Lamar Putri Gading Cempaka Ditolak, Pangeran Aceh Perangi Kerajaan
Sejarah Bengkulu (1500-1990) Karya Prof Dr haji Abdullah Sidik Masuknya Kerajaan Sungai Serut disebut Rejang Sabah (suku bangsa Rejang yang berasal dari Lebong di dataran tinggi Bukit Barisan yang menyebar ke pesisir) karena banyak jumlahnya daripada suku Lembak yang minoritas. Ratu Agung sebagai raja pertama (1550-1570) mempunyai 7 orang anak, yakni Raden Jili, Monok Mincur, Lemang Batu, Taju Rumpun, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu, dan Putri Gading Cempaka. Pada masa pemerintahan Anak Dalam (1970-1615) wilayahnya meluas ke utara sampai ke dusun-dusun di tepi Air Lais dan Air Ketahun dan ke selatan sampai ke Air Lempuing. Pada zaman Anak Dalam ini pula pada akhir abad XVI, telah berdatangan para pedagang Aceh ke Bandar kecil Sungai Serut dan bermukim di bukit dekat pantai yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Bukit Aceh, untuk membeli lada dan hasil bumi lainnya. Menurut Tembo Bengkulu, putra Sultan Aceh yang juga pedagang pernah melihat Putri Gading Cempaka yang cantik molek itu. Kecantikan sang putri disampaikannya kepada ayanya Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Demi memperkuat pengaruhnya, beliau menyetujui putranya meminang putri disertai oleh satu pasukan. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Anak Dalam, kakak Putri Gading Cempaka yang saat itu telah menjabat sebagai raja. Sebagai akibat dari penolakan tersebut, Putra Sultan Aceh memerintahkan panglima pasukan laut Aceh memerangi Anak Dalam. Peperangan ini sungguh tidak seimbang. Rakyat dan tentara kerajaan mempertahankan dengan sungguh-sungguh daerahnya sehingga banyak memakan korban yang bergelimpangan di Sungai Serut ke hulu sungai. Raja Anak Dalam melarikan diri ke pedalaman (Gunung Bungkuk) dan kerajaannya musnah. Peristiwa berdarah ini terjadi di sekitar tahun 1615, dan mulai sejak itu, Sungai Serut berubah nama menjadi Sungai Bengkulu (Bangkahulu berasal dari kata-kata bangkai ke hulu). Peristiwa tersebut membuat orang-orang Rejang di Luak Pesisir (Rejang Sabah) kehilangan rajanya dan berkeliaran tanpa pemimpin kesatuan mereka. Setiap dusun memang dikepalai oleh seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyatnya dan bertugas memimpin serta menegakkan adat istiadat yang berlaku di dusun sebagai masyarakat hukum adat. Semua adat istiadat itu diketahui mereka secara lisan turun temurun. Kerajaan Sungai Serut memang terdiri dari dusun-dusun yang berotonomi, dan raja sebagai lambang kesatuan. Dengan ini maka kekeliruan saya dikarangan Hukum Adat Rejang (halaman 62 dan 63) yang meriwayatkan Sultan Iskandar Muda meminang Putri Gading Cempaka diperbaiki. Seterusnya kita lihat dari sejarah Banten, bahwa di permulaan abad XVII, Pantai Selatan Sumatera sampai sejauh Air Urai telah berada di bawah pengaruh Kerajaan Banten. Banten setiap tahun mengirimkan utusannya ke Selebar untuk mengumpulkan dan membeli lada. Utusan ini yang dikenal dengan sebutan jenang yang bertugas mengendali pertikaian yang timbul dengan jalan menengahinya, dan dimana perlu mengangkat kepala dusun yang disebut Proatin. Kita lihat bahwa dalam masa Jenang ini tidak disebut-sebut nama Anak Dalam Muara Bangkahulu. Juga waktu pedagang Belanda ‘’Vereenigde Oost Indische Compagnie’’ (VOC) sampai ke Selebar di tahun 1624, tidak disebut mengenai Anak Dalam. Dengan demikian, menurut pendapat saya, kedua fakta tersebut memperkuat data tentang lenyapnya Kerajaan Sungai Serut pada masa itu, dan sesuai pula dengan riwayat anak negeri Bengkulu. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, Selat Malaka sebagai jalur pelayaran dagang internasional dikuasai oleh mereka. Hal ini membuat pedagang Eropa lainnya memindahkan jalur pelayarannya melalui Samudera Hindia dan Selat Sunda ke Jawa dan China. Peristiwa ini membuat kerajaan Aceh di Utara dan Kerajaan Banten, keduanya kerajaan Islam di zaman kejayaannya. Peristiwa itu pula yang menyebabkan pesisir barat Sumatera kemudian dikenal oleg pedagang Belanda (VOC) dan pedagang Inggris (EIC).(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: