Tekad Baru: Hidup yang Polos-polos Saja
SAYA tidak menyangka persoalan seperti utang negara, impor garam, dan sulitnya swasembada gula sudah menjadi bisik-bisik tetangga di desa. Padahal desa ini berada di lereng Gunung Ciremai nun di Kabupaten Kuningan, Jabar. Saya beruntung Jumat malam lalu bisa bermalam di Desa Bunigeulis dan berdialog dengan ratusan penduduk setempat. Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan utang negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat: virus informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang utang negara: jumlahnya yang meningkat. Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan pertanyaan padanya, baik mana Anda punya utang Rp 8 juta tapi kekayaan Anda Rp 10 juta, dengan punya utang Rp 20 juta tapi kekayaan Anda Rp 100 juta. Benar bahwa utang itu meningkat. Tapi juga benar kekayaannya meningkat drastis. Inilah yang tidak pernah sampai ke masyarakat. Mungkin memang tidak sampai, mungkin juga sengaja disembunyikan. Peserta dialog yang saya minta berdiri itu rupanya seorang humoris. Dengan nada bergurau dia menjawab, lebih baik kekayaannya meningkat tapi tidak punya utang! Ini mah mirip khotbah Jumat yang pernah saya dengar: semua orang itu inginnya serba enak. Waktu kecil dimanja, waktu remaja foya-foya, waktu muda kaya raya, waktu tua sehat bahagia, waktu meninggal masuk surga! Dari dialog di desa malam itu saya melihat penularan hope kalah cepat dengan penularan pesimisme. Begitu cepat virus pesimisme, sinis, keluh-kesah, dan sebangsanya menjalar ke mana-mana. Ini tentu bahaya mengingat hope adalah salah satu faktor utama untuk kemajuan bangsa. Di sini hope menghadapi persoalan yang sangat berat. Menularkan pesimisme cukup hanya dengan kata-kata. Modalnya pun hanya gombal. Sedang membangun hope harus dengan kerja nyata plus hasil yang bisa dirasa. Setiap kesulitan harus diberikan jalan keluar. Setiap kebuntuan harus ada terobosan. Masyarakat yang ada dalam “kuldesak” yang terlalu lama hanya akan membuat virus anti kemajuan merajalela. Serbuan virus hopeless dari kota inilah yang kini harus dilawan di desa-desa dengan bukti nyata. Karena itu Bulog, Sang Hyang Sri, Pertani, Pupuk Indonesia, PT Garam, pabrik-pabrik gula, Perhutani, dan banyak BUMN lainnya, tahun ini harus bekerja all-out di lapangan. Bulog, dengan pasukan semutnya, ternyata bisa. Dalam lima bulan ini saja Bulog sudah berhasil menghimpun beras 2 juta ton! Prestasi yang sangat membanggakan. Kerja lima bulan ini sudah sama dengan hasil pengadaan beras selama dua tahun (2010/2011). Memang melelahkan, tapi itulah harga yang harus dibayar untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Memang harus muter terus -saya lihat sampai-sampai Dirut Bulog Sutarto Alimoeso kini ganti sepatu kets- tapi dengan hasil yang begitu nyata akan menambah kepercayaan diri kita. Memulai kerja keras memang sangat berat. Tapi kalau sudah terbiasa bekerja keras, semua pekerjaan akan menjadi mudah. Dalam dua minggu ini saya juga sudah keliling 14 pabrik gula di tiga propinsi. Sudah pula tampak perubahan: bukan saja pocong-pocong sudah bermetamorfosis menjadi ‘Ayu-ayu Azhari’, tapi gigitannya pun sudah berotot. Semua pabrik gula sudah mampu meningkatkan rendemen awal. Semua pabrik gula juga sudah berani memberi jaminan rendemen minimal kepada petani. Hebatnya lagi semua pabrik gula juga sudah berani memberikan uang jaminan kepada petani tebu. Selama ini petani tebu terjerat oleh pedagang gula. Ini bukan salah si pedagang, tapi karena pabrik gula sendiri yang tidak berdaya: baru bisa membayar sebulan setelah petani menyerahkan tebunya.
Sebaliknya pabrik-pabrik gula kini juga sudah berani menerapkan prinsip BSM kepada petani tebu: bersih, segar, manis. Tebu yang dikirim ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Bukan tercampur dengan pucuk-pucuknya, tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar, yang fresh from the field. Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah tebu yang sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan (diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar gulanya. Saya melihat semangat yang tinggi di semua manajer dan karyawan pabrik gula yang sudah saya kunjungi. Juga semangat untuk “polos-polos saja”. Semula dahi saya mengkerut ketika mendengar istilah “polos-polos saja” itu. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata itulah tekad baru untuk tidak mempermainkan angka. Angka rendemen, angka timbangan, angka pupuk, angka tanam, angka angkutan, dan angka-angka yang menggoda lainnya. Saya paham, membiasakan diri untuk “polos-polos saja” juga sangat berat awalnya. Tapi kalau sudah terbiasa, hidup ini akan dimudahkan jalannya. Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Indonesia (Pupuk Sriwijaya, Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, dan Pupuk Kujang), juga bisa menjadi motor besar untuk menggerakkan hope di seantero desa: mendekatkan benih unggul, pupuk, dan pembasmi hama ke desa-desa. Puluhan ribu kios harus di bangun. Di mana-mana. Jangan sampai petani kesulitan cari pupuk yang akhirnya mendapat pupuk palsu. Sulit cari benih unggul yang akhirnya menanam padi seadanya. Program mendekatkan benih-pupuk ke desa-desa memang akan memakan waktu tapi harus istiqamah jalannya.Garam pun sebenarnya juga penuh dengan hope. Terutama untuk garam yang dimakan manusia. (Sebagian besar garam diperlukan oleh pabrik kertas!). Sebetulnya, kalau hanya untuk manusia Indonesia keperluan garamnya tidak banyak: 1,4 juta ton per tahun. Kita lebih menyukai yang manis-manis daripada yang asin-asin. Saya berterima kasih bahwa Menteri Perindustrian, Bapak MS Hidayat, menemukan cara baru: membranisasi ladang garam. Begitu pentingnya program membranisasi ini sehingga saya usul ke Pak Hidayat penyertaan modal negara (PMN) untuk berbagai industri dikurangi saja. Lebih baik dikonsentrasikan untuk menolong jutaan petani garam di seluruh Indonesia. Triliunan rupiah PMN untuk Merpati, misalnya, hasilnya begitu-begitu saja. Merpati harus dicarikan jalan sendiri. Jalan korporasi. Bukan jalan subsidi. Kalau dari sekitar 20.000 hektar ladang garam di seluruh Indonesia bisa diberikan membran 10 persennya saja, hasilnya bisa mencapai 1,7 juta ton/tahun. Sudah melebihi keperluan garam untuk manusia Indonesia. Tapi membeli membran untuk 2.000 ha ladang garam memang memerlukan biaya besar. Tiap hektar memakan dana Rp 20 juta. Tapi angka itu tidak ada artinya dibanding dengan PMN untuk bidang lain. Padahal angka itu begitu besar artinya bagi petani garam. Belum lagi bagi harga diri bangsa yang selalu dihina dengan kalimat: garam pun harus impor!
Sambil menunggu PMN saya akan minta bank-bank BUMN untuk menghitung. Mungkinkah skema kredit dilakukan untuk membranisasi itu. Menurut hitungan Dirut PT Garam, payback membran ini hanya dua tahun. Berarti petani garam bisa mengembalikan kredit itu dalam dua tahun. Apalagi kalau diizinkan menggunakan dana KPBL BUMN untuk membayarkan bunganya. Agar petani garam tidak dibebani bunga. Membran adalah sejenis plastik yang dihamparkan di tambak garam. Dengan dihampari membran, keuntungannya dobel: proses pembuatan garamnya lebih cepat (air lautnya lebih panas sehingga lebih cepat menguap), dan semua garamnya menjadi garam kelas satu. Tanpa membran, lapisan garam yang paling bawah pasti tercampur tanah dan lumpur. Ini membuat sekian persen garam menjadi garam kelas tiga. Sulit dijual. Murah pula harganya. Di Madura saja kini ada 350.000 ton garam jenis ini. Menumpuk. Tidak ada yang beli. Isunya pun negatif: BUMN tidak mau beli garam rakyat. Membran adalah hope baru bagi petani garam. Ini juga belum banyak diketahui. Selesai shalat Jumat di sebuah masjid di pinggir jalan di Cirebon minggu lalu, ketika mulai mengenakan sepatu DI-19, saya didatangi camat dan kuwu setempat. Sambil melirik DI-19, Pak Camat mengemukakan bahwa di depan masjid itu ada asset BUMN yang sudah puluhan tahun menganggur. Itulah bangunan milik PT Garam yang sudah lama ditinggalkan. Padahal ada sekitar 1000 petani garam di kawasan dekat masjid itu sampai ke Indramayu. PT Garam sebagai BUMN tidak pernah melakukan pembelian garam rakyat. Kepada Pak Camat saya berjanji untuk menelusurinya. Saya juga bertanya: apakah sudah ada petani garam yang menggunakan membran. Ternyata belum. Bahkan kata membran pun baru sekali itu dia dengar. Sambil mengemudikan mobil ke pabrik gula Jatitujuh, saya hubungi Dirut PT Garam. Benar. Tidak ada pembelian itu. Bahkan sudah sejak 1992. Tapi PT Garam yang baru mulai tahun ini bisa bernafas, sudah bisa memberikan hope. Tahun ini PT Garam bisa membeli garam rakyat di Cirebon-Indramayu sebanyak 15.000 ton. Indikasi harganya pun sudah bisa disebut: antara Rp700 sampai Rp720 per kilogram, tergantung kualitasnyana. Ini sudah lebih baik dari harga tahun lalu yang Rp620 per kilogram. Untuk garam, kawasan Cirebon-Indramayu memang tidak sebagus Madura. Di Indramayu petani hanya bisa membuat garam sekitar empat bulan dalam setahun. Bulan ini saat Madura sudah bisa menghasilkan garam, Indramayu masih hujan. Tentu di atas langit masih ada langit. Sebagus-bagus Madura, masih lebih bagus lagi Kupang, NTT. Di sana garam bisa dibuat selama sembilan bulan dalam setahun! Hanya saja belum ada ladang garamnya. PT Garam baru akan ke sana setelah nafasnya genap. Mungkin tahun depan. Hope memang tidak membuat perut terasa kenyang. Tapi hope-lah yang bisa membuat hidup terasa lebih hidup! (**)
Dahlan Iskan Menteri BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: