UU Perbuatan Tak Menyenangkan Dihapus
MK Kabulkan Uji Materi UU KUHP dan KUHAP
JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) No 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
MK menyatakan frasa, ‘Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
\"Mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,\" tegas Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan perkara tersebut di gedung MK, kemarin, (16/1).
Menurut pendapat Mahkamah, frasa ‘Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, memberikan peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum dalam implementasinya.
\"Ini terutama bagi pihak yang dilaporkan, sehingga justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum,\" urai Hakim Konstitusi Ahmad Fadil Sumadi membacakan pertimbangan hukumnya.
Karena itu, lanjut dia, permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP sepanjang frasa, ‘Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ beralasan menurut hukum.
Mahkamah berpendapat sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi ‘Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur, maka ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata.
\"Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian tersebut, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan,\" tambah Fadlil.
Namun, apabila laporan tidak terbukti di pengadilan, maka pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum, terlebih lagi apabila yang bersangkutan ditahan.
Dengan demikian berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya, padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum.
\"Selain itu, yang bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut,\" terangnya.
Secara normatif ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP berbunyi, ‘Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain atau dengan perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan ancaman kekerasan, dengan ancaman perbuatan lain atau dengan ancaman perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.’
Dalam putusan MK tersebut, Pasal 335 ayat (1) KUHP menjadi, ‘Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Sebelumnya, Pemohon Oie Alimin Sukamto merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 335 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP yang mengatur tentang tindak pidana perbuatan yang tidak menyenangkan.
Pemohon menilai, Pasal 335 ayat (1) KUHP sebagai ‘pasal karet’ karena delik perbuatan tidak menyenangkan yang diatur di dalamnya sangat luas maknanya. Akibatnya, dalam praktiknya polisi cenderung mudah sekali menerapkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dengan dalih ‘pembuktian nanti urusan pengadilan’. (ris)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: