HONDA BANNER

Mengenal Stockholm Syndrome: Gangguan Psikologis pada Korban Penculikan

Mengenal Stockholm Syndrome: Gangguan Psikologis pada Korban Penculikan

Stockholm syndrome adalah bentuk reaksi psikologis pertahanan diri dari korban yang dilakukan secara sadar maupun melalui alam bawah sadar. --

BENGKULUEKSPRESS.COM - Stockholm syndrome adalah gangguan psikologis yang dapat terjadi pada korban penculikan, penyekapan, dan penyanderaan. Kondisi inilah yang terkadang memicu munculnya kejadian yang tidak terduga pada korban-korban penculikan. Di mana, setelah kejadian tersebut, korban justru menyukai dan membela tindakan pelaku yang menculik dirinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, Stockholm syndrome tidak hanya terjadi pada korban penculikan. Lebih luas dari itu, kondisi ini juga bisa dialami oleh orang-orang yang terjebak dalam toxic relationship, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Mari pahami lebih lanjut mengenai ciri-ciri Stockholm syndrome dan cara mengatasinya di sini.

BACA JUGA:Masa Nifas Memberi Ibu Waktu untuk Pulih sambil Merawat Bayi

Apa itu Stockholm Syndrome (Sindrom Stockholm)?
Stockholm syndrome adalah suatu gangguan psikologis, di mana korban penculikan justru memiliki rasa kasih sayang dan empati terhadap pelaku penculikan. Pada kondisi ini, korban akan mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku penculikan sebagai bentuk coping mechanism.

Coping mechanism adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi situasi yang sulit atau menyebabkan stres maupun trauma. Stockholm syndrome bisa jadi muncul karena korban penculikan ingin meningkatkan peluang atau kesempatan untuk bertahan hidup, dan salah satu caranya adalah dengan bersimpati pada pelaku yang menculiknya.

BACA JUGA:Klik di Sini! Cara Klaim Saldo DANA Kaget Gratis Rp50 Ribu Hari Ini Selasa 18 Februari 2025

Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog dan psikiater berkebangsaan Swedia. Istilah Stockholm syndrome berasal dari sebuah kasus perampokan bank pada tahun 1973 di kota Stockholm, Swedia yang ditangani oleh Nils Bejerot. Pada kasus ini, korban sandera penculikan yang telah disekap selama 6 hari justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku.

Stockholm Syndrome adalah Bentuk Coping Mechanism
Pada dasarnya, Stockholm syndrome adalah bentuk reaksi psikologis pertahanan diri dari korban yang dilakukan secara sadar maupun melalui alam bawah sadar. Pada suatu peristiwa penculikan, para sandera atau korban sewajarnya akan merasa benci dan takut atas tindakan para pelaku penculikan. Namun, pada Stockholm syndrome, reaksi psikologis yang muncul justru berlawanan dengan apa yang seharusnya terdapat pada para korban.

BACA JUGA:Sahkah Wudhu dengan Air Kemasan? Berikut Penjelasannya

Meski begitu, mekanisme pertahanan diri berupa Stockholm syndrome yang dilakukan oleh korban ini semata-mata hanya untuk melindungi diri dari konflik, kejadian traumatis, ancaman, dan berbagai perasaan negatif lainnya (gelisah, takut, stres, marah, dan sebagainya).

Penyebab Stockholm Syndrome
Hingga kini, belum diketahui secara pasti apa penyebab Stockholm syndrome. Meski begitu, beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi sikap korban dan memunculkan Stockholm syndrome adalah:

- Durasi penculikan, penyanderaan, atau kekerasan yang dilakukan sudah berlangsung cukup lama.
- Korban dan pelaku penculikan merasakan tekanan situasi yang sama saat berada dalam satu ruangan.
- Pelaku menunjukkan kebaikan kepada korban atau bisa juga bertindak manipulatif, dengan memberikan makan dan tidak melukai korban.

BACA JUGA:10 Jenis Usaha yang Menjadi Prioritas Mendapatkan Pinjaman dari BRI

Selain penculikan, beberapa situasi lain yang dapat memicu terjadinya Stockholm syndrome adalah sebagai berikut:
- Pelecehan anak. Anak korban pelecehan sering kali merasa bingung dengan sikap pelakunya. Meski mendapatkan kekerasan secara fisik, anak bisa saja mengatakan hal tersebut sebagai wujud bentuk kasih sayang, sehingga muncul keinginan untuk melindungi pelaku.
- Pelatihan atlet. Pada beberapa kasus, pelatih atlet biasanya memberikan pelatihan dengan kasar yang bahkan dapat disertai juga dengan kekerasan. Hal ini dapat memicu terjadinya Stockholm syndrome apabila para atlet terus-menerus menganggap perilaku tersebut normal.
- Kekerasan dalam rumah tangga. Pelecehan secara fisik, emosional, maupun seksual dalam rumah tangga yang berkelanjutan dapat menyebabkan ikatan emosional yang membingungkan antara korban dan pelaku.
- Perdagangan manusia. Terkadang, beberapa orang yang menjadi korban perdagangan manusia dan dijadikan pekerja seks akan menggantungkan dirinya kepada pelaku agar kebutuhan hidupnya seperti makan dan minum dapat terpenuhi. Korban bisa saja memiliki perasaan positif terhadap pelaku karena telah memenuhi kebutuhannya.

BACA JUGA:Agar Dimudahkan Segala Urusan, Hajat, hingga Rezeki, Amalkan 7 Doa Berikut Ini

Tanda-Tanda Stockholm Syndrome
Sama halnya dengan gangguan psikologis lainnya, sindrom Stockholm juga memiliki beberapa gejala. Adapun tanda dan gejala terjadinya Stockholm syndrome adalah sebagai berikut:
- Muncul perasaan positif kepada pelaku kriminal, baik itu kasus penculikan, kekerasan, atau lain-lain.
- Merasakan kedekatan emosional dengan pelaku.
- Secara sadar membantu pelaku, sekalipun untuk melakukan tindak kejahatan.
- Mendukung setiap kata-kata, tindakan, dan nilai yang diyakini oleh pelaku.
- Enggan terlibat dalam usaha pembebasan atau penyelamatan korban-korban lainnya.
- Mulai muncul perasaan negatif pada pihak-pihak yang ingin membebaskannya, baik itu kepolisian, teman, hingga keluarga.

Korban dengan Stockholm syndrome juga bisa mengalami berbagai gejala gangguan mental yang mirip dengan PTSD (post-traumatic stress disorder), seperti gelisah, selalu curiga, sulit berkonsentrasi, selalu mengenang trauma masa lalu, sering bermimpi buruk, dan sulit menikmati hidup.

Diagnosis Stockholm Syndrome
Sebenarnya, Stockholm syndrome tidak termasuk dalam suatu diagnosis resmi dari gangguan kesehatan mental. Jadi, tidak ada kriteria khusus yang menjadi indikator diagnosis Stockholm syndrome. Karenanya, terkadang tim medis pun sulit untuk mengenali kondisi ini.

BACA JUGA:Agar Dimudahkan Segala Urusan, Hajat, hingga Rezeki, Amalkan 7 Doa Berikut Ini

Namun, penderita Stockholm syndrome biasanya menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan gangguan psikologis akibat pengalaman traumatik. Sehingga, pengobatan untuk Stockholm syndrome juga mirip dengan pengobatan untuk PTSD atau stress disorder.

Cara Mengatasi Stockholm Syndrome
Tidak ada pengobatan khusus untuk mengatasi kondisi ini. Meski begitu, Stockholm syndrome masih bisa disembuhkan dengan beberapa metode umum, seperti pemberian obat untuk mengatasi kecemasan dan terapi psikologis (psikoterapi).

Biasanya, psikolog dan psikiater juga menyarankan pengidap Stockholm syndrome menjalani rehabilitasi. Namun, durasi rehabilitasi pada setiap pengidap berbeda-beda, tergantung dari seberapa kuat ikatan emosional yang telah terbentuk antara korban dan pelaku.

Dukungan dari kerabat terdekat juga sangat dibutuhkan dalam hal ini, terutama jika pasien sudah berada di tahap depresi. Dukungan dari teman dan keluarga akan membantu proses rehabilitasi berjalan lebih optimal. Dengan begitu, pengidap akan pulih sesegera mungkin. (bee)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: