Kepulangan Terakhir Yuli Bersama Suami dan Dua Buah Hati
Mengenang Dua Keluarga Indonesia Korban Pesawat Malaysia Airlines DI antara 295 korban jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 di perbatasan Ukraina-Rusia, ada dua keluarga asal Indonesia. Yang satu dari Solo, lainnya dari Bali. Kedua keluarga itu membawa serta anak-anak mereka yang masih balita. Berikut laporan RIYANTO P.S. dari Solo dan MAULANA SAMBIJAYA dari Bali. *** SELIMUT duka menggelayuti keluarga Awang Nuryanto di Noyorono 29, Kebonan, Laweyan, Sriwedari, Solo, Jum\'at (18/7). Awang begitu kaget ketika melihat siaran televisi yang mendaftar nama kakak iparnya, Yuli Hastini, sebagai korban jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17. Woro Pamiluti, istri Awang, langsung berangkat ke Jakarta untuk mengurus segala sesuatunya terkait musibah yang menimpa kakak kandungnya itu. Awang akan menyusul setelah urusan di Solo selesai. Yuli Hastini mempunyai delapan saudara, salah satunya Woro. Yuli merupakan anak ketujuh, sedangkan Woro anak kedelapan. Tujuh saudaranya yang lain adalah Tri Rahayu (anak pertama), Widi Yuwono, Eni Widaryati, Agung Widarmoko, Didik Darmasto, Ida Mardiyanti, dan Rini Pudyastuti (anak kesembilan). Saudara-saudara almarhumah kini tersebar di berbagai kota. Yuli sendiri memilih tinggal di Belanda bersama suami dan dua anaknya yang masih balita. Wayan Sujana, pemuda 24 tahun warga Banjar Dinas Banyuwedang, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerok gak, Kabupaten Buleleng, adalah salah seorang korban tewas di antara ratusan orang yang tercatat dalam manifes penerbangan pesawat MH17, jenis Boeing 777, Malaysia Airlines Kamis malam lalu (17/7). Saat Jawa Pos Radar Bali mendatangi rumah Wayan Sujana kemarin siang, tangis keluarga terus terdengar. Bahkan, ibu korban, Wayan Sukri, 41, sering histeris dan beberapa kali pingsan. Dua adik korban, yakni Kadek Surati, 20, dan Komang Sudiana, 15, mengalami hal yang sama di halaman rumah. Hanya ayah Wayan Sujana, Ketut Ginastra, 43, yang terlihat lebih menguasai diri. Meskipun demikian, kesedihan tampak dari raut wajahnya yang memerah menahan tangis. Bapak tiga anak itu berusaha tegar atas kepergian anak pertama yang menjadi tulang punggung keluarga tersebut. Kepergian pemuda yang masih tercatat sebagai mahasiswa semester akhir Jurusan Perhotelan Undiksha, Buleleng, itu dirasa seperti mimpi buruk. Awal mendengar meninggalnya Sujana, Ginastra mengaku tidak percaya. Sebab, Kamis lalu (17/7) Sujana masih menghubungi adiknya, Kadek Surati, melalui telepon dan mengabarkan akan pulang ke Indonesia. ”Bilangnya kemarin (Kamis, Red) sudah di bandara,” ungkapnya. Menurut Ginastra, putranya meninggalkan rumah sejak 18 Juni lalu. Dia pergi untuk menghadiri undangan pernikahan temannya, Genoit Chardome, pengusaha berkewarganegaraan Belgia yang tinggal di Canggu, Badung. Dia berangkat bersama Genoit serta dua teman dari Jawa yang bernama Hendra dan Rina. Selain ke Belgia, dia juga pergi ke Prancis dan terakhir ke Amsterdam. Hal itu terlihat juga dari foto-foto yang dia upload ke akun Facebook-nya. Sujana adalah sosok pekerja keras. Selama berada di rumah, waktu senggang kuliah dia gunakan untuk mengajarkan bahasa Inggris secara gratis kepada warga sekitar. Menurut Ginastra, anaknya sering mengatakan ingin memajukan desanya agar tidak tertinggal. ”Dia tidak ingin melihat anak-anak di desanya putus sekolah dan tidak berpendidikan,” ungkapnya. Supartini, 39 Goresan duka juga terlihat di kediaman keluarga besar Harto Wiyono Kemin di Dusun Sidorejo, Desa Munggur, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, kemarin pagi (18/7). Supartini, 39, salah seorang putri Harto Wiyono, juga menjadi korban jatuhnya pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 di Ukraina. Janda yang memiliki satu anak itu dipastikan sebagai salah seorang penumpang pesawat dengan jurusan Amsterdam–Jakarta tersebut. Berdasar pantauan Jawa Pos Radar Semarang, Partini, sapaan akrab Supartini di kampung, di lingkungan setempat dikenal baik. Sejak beberapa tahun lalu, dia merantau di berbagai negara untuk bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Mulai Malaysia, Hongkong, Singapura, bahkan Timur Tengah. Kali terakhir dia mengadu nasib di Belanda, tepatnya di Kota Den Haag. Di sana dia sudah bekerja 3,5 tahun lebih sebagai tenaga kerja nonformal untuk urusan rumah tangga. Partini tidak sendirian di Den Haag. Dia bersama dua adik perempuannya, yakni Murtini dan Paryanti. Partini dan Paryanti bekerja untuk satu majikan. Sudah 3,5 tahun Partini tidak mudik ke kampung. Baru pada Lebaran tahun ini dia mengajak dua saudaranya pulang. Sayang, mereka tidak bisa pulang bersama. Murtini yang menumpang pesawat Singapore Airlines lebih dulu tiba di rumah kemarin pagi. Sedangkan Paryanti yang menumpang Emirates Airlines masih menuju Indonesia. Murtini tak menyangka bahwa Partini pergi begitu cepat. Ditemui di rumahnya kemarin, dia masih shock. Begitu pula kakak sepupu laki-lakinya, Purwanto, dan ayahnya. Sedangkan anak Partini tidak terlihat di rumah itu kemarin. Murtini menyatakan kali terakhir berkomunikasi dengan sang kakak saat dirinya sudah sampai di Indonesia. Sang kakak yang masih berada di bandara Amsterdam mengirim pesan terakhir berupa foto dirinya melalui WhatsApp. (WA). ”Kontak terakhir lewat WhatsApp kemarin sekitar jam 12 waktu Amsterdam atau sekitar jam 5 sore. Dia di ruang tunggu, mau boarding,” terang Murtini sambil menahan tangis. Ninik Yuriani Gagalnya reuni keluarga yang sudah lama dinanti-nanti juga dialami keluarga Basinah, 80. Putrinya, Ninik Yuriani, dipastikan masuk daftar 12 WNI yang tewas bersama puing pesawat MH17. Kabar itu membuat rumah Basinah di gang padat Kampung Demangsari, Kelurahan Wonosobo Barat, Wonosobo, Jawa Tengah, ramai didatangi tetangga sejak kemarin pagi. Di rumah itulah Ninik Yuriani lahir hingga menikmati masa remaja. Ninik merupakan putri nomor lima di antara delapan bersaudara anak pasangan Darmo Sukarso-Basinah. Saat Jawa Pos Radar Kedu mendatangi rumah orang tua Ninik, sang ibu, Basinah, belum mengetahui bahwa anaknya, Ninik Yuriani, telah meninggal dunia. ”Kami masih sengaja merahasiakan kejadian ini karena setahu ibu, Ninik hampir sampai di Indonesia,” ungkap Rahardi Koeswoyo, kakak Ninik. Rahardi yang akrab dipanggil Dadit itu menyebutkan, dirinya bersama kakak dan adik kandungnya sudah sepakat untuk merahasiakan kabar kecelakaan yang menimpa Ninik dari ibunya. Itu mereka lakukan untuk menjaga kesehatan ibunya yang baru saja sembuh dari sakit. ”Dari tadi, kalau ada tamu, saya sampaikan ke ibu bahwa sedang ada arisan rombongan istri saya,” ujar pensiunan pegawai Humas Pemkab Wonosobo itu. Dadit berkisah, sebelum pergi ke Belanda, Ninik menikah dengan Cahyono dan dikaruniai satu anak yang dinamai Hani Pratiwi, 26. Namun, beberapa tahun lalu Cahyono meninggal. Di Belanda, Ninik tinggal di Kota Eindhoven bersama dengan kakaknya, Yuriah Tanzil yang merupakan seniman lukis. Sehari-hari Ninik bekerja di sebuah toko roti. Di waktu luangnya, Ninik mengajarkan berbagai seni budaya Indonesia, mulai jenis tarian hingga makanan khas Indonesia. ”Ninik termasuk orang yang tidak bisa diam. Dia bisa menari, bisa memasak. Hal itulah yang disukai orang-orang Belanda di sana, karena Ninik pandai memasak, terutama makanan khas Indonesia,” ungkap Dadit. Charles Tamtelahitu, 63 Malang benar nasib Charles Tamtelahitu, 63. Maksud hati ingin datang ke pemakaman sang bunda, Agustine Hermelina Lekatompessy, kemarin (18/7), tapi ajal justru menjemputnya. Dia menjadi korban jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 di wilayah perbatasan Ukraina-Rusia. Theo Lekatompessy, adik Charles, menceritakan sempat mengontak sang kakak untuk memberitahukan bahwa ibunya meninggal pada Rabu (16/7). Sang kakak pun akhirnya memutuskan untuk berangkat dari Amsterdam, Belanda, pada Kamis (17/7). ”Sekitar jam 12 siang waktu setempat,” ujarnya saat ditemui di tempat persemayaman jenazah Adi Yasa kemarin. Theo mengungkapkan, sebelum akhirnya terbang, Charles sempat menemui beberapa kesulitan untuk menuju Surabaya. Salah satunya terkait dengan tiket. Dia menceritakan sempat mencari tiket untuk tiga orang. Yakni, untuk Charles dan dua anaknya. Theo berusaha mencari tiket dari berbagai maskapai penerbangan untuk mereka. ”Namun, tiket menuju Jakarta pun tidak kunjung didapatkan,” ujar Theo, yang juga Presdir PT Humpuss Intermoda. Namun, berkat seorang kenalan di Malaysia Airlines, Theo berinisiatif mencarikan tiket untuk kakaknya. Charles pun mendapatkan tiket pulang-pergi meskipun hanya untuk satu orang. Charles akhirnya memutuskan untuk terbang seorang diri. Charles dijadwalkan tiba di Surabaya kemarin. Namun, betapa terkejut Theo begitu mendapati kabar bahwa pesawat yang ditumpangi sang kakak mengalami bencana. ”Pertama saya tahunya dari internet,” ujar Theo. Laki-laki 53 tahun tersebut mengungkapkan saat ini belum mengetahui kabar pasti mengenai keberadaan jenazah sang kakak. ”Apakah dikirim ke Surabaya atau tidak, kami masih menunggu kabar terbaru. Yang terpenting kami sekeluarga sudah ikhlas melepasnya,” ucapnya. Gerda Leliana Lahenda, 80 Tak ada yang menyangka bahwa piknik Gerda Leliana Lahenda, 80, ke Belanda minggu lalu adalah kepergiannya yang terakhir. Warga Kota Wisata Cluster Virginia, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, itu diketahui sebagai salah seorang penumpang pesawat yang jatuh di Ukraina Kamis lalu (17/7). Selama ini, Gerda tinggal di Kota Wisata bersama putrinya, Deby Lahenda. Menurut Deby, ibunya pergi ke Belanda untuk berlibur selama tiga bulan di rumah adiknya yang lain. Memang sudah biasa Gerda berada di Belanda berbulan-bulan karena hampir seluruh keluarganya tinggal di Negeri Kincir Angin itu. ”Sebelum kejadian, ibu sempat menelepon dan bilang akan pulang. Beliau juga meminta saya untuk menyiapkan koper kecil karena mau menginap di rumah adik saya di sini (Pondok Indah, Red),” kenang Deby sembari terisak. Deby mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu informasi tentang perkembangan pencarian korban MH17. Dia berharap jasad ibunya segera ditemukan. Gerda juga sempat menghubungi keluarganya di Indonesia sesaat sebelum menaiki pesawat MH17. Dia meminta anak dan cucunya menjemput di bandara. ”Oma SMS tante saya, katanya minta dijemput. Oma mau menginap di rumah sini,” kata cucu kesayangan Gerda, Anetta Permata, kepada wartawan. Gerda berangkat ke Belanda bersama temannya, yakni Jane Madeleine Adi Soetjipto. Saat kembali, keduanya juga bersama-sama. Shaka Tamaputra Panduwinata, 21, dan Miguel Gyasi Panduwinata, 13 Dua keponakan diva pop Vina Panduwinata tercatat sebagai korban pesawat Malaysia Airlines MH17 yang jatuh Kamis dini hari. Mereka adalah Shaka Tamaputra Panduwinata, 21, dan Miguel Gyasi Panduwinata, 13. Kabar itu membuat keluarga besar Panduwinata shock dan berduka. Kemarin (18/7) mereka menggelar tahlilan di kediaman ibunda Vina di Lebak Bulus. ”Mereka benar-benar anak-anak aku, mereka dari kecil...” ucap Vina seraya menahan tangis di kediaman ibundanya di kompleks Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, kemarin. Shaka dan Miguel adalah putra Jani Panduwinata dan Shamira. Jani adalah adik bungsu Vina. Jani dan Shamira memiliki tiga anak. Selain Shaka dan Miguel, ada Mikha Panduwinata yang merupakan anak kedua. Namun, Jani dan Shamira bercerai. Sejak empat tahun lalu, tiga anak Jani tinggal di Belanda bersama ibu mereka. Ceritanya, Shaka dan Miguel akan berlibur ke Jakarta untuk berlebaran bersama keluarga selama sebulan. ”Tadinya Mikha juga mau ikut (ke Jakarta). Tapi, karena tidak ada seat, akhirnya tidak jadi. Cuma Shaka dan Miguel yang berangkat,” kata pelantun Burung Camar itu. Dua keponakan Vina tersebut menggunakan paspor Belanda. Sejak pindah ke Belanda, Vina dan keluarga bertemu dengan Shaka dan Miguel hanya ketika mereka berlibur. ”Mereka kalau sama sepupu-sepupunya dekat. Komunikasinya intens. Kalau sama Mama Ina, paling komunikasi lewat social media. Kadang SMS-an juga,” katanya. Rencananya, Jani, ayah Shaka dan Miguel, ditemani salah seorang kakaknya bertolak ke Ukraina untuk melihat dan mengurus semuanya. ”Adik saya ingin melihat apa yang tersisa, apa yang masih bisa dibawa. Yang penting adik saya bisa melihat jenazah anak-anaknya,” katanya sedih. Sebelumnya, keluarga tidak mau memercayai kabar tersebut. Mereka masih berharap Shaka dan Miguel tidak menaiki pesawat yang dimaksud. Tapi, setelah memeriksa jadwal keberangkatan, harapan itu sudah tidak ada lagi. Beberapa kali Vina menangis ketika diwawancarai. ”Mama Ina masih berdoa kalau mereka masih ada. Mereka sudah seperti anak-anakku sendiri. Mereka tidak bersalah. Mama Ina yakin mereka mendapatkan tempat yang baik,” ucapnya.(jp)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: