Rajin Bikin Aplikasi Musik untuk Smartphone
Dhany Irfan, Guru Biologi Bandung yang Jatuh Hati pada Teknologi di Tokyo Kenalkan Indonesia dengan
BANYAK yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kecintaan kepada bangsa sendiri di negeri orang. Dhany Irfan, 32, memilih menciptakan aplikasi di smartphone bernuansa Indonesia.
----------- Yudi Hananta, Tokyo, Jepang ----------- Bekerja dan membina keluarga di Jepang sama sekali tidak terbayang dalam benak Dhany Irfan. Namun, keputusan lulusan Universitas Pendidikan Indonesia jurusan biologi untuk melamar pekerjaan sebagai guru biologi di Tokyo tersebut mengubah total jalan hidupnya. \"Saat itu saya hanya ingin kerja. Lalu, pada 2004 ada informasi bahwa Kementerian Pendidikan membutuhkan guru untuk sekolah Indonesia di Tokyo. Saya memberanikan diri untuk mendaftar,\" ungkap suami Arie Nursanti yang dinikahi pada 2005 tersebut. Namun, meski menyiapkan diri di jurusan yang dipelajari, biologi, saat tiba di Negeri Sakura yang penuh dengan teknologi, Dhany bagaikan \"kesetrum\". \"Saya kagum dengan semua teknologi yang diterapkan sehari-hari di sini. Semua itu membuat saya harus belajar teknologi,\" ujarnya.
Sebagai langkah awal, dia belajar membuat blog komputer dari muridnya. Seiring berjalannya waktu, Dhany malah kecanduan. Totalitas belajar teknologi tersebut semakin menarik perhatian saat bergabung dengan darah seni yang mengalir di tubuh Dhany. Pak guru biologi itu adalah putra pemain kecapi dan gamelan dengung dengan ibu yang pemain silat. Sewaktu kecil, Dhany sering manggung di Caf\" Kampung Daun, Bandung. Dia bermain kecapi sambil kuliah. Nah, bakat turunan itu dipadukan Dhany secara kreatif dengan dunia teknologi. Apalagi, dalam kegiatan mengajar sehari-hari, dia sering mendapat inspirasi dari muridnya.
\"Murid saya di SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo) tanya, Pak gimana sih bunyi alat musik tifa itu? Dari situ saya tergerak untuk membuat aplikasi di smartphone untuk suara alat musik tradisional Indonesia. Terutama Sunda yang memang saya kenal sejak kelas 4 sekolah dasar,\" tutur ayah dua anak itu bersemangat.
Lalu, dia merekam suara alat musik kendang yang kebetulan ada di SRIT dan dikembangkan menjadi sebuah aplikasi yang bisa diunduh di AppStore iPhone. \"Sebenarnya siapa pun bisa membuat aplikasi ini. Cuma, butuh kreativitas dan ketelatenan untuk mempelajari programnya,\" kata pria kelahiran Bandung, 16 April 1979, tersebut merendah. Karena itu, ayah Arda Masagi Irfansyah dan Arga Masagi Irfansyah tersebut geram ketika Malaysia mencoba-coba mengklaim alat musik Sunda, angklung, sebagai milik mereka. \"Saya bikin aplikasi memainkan angklung di iPhone dan iPad dengan nama iAngklung dan saya luncurkan pas saat angklung Indonesia diakui UNESCO,\" tutur Dhany yang mengaku pernah ditawari puluhan juta dari pemerintah Malaysia untuk membuat aplikasi musik tradisional negeri jiran itu. Dari situ, Dhany terus berkembang dengan dunia aplikasi alat musik tradisional. Dia menelurkan aplikasi Kendang, Kecapi, Kerinding, Soccer Format, iTasbih, dan Celempung. Apalagi, setelah bertemu programer Yulius Wibowo dari Biminasoft Japan yang jago membuat bahasa pemrograman, keluarlah aplikasi iSaron, Gamelan, KoruptorShoot, Kecapi+, Jentreng, Kolintang, dan Dengung.
\"Semua aplikasi itu gratis di smartphone. Jadi, tujuannya memang untuk membudayakan alat musik tradisional Indonesia melalui media yang canggih berteknologi seperti iPhone dan iPad ini,\" ujarnya. Dhany yakin aplikasi-aplikasi tersebut bisa menjadi seperti brosur tentang Indonesia. \"Syukur-syukur apabila pemerintah Indonesia mau membiayai pengembangan aplikasi ini sehingga lebih banyak lagi,\" ungkap pria yang sudah sembilan tahun menetap di Tokyo tersebut. Gayung pun bersambut. Meski bukan dana, pemerintah Jawa Barat menghargai usaha Dhany dengan memberikan penghargaan Anugerah Inovasi Jawa Barat 2012 dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Penghargaan itu sangat berarti bagi Dhany. Sebab, sepulang dirinya menerima penghargaan tersebut, barulah sang ibu yang sudah berusia 52 tahun percaya akan kemampuan dan misi-visi Dhany. \"Ibu sangat bangga dan sekarang pialanya ada di rumah di Cikalang Wetan, Bandung Barat,\" ujarnya bangga. Saat ini Dhany menyatakan terobsesi dengan angklung. Dia menemukan kendala bahwa permainan angklung harus melibatkan banyak orang dan itu menyulitkan. Karena itu, pada 2012 dia mengembangkan lagi aplikasi bernama Sarinande (bermain angklung dengan formasi 8 orang) sehingga pengunduhnya bisa memainkan sendiri aplikasi tersebut. \"Agar anak-anak mau menggunakan Sarinande ini, saya ciptakan tokoh kartun yang lucu delapan orang. Lalu, saya bikinkan kaus bergambar tokoh ini sekaligus boneka kertasnya. Saya ingin total membangun Sarinande ini menjadi sebuah brand dan disukai anak-anak,\" tegasnya penuh semangat. Otak kreatif Dhany tidak berhenti di situ. Pria yang tampil necis dan dandanannya sudah mirip pria Jepang tersebut sedang mengembangkan story box dan story card. \"Idenya sih dari mesin pembaca sidik jari. Kalau bisa baca sidik jari, pasti bisa baca lain dan bisa bersuara. Jadilah saya merakit story box yang perangkat elektroniknya saya beli di Ebay dari Italia. Total udah habis Rp 1,5 juta,\" ungkapnya. Lagi-lagi sang ibu yang sedang berada di Tokyo untuk merawat cucu keduanya yang berusia 2 bulan mengomel. Sebab, setiap pulang mengajar, Dhany pasti sibuk dengan solder dan perangkat elektroniknya. \"Saya cuma jawab, ini investasi masa depan. Saya cuma bikin prototipenya dan pegang hak ciptanya, sedangkan produksi biar dilakukan perusahaan besar,\" ujarnya. Pemilik MasagiStudio Jepang tersebut mengakui bahwa dirinya penuh keberuntungan hingga menjadi seperti saat ini. \"Saya ini tidak pintar, tapi beruntung. Tetapi, beruntung aja tanpa kreatif juga tidak akan jadi apa-apa. Begitu pula sebaliknya,\" ungkapnya. (*/c5/kim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: