Durgandini! Perempuan Anak Raja yang Bau Amis Sejak Lahir

Durgandini! Perempuan Anak Raja yang Bau Amis Sejak Lahir

Anak raja yang sempat dibuang karena bau amis tubuhnya, namun dari rahimnya lahir raja raja besar--

BENGKULUEKSPRESS.COM - Orang-orang memanggilku Durgandini, perempuan berbau amis. Sebutan yang amat merendahkan dan melecehkan sekali. Tapi itulah kenyataan yang terjadi pada diriku. Sejak lahir aku sudah menanggung aib ini.

Meski sebenarnya anak seorang raja. Bahkan ayahanya, Prabu Basuparisara, tak mau menerimaku tinggal di istana. Karena bau amis yang menguar dari tubuhku mengganggu orang-orang sekitar. Kupikir, ini hanya alasan yang dicari-cari. Ayahku tak senang memiliki anak perempuan. Dia lebih senang menerima kehadiran Matsyapati, saudara kembarku, yang kemudian diangkat menjadi raja di kerajaan Wirata.

BACA JUGA:Resi Dorna yang Sakti Terpancing Provokasi

Sementara aku dikembalikan kepada Dasabala, seorang nelayan miskin yang memeliharaku sejak bayi. Dengan senang hati Dasabala menerimaku dengan penuh kasih sayang. “Sabarlah, anakku yang cantik. Kamu tak perlu bersedih. Nasibmu tak seburuk itu. Percayalah, kelak kamu akan menjadi perempuan yang paling mulia.

Dari rahimmu akan lahir para raja besar!” Aku tahu, bapa Dasabala hanya ingin menghiburku. Bagaimana mungkin perempuan sepertiku bisa menjadi perempuan mulia? Raja mana yang bersedia menikahiku. Para pemuda di kampung saja menjauh bila bertemu denganku. Mereka muntah-muntah bila mencium bau tubuhku yang teramat amis.

Ketika bapa Dasabala semakin tua dan tenaganya tak kuat lagi menjadi tukang perahu penyeberang orang di sungai Yamuna, Aku kemudian menggantikan tugasnya. Seperti sudah kuduga tak banyak orang yang mau memakai perahuku. Hanya mereka yang tak kenal diriku dan orang-orang asing saja yang berkenan memakai jasaku. Aku jadi sangat marah sekali kepada dewa yang telah menghadirkan diriku ke dunia ini.

BACA JUGA:Sri Kresna: Tokoh Diplomat Titisan Dewa Wisnu

“Siapa saja yang berhasil menyembuhkanku dari bau amis ini, jika dia seorang laki-laki akan kujadikan sebagai suami. Tak peduli sekalipun orang sudra yang buruk rupa atau miskin kehidupannya. Tapi jika dia seorang perempuan, aku bersedia mengabdi kepadanya dan melayaninya seumur hidup, ” sumpahku. Suatu hari, seorang laki-laki parobaya berjubah putih menghampiri perahuku dan meminta diseberangkan. Tidak seperti penumpangku yang lain, orang ini terlihat tenang saja.

Dia tak menutup hidungnya. Dia malah menatapku dengan sorot kekaguman. “Kenapa Anda memandangku seperti itu?” “Karena aku sangat kagum pada kecantikanmu. Sungguh, baru kali ini aku melihat perempuan secantik dirimu, ”katanya menyanjung. “Anda jangan berbohong. Aku tahu, Anda cuma ingin menutupi rasa jijik Anda mencium bau tubuhku!” ujarku. “Namaku Parasara. Aku seorang resi. Tabu bagiku untuk berkata dusta. ” Aku tertegun.

BACA JUGA:Jangan Mau Jadi Korban Pungli Jukir Nakal di Kota Bengkulu, Kenali Ciri-cirinya

Ternyata masih ada juga orang yang memuji kecantikanku. Dengan lugu aku kemudian menceritakan tentang nasibku yang amat buruk ini. Tidak kuduga resi itu bersedia menyembuhkan penyakitku. Dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya dia lalu menyentuh kulitku. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba bau busuk yang menguar dari tubuhku lenyap berganti dengan bau harum semerbak. Betapa senang hatiku. Seperti sumpah yang pernah kuucapkan, Aku meminta resi Parasara mengambilku sebagai istri.

Laki-laki itu bersedia menerimaku. Kami lalu menghadap bapa Dasabala untuk meminta restu. Bapa Dasabala meresmikan pernikahan kami. Harihari selanjutnya aku menjalani hidup rumahtangga dengan Parasara. Kami tinggal di rumah kecil di tepi sungai Yamuna dan hidup secara sederhana. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku.

BACA JUGA:Batara Daniswara! Saudara Rahwana Beda Ibu

Kebahagiaanku makin lengkap ketika lahir buah cinta kami yang diberi nama Byasa. Dia sungguh anak yang cerdas dan luar biasa. Sementara Parasara, suamiku, semakin giat dalam menekuni ilmu kesejatian. Dia kerap pergi dalam waktu lama untuk berguru dan bersemedi di tempat-tempat sunyi. Aku sering merasa kesepian dan hanya bisa memendam kerinduan. Hatiku rasanya tak sanggup menjalani kehidupan seperti ini.

Tapi sebagai seorang perempuan aku tak punya kuasa mengungkapkan hasratku. Tradisi menempatkan istri sebagai abdi dan pelayan suami. Istri tak ubahnya boneka hidup yang hanya diperlukan saat dibutuhkan. Kehidupan seorang istri ada dalam bayang-bayang keegoisan dan kekuasaan suami. Kenyataan ini kemudian membuka kesadaranku bahwa penderitaan batin ternyata lebih menyakitkan dibanding penderitaan fisik.

Sering terpikir dalam benakku, mestikah aku bertahan dengan keadaan seperti ini? Hatiku mulai diliputi kegalauan dan kebimbangan. Perasaan itu mencapai puncaknya ketika suatu hari Prabu Sentanu, raja dari kerajaan Hastinapura datang ke tempatku. Ia merasa penasaran dengan kabar yang beredar bahwa di sekitar sungai Yamuna tercium bau harum semerbak. Ketika tahu bahwa bau harum itu berasal dari tubuhku, dia pun jadi terkesima.

BACA JUGA:Lawa & Kusya Putra Kembar Prabu Ramawijaya

Dengan terus terang dia mengungkapkan kekagumannya dan berniat memperistriku. Dia menemui bapa Dasabala untuk meminta restu. Bapa Dasabala jadi bingung untuk memutuskan, karena aku masih berstatus istri Parasara. Bapa Dasabala lalu meminta waktu untuk berembug denganku. Dengan wajah berbinar-binar bapa Dasabala mengungkapkan maksud kedatangan Prabu Sentanu.

Aku hanya bisa diam termangu. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dadaku. Perasaanku makin tak karuan kala bayangan wajah resi Parasara berkelebatan di pelupuk mata. Aku merasa bersalah jika sampai mengkhianatinya. Tapi bila ingat malam-malam dingin yang kulalui, rasa bersalah itu pun memudar. Apalagi saat mendengar kata-kata bapa Dasabala yang merasuk ke dalam relung kalbu.

“Aku tahu perasaanmu, Nak. Kamu masih memikirkan suamimu. Tapi dengan keadaan seperti ini masihkah kamu berharap padanya? Sudah cukup penderitaan yang kamu alami. Inilah saatnya kamu menentukan langkah hidupmu sendiri. Ingat, Nak. Kamu itu masih keturunan raja, dalam tubuhmu mengalir darah biru. Selayaknya kamu menjalani hidup sebagaimana kaum bangsawan.

BACA JUGA:Sarpakenaka, Adik Kandung Rahwana Yang Terkenal Sangat Kejam

Kamu harus menjadi perempuan terhormat dan mulia. Kamu tak bisa membiarkan dirimu tenggelam dalam penderitaan dan kemiskinan. Kapan lagi kesempatanmu bisa merubah nasib?”tutur Dasabala. “Tapi, Bapa. Sekalipun aku menjadi istri raja, kedudukanku tak ada bedanya. Aku hanya sekadar boneka dan pelampiasan hasrat suamiku belaka. Apalagi seperti pengakuan Prabu Sentanu, dia telah memiliki seorang putra yang kelak akan menjadi pewaris tahtanya.

Jadi percuma jika aku hanya jadi selir dan anak-anak yang lahir dari rahimku cuma sebagai anak biasa, ”ujarku. “Tenang saja, Anakku. Kamu kan bisa mengajukan syarat kepadanya agar dirimu dijadikan permaisuri dan anak-anak yang lahir dari rahimmu menjadi putra mahkota. Kalau dia tak mau memenuhi permintaanmu, tolak saja lamarannya. Gampang to?” Aku tersenyum.

Gagasan bapa Dasabala cukup masuk akal. Memang inilah kesempatanku untuk bisa merubah nasib. Sejak kecil aku sudah cukup menderita sebagai anak terbuang, ketika dewasa dan berumahtangga kehidupanku tak juga berubah. Kemiskinan dan penderitaan tak lepas dari hidupku. Lalu, aku menemui Prabu Sentanu dan menyatakan kesediaanku menerima lamarannya, seraya mengajukan beberapa syarat, seperti yang tersebut di atas tadi. Prabu Sentanu kaget.

BACA JUGA:Maesasura! Raja Guwa Kiskenda Berwujud Kepala Kerbau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: