Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen
Reporter:
Rajman Azhar|
Editor:
Rajman Azhar|
Senin 11-11-2013,08:00 WIB
Mereka Yang Terlupakan Di Medan Pembantaian Massal (1)
Bulan November selalu diidentikkan dengan bulan kepahlawanan. Ya, setiap tanggal 10 di bulan itu seluruh warga Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Tapi di balik peringatan itu banyak kejadian dan tragedi heroik yang harusnya dikenang tapi malah sering terlewatkan. Termasuk mereka para pejuang dan warga sipil yang mereggang nyawa di medan pembunuhan massal selama Agresi Militer Belanda berlangsung.
---
BICARA medan pembunuhan yang terjadi selama perang kemerdekaan, mungkin yang teringat hanya kasus Rawagede, Kerawang, Jawa Barat. Itupun ramai dibicarakan setelah Pengadilan di Den Haag memutuskan Pemerintah Belanda harus bertanggungjawab atas kejadian itu pada September 2011 lalu.
Kemenangan itupun buah dari gugatan sebuah yayasan, bukan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Rawagede hanyalah satu dari sekian banyak tragedi kelam yang tak terperhatikan. Meskipun negara ini sejatinya telah menikmati lebih dari 68 tahun kemerdekaan.
Melalui sebuah ekspedisi bersama peneliti dari Indonesia dan Belanda, Jawa Pos mencoba mengingatkan kembali, bahwa ada banyak nyawa rakyat Indonesia yang terkorbankan untuk mempertahankan kemerdekaan. Terutama pada masa agresi militer Belanda I dan II. Beberapa daerah yang menjadi medan pembunuhan massal itu kami datangi, diantaranya Kebumen, Temanggung dan Malang.
Kebumen tak bisa dipisahkan dari pergolakan perang, baik selama merebut maupun mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa tragis yang terjadi di kota itu ialah tragedi
Cannonade, Minggu Wage 19 Oktober 1947. Kejadian itu merupakan tembakan meriam bertubi-tubi ke desa Candi, Kecamatan Karanganyar.
Ketika itu, penembakan meriam di tengah pasar yang sedang ramai aktifitas masyarakat. ’’
Awale ana kapal mabur miring-miring. Ora suwi krungu suarane bom. Suittt...gleng...gleng...bleng,’’ ujar Baniah. Sejumlah saksi menyebutkan, kejadian itu memang diawali bom yang dijatuhkan dari pesawat capung.
Baniah yang tercatat kelahiran 1941 itu merupakan satu dari saksi sekaligus korban yang masih hidup. Cerita kelam itu meninggalkan luka di kaki kanan nenek 10 cucu dan seorang cicit itu. Saat kejadian itu Baniah berusia sekitar 6 tahun. Dia sedang ditinggal ayah dan adiknya ’’ramban’’ sayuran dan mencari kayu di bukit.
Baniah mengaku sedang memanjat pohon pepaya tak jauh dari rumahnya saat pertama kali bom dijatuhkan dari pesawat. Dia ketakutan mendengar ledakan, lari mondar-mandir berupaya mencari perlindungan. Sebab setelah asap mengepul dari bom pesawat, menyusul kemudian hujan canon terjadi.
Baniah akhirnya memutuskan masuk ke rumahnya. Tanpa disangka di dalam rumahnya sudah banyak orang yang juga berusaha mencari perlindungan. Mayoritas mereka terluka terkena serpihan canon. Mortir yang menghujani kampung Candi itu ditembakan dari kawasan Gombong yang terdapat benteng Belanda.
Baniah dan sejumlah saksi lain yang usianya hampir sama mengatakan kejadian itu berlangsung sekitar pukul 8. Mortir turun dari langit berkali-kali seperti air hujan yang semalam sebelumnya mengguyur daerah tersebut.
’’Mortirnya berkali-kali turun, baru berhenti menjelang dhuhur,’’ papar Ahmad Suwito dalam bahasa Jawa. Pria yang mengaku kelahiran kelahiran 1922 itu mengalami patah tulang akibat kejadian itu. Dia terkena serpihan mortir. Bekas luka itu kini masih membekas.
Dalam catatan sejarah yang tertulis di monumen 600 meriam membombadir kawasan itu. Jumlah tersebut diketahui dari lubang dan sisa meriam yang ditemukan di lokasi. Dari kejadian itu, 786 orang ditemukan tewas. Mengerikannya, menurut Suwito dan saksi lain, potongan tubuh kala itu tercecer dimana-mana. Termasuk di pohon dan terseret arus sungai yang deras setelah semalamanya hujan.
Selain Suwito, dalam ekspedisi ini Jawa Pos juga menemui korban tertua yakni Ahmad Supian. Dalam dokumen kependudukan Supian disebutkan lahir 1918. Namun dia mengaku usianya 98 tahun. Dia salah satu korban selamat dengan luka yang cukup parah. Pantatnya terkena serpihan mortir hingga tersayat cukup dalam. ’’Nggih kados roti diiris ngoten,’’ ujar Supian menggambarkan kondisi pantatnya.
Serangan canon itu membuat warga kocar-kacir, ada yang berupaya lari ke arah desa lain sejauh-jauhnya. Ada yang sempat sembunyi di gua Sigedong, yang jaraknya dari pusat pasar sekitar 2 km. Mereka yang mengungsi kebanyakan baru berani kembali berbulan-bulan kemudian.
Desa Candi menjadi sasaran kemarahan Belanda karena kawasan tersebut menjadi dapur umum untuk para pejuang yang didirikan secara sukarela oleh warga. Peneliti sejarah asal Kebumen Ravie Ananda mengatakan Belanda menganggap dengan diluluhlantakan kawasan candi, maka para pejuang akan kesulitan logistik.
Lululantaknya desa itu kini nyaris tak berbekas. Penanda yang ada hanyalah sebuah tugu sederhana. Itupun bukan dibangun oleh pemerintah daerah yang harusnya berkewajiban merawat sejarah tersebut. ’’Awalnya untuk memperingati kejadian itu dibangun tugu oleh warga yang terbuat dari batu cadas sederhana,’’ ujar pendiri komunitas Wahyu Pancasila itu.
Namun kemudian eks Tentara Pelajar seksi 332, 333, 335, dan 336 membangunkan monumen baru pada sekitar 90-an. Monumen itu bentuknya sederhana, seperti sebuah tugu yang menjulang dengan di atasnya terdapat replika canon. Ravie mengatakan selain monumen itu tidak ada upaya lain dari pemerintah untuk membangun napa tilas sejarah yang terjadi di Desa Candi.
(gun/mas)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: