Lindungi Hak Perokok, Sejumlah Tokoh Gugat UU PDRD
Reporter:
Rajman Azhar|
Editor:
Rajman Azhar|
Kamis 13-06-2013,20:40 WIB
JAKARTA – Merasa hak konstitusionalnya dirugikan, sejumlah tokoh mengajukan mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ke Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu (12/6). Mereka mengeluhkan pungutan sesuai aturan tersebut membuat konsumen produk tembakau membayar pajak berlipat.
Sejumlah tokoh yang kemarin hadir di gedung MK itu antara lain Hendardi, Mulyana Wirakusumah, Neta S. Pane, Bambang Isti Nugroho, dan Aizzudin. Mereka mengajukan pengujian terhadap beberapa pasal meliputi pasal 1 angka 19, pasal 2 ayat (1) huruf e, pasal 26-31, pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 94 ayat (1) huruf c, dan pasal 181 dari UU tersebut.
Gagasan diajukannya gugatan, kata Hendardi, didasarkan pada ketentuan mengenai pajak produk tembakau terutama rokok yang termuat dalam UU ini menyebabkan konsumen rokok adalah pihak yang paling dirugikan. Sebab sudah ada ketentuan mengenai Cukai Rokok sebagaimana tercantum dalam UU No.39 Tahun 2007 tentang Cukai, negara memungut cukai terhadap produk rokok.
Dalam ketentuan cukai tersebut subjek pertama yang menanggung beban cukai adalah produsen tetapi kemudian beban itu dialihkan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga. ”Ditambah dengan UU PDRD ini maka konsumen telah memikul beban pajak ganda dari setiap rokok yang dikonsumsi,” ungkapnya.
Hendardi mengakui bahwa langkah ini tidak populis jika dipandang dari aspek kesehatan. Namun menurutnya tetap perlu diperjuangkan untuk melindungi hak-hak orang lain karena berdasarkan putusan MK No.6/PUU-VII/2009 merokok adalah kegiatan legal yang dilindungi hak konstitusionalnya.
Neta S. Pane menambahkan penerapan pajak ganda untuk subjek yang sama ini merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan bagi perokok. ”Padahal perokok adalah salah satu penyumbang pajak terbesar bagi negara,” pikirnya.
Selain melindungi hak para perokok, kata dia, langkah ini sebagai upaya melindungi industri rokok rakyat yang semakin terpuruk akibatpengenaan pajak yang tinggi. Pada awal dekade tahun 2000 industri rokok rakyat mencapai 2500 perusahaan. Saat ini hanya tersisa sekitar 300 perusahaan.
Imbas turunannya, menurut dia, bisa mematikan petani tembakau yang jumlahnya sekitar 3,7 juta orang. ”Padahal di sisi lain serangan tembakau impor untuk produsen rokok besar begitu merajalela,” terusnya.
Kuasa hukum para pemohon, Robbikin Emhas, mengatakan pasal yang menyangkut soal Pajak Rokok dalam UU yang rencananya berlaku efektif 1 Januari 2014 itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. (mas/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: