis, itu adalah biasa. Dalam dunia perbankan, dulu bank menghabiskan miliaran rupiah untuk membuat jaringan mesin ATM di mana-mana. Akan kelihatan lebih gagah ketimbang pesaingnya kalau memiliki ribuan ATM yang ada di mal, minimarket, hingga tikungan jalan. Kini sebaliknya, bank-bank sadar bahwa uang Rp 500 juta yang tersimpan dalam mesin ATM tidak produktif jika tingkat utilisasinya rendah. ATM malah menjadi cost, bukan sumber pendapatan. Maka, ketimbang terengah-engah menyiapkan dana untuk membangun ATM, lebih baik berkolaborasi. Kini satu ATM bisa digunakan banyak bank yang tergabung dalam salah satu jaringan. Dalam bisnis, perilaku semacam itu kita sebut koopetisi. Bekerja sama, tetapi sekaligus berkompetisi. Di industri otomotif, koopetasi bahkan dilakukan dua raksasa otomotif dunia, General Motors dan Toyota. Keduanya bekerja sama mengembangkan fuel cell cars yang menggunakan bahan bakar hidrogen. Edge of Chaos Dalam politik, fenomena Sleeping with the Enemy malah lebih terang benderang. Hari ini beberapa partai mendukung pasangan capres tertentu, beberapa hari ke depan mungkin sudah mengalihkan dukungannya ke capres lain yang kemarin dihina dina. Karena itu, dikenal ungkapan, hari ini kedelai, esoknya tempe atau tauge. Kita yang berada di luar sinis melihatnya: oportunis, tidak berpendirian. Tapi, begitulah politik, hanya kepentingan yang abadi. Lain-lainnya boleh disesuaikan dengan kebutuhan. Maka itu, sulit bagi politisi demikian mendapatkan respek publik dalam kehidupan sehari-hari. Sleeping with the enemies bukan perkara mudah. Bayangkan, berkolaborasi dengan pesaing. Sebagian cemas karena pesaing bisa mengintip kelemahan kita. Dalam kasus ATM tadi, bank pemilik jaringan tentu bisa mengetahui kekuatan bank atau perilaku nasabahnya, berapa banyak nasabah ATM-nya, dana yang berputar, dan sebagainya. Kalau sudah tahu, bank-bank besar bisa menggunakan informasi tersebut untuk akuisisi, misalnya. Kecemasan semacam itu menempatkan kita pada posisi yang saya istilahkan dengan edge of chaos. Itu adalah kondisi yang menempatkan kita di ambang kekacauan. Sederhananya begini. Setiap pagi kita selalu berada pada posisi itu. Kita harus memutuskan untuk tetap berada di rumah atau meninggalkan rumah yang berarti menembus belantara kemacetan dan siap menghadapi kekacauan lainnya. Keduanya punya risiko. Memilih tetap di rumah nyaman, tetapi tidak mendapat nafkah untuk keluarga. Sementara itu, memilih meninggalkan rumah berarti siap tersiksa dengan kemacetan yang menggila dan memperoleh ganjarannya. Bagi saya, mereka yang berani menempatkan diri pada posisi edge of chaos dan berani menghadapinya adalah cermin perilaku para pemenang. Kalau sudah begitu, kita akan menikmati keterampilan self organizing, nanti semua akan tertata dengan sendirinya, secara otomatis. Lalu, Anda mau jadi yang mana?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: