Jual Daging di Atas HET

Jual Daging di Atas HET

Pedagang Daging Langgar Permendag

BENGKULU, BE - Pedagang daging sapi lokal di Provinsi Bengkulu hingga kini masih kedapatan menjual diatas harga eceran tertinggi (HET). Bahkan mereka menjual daging sapi lokal di pasar tradisional mencapai Rp 120 ribu per kilogram (kg). Padahal dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 tahun 2018, HET daging sapi lokal hanya Rp 105 ribu per kg.

Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bengkulu, Alpha Rizal Fadian SE MSi mengatakan, persoalan tersebut telah terjadi di Bengkulu sejak lama, akan tetapi Pemerintah tidak bisa mencegah para pedagang menjual diatas HET. Hal ini diakibatkan banyaknya pedagang daging sapi lokal yang menjual diatas HET. \"Kalau kita larang mereka bisa marah, upaya kita hanya bisa mengimbau, tetapi rata-rata tidak mendengarkan imbauan,\" kata Alpha, kemarin (7/7).

Untuk menekan harga daging sapi lokal, upaya yang dilakukan oleh pihaknya yaitu bekerjasama dengan Bulog dengan mendatangkan daging beku impor yang harganya juga diatur dalam Kemendag dengan HET-nya sebesar Rp 80 ribu per Kg.

\"Penjualan daging sapi beku impor merupakan upaya penetrasi pemerintah untuk memberikan opsi kepada masyarakat bahwa sudah ada pilihan dengan harga terjangkau dan berkualitas. Selain itu, juga dijamin kehalalannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI),\" tutur Alpha.

Ia mengatakan, masih tingginya harga daging sapi lokal di pasaran di sebabkan karena ketersediaan daging sapi lokal Bengkulu yang sangat terbatas. Sementara permintaan konsumen terus meningkat.

\"Jika memang kita swasembada pangan tentu daging sapi lokal harganya tidak di atas HET. Bahkan banyak Jagal di Kota Bengkulu yang mengeluhkan persediaan sapi lokal yang sedikit,\" ungkap Alpha.

Sementara itu, Pakar Ekonomi Universitas Bengkulu, Prof Dr Kamaludin MM menilai, adanya penetapan harga acuan pembelian maupun penjualan tidak sepenuhnya dapat diterapkan, khususnya di pasar tradisional. Hal ini mengingat budaya di pasar tradisional dan modern sangat berbeda.

\"Sebagian besar ada di atas harga acuan, itu tantangan utama di pasar tradisional. Kalau di pasar modern, mungkin tidak ada masalah meski dulu sempat ada keluhan,\" ujar Kamaludin.

Menurutnya, sulitnya menetapkan dan mengontrol harga acuan ini di pasar tradisional karena terlalu banyak pelaku pasar, dan cara pendistribusian yang beragam. \"Meskipun pasar ada pengurusnya, tetapi bagaimana pemerintah mengawasi pasar yang sedemikian banyak. Hal itu terbukti sekarang ini,\" jelas Kamaludin.

Ia pun berpendapat akan sangat beresiko bila pemerintah menerapkan sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar permendag tersebut. Apalagi, menurutnya, pelaku yang ditindak tidak hanya segelintir namun semua pelau usaha yang terlibat dalam pendistribusian barang.

\"Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa pemerintah tidak juga menindak pelaku usaha yang melanggar aturan tentang penetapan harga acuan tersebut,\" tambahnya.

Ia berpendapat, seharusnya harga acuan tersebut semestinya menjadi acuan bagi pemerintah apabila harga di tingkat konsumen melambung tinggi, atau harga di tingkat produsen terlalu rendah, bukan untuk mengatur pelaku usaha. \"Berbeda kalau pemerintah memang punya instrumen untuk stabilisasi, di situ pemerintah bisa mengatur harga. Kedua ada cadangan atau stok yang setiap saat bisa dikeluarkan, ketika harga melonjak. Berikutnya kalau harga jatuh pemerintah bisa melakukan pengadaan minimal dengan harga di tingkat produsen,\" tutupnya.(999)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: