HONDA BANNER
BPBD

Kala Gawai Jadi Jalan Pintas: Perjuangan Seorang Ibu di Era Digital

Kala Gawai Jadi Jalan Pintas: Perjuangan Seorang Ibu di Era Digital

--

Oleh: Liza Anwar

 "Aku lebih baik anakku  gak makan daripada kamu kasih handphone." Ucapan  suamiku itu masih tergiang jelas di kepalaku. Kalimat yang awalnya membuatku terpaku, namun akhirnya menjadi titik balik dalam caraku mendidik anak.

Masih terasa bagaimana frustasinya  saat anakku yang baru berumur 1 tahun, tak mau membuka mulutnya. Semua telah ku coba tapi tetap saja tak ada yang berhasil membuat dia melahap makanan di depannya itu. Sendok yang dipenuhi dengan nasi dan lauk untuk kesekian kalinya seolah menggantung di udara. Semua ditolak, aku patah hati sekaligus frustasi.

Kejadian itu terus berulang hingga membuatku putus asa. Namun tiba-tiba muncul ide di otakku. Sebuah jalan pintas yang aku beri nama jalan ninja. Gawai, ya gawai yang sehari-hari sudah menjadi temanku itu tentu menarik juga bagi anakku. Aku pun mulai membujuknya dengan iming-iming boleh berselancar di youtube. Menonton kartun-kartun kesukaannya, menikmati gambar yang penuh dengan warna.

Jalan ninjaku berhasil, anakku membuka mulutnya, makanan yang aku sajikan di piring habis tak bersisa. Matanya menatap  gawai sementara jari kecil itu menggeser layar saat bosan dengan tontonannya. Hatiku puas saat melihat perutnya terisi walaupun harus menjejalinya dengan gawai. Pikiran bodohku mencoba menguatkan hatiku, “Yang penting anakku makan,” begitu katanya.

BACA JUGA:Cerita Rakyat: Asal Muasal Pungguk Merindukan Bulan

BACA JUGA:Di Balik Senyum Lina

Sesi makan yang menghadirkan gawai akhirnya terus berulang. Senjataku sekarang layar bercahaya kecil itu. Dia pun mulai tahu kalau makan, dengan mudahnya gawaiku akan bergulir ke tangannya. "Bunda, aku mau makan," katanya kala itu. Aku tersenyum senang karena dia meminta makan. Namun hatiku tak bisa ditipu, aku sadar yang dia inginkan bukan makanan tapi gawai. 

Sampai akhirnya suamiku  mulai bersuara, perdebatan kecil kami pun bergulir. Bagiku anak makan jauh lebih penting, namun dengan tegas suamiku berkata, “Aku lebih baik anakku gak makan daripada dia main handphone. Biarkan saja dia gak makan! Rusak kalau terus begini polanya." Suaranya bukan sekedar nada, tapi tamparan yang membangunkan kesadaranku. Aku terdiam mencerna apa yang dibicarakan suamiku itu. Di antara piring kosong dan layar yang menyala, aku harus memilih: kenyang sesaat atau masa depan yang sehat.

 Dia menjelaskan bagaimana dampak penggunaan gawai pada balita dan meyakinkan aku agar tak jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Semenjak tak ada gawai anakku kembali tak mau makan. Hampir saja aku kalah dan kembali ke pola lama tapi kata-kata suamiku kembali terniang-niang di telinga. Seakan menguatkanku untuk tak kalah. Aku yakinkan diri, kalau dia lapar dia akan makan. Benar saja akhirnya dia makan walau tak selahap bersama handphone. 

Lambat laun pola makan dengan gawai hilang dari ingatannya. Aku mencoba untuk lebih tenang jika dia lagi tak ingin makan. Setidaknya memastikan ada yang masuk di perut yang entah itu roti, buah, susu atau telur. Untung aku tak menyerah. Untung aku bertahan. Karena jika ibu meyerah, siapa lagi yang berdiri paling depan di garis batas antara kecanggihan dan kehancuran? 

Sekarang anakku sudah berusia 6 tahun, aku bersyukur tak ada kendala dalam berbicara. Semenjak ultimatum dari suamiku itu aku memperketat aturan penggunaan gawai. Bukan hanya untukku saja, larangan pemberian gawai kepada anakku pun berlaku pada yang lain, paman, bibi atau kakek dan neneknya. Jika pun terpaksa memberikan ada ketentuan yang harus diikuti. Misalnya pembatasan waktu, pendampingan saat penggunaan bahkan tontonan yang disajikan. 

Suatu hari, di sekolah taman kanak-kanak, aku bertemu orang tua murid lain. Kami berbincang sembari menunggu jam pulang. Dia bercerita tentang anaknya yang mengalami keterlambatan bicara. Hal itu dikarenakan sejak balita anaknya sudah asyik bercengkrama dengan gawai. Dengan rasa penyesalan dia mengakui gawai membantu membuat anaknya tenang sehingga dia pun bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. Tapi, ternyata ketenangan itu berujung masalah. Aku tak menyalahkan dia, aku pun pernah di posisi yang sama. Setidaknya sekarang kami sadar dan berusaha memperbaiki kesalahan itu.

Pengalaman kami itu, membuatku ingin mencari tahu lebih banyak tentang dampak gawai terhadap tumbuh kembang anak. Ternyata apa yang aku dan beberapa orang tua alami bukan sekedar kekhawatiran tanpa dasar. Hal ini senada dengan yang dipublikasikan oleh RSP Ario Wirawan dalam artikelnya yang berjudul, “Pengaruh Gadget Yang Menyebakan Anak Terlambat Bicara.” 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: