Buku Ragam Identitas Perempuan Bukan Bayang-bayang Dilaunching
BENGKULU, Bengkulu Ekspress- Pemerintah dinilai membiarkan perusahaan pertambangan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) yang ada di daerah. Padahal SDA tersebut seharusnya bisa memberikan ruang hidup bagi masyarakat terutama bagi perempuan untuk bercocok tanam dan memperoleh air bersih.
Hal ini mengusik nurani Dosen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, Titiek Kartika. Titik pun menuliskan keprihatinannya tentang lingkungan itu melalui buku berjudul \'Ragam Identitas Bukan Bayang-Bayang\', yang dilaunching kemarin (28/12).
Titiek menuturkan, buku ini memberikan pelajaran kepada seluruh pihak bahwa perusahaan pertambangan tidak pernah memihak kepada lingkungan sosial perempuan. Hingga akhirnya memicu konflik antara perempuan dengan perusahaan pertambangan.
\"Konflik yang pernah terjadi dan tidak terekspos bahwa perempuan membela kelangsungan hidupnya dari tambang yaitu di Penago Kabupaten Seluma, disana perempuan memiliki sumbangsih untuk mengusir perusahaan tambang dan menjaga kelestarian alam,\" kata Titiek, kemarin (28/12).
Selain memiliki peran yang besar dalam menjaga kelestarian alam, para perempuan juga berkontribusi dalam kebutuhan logistik dan memastikan kecukupan pangan keluarganya. Akan tetapi semua itu dirusak oleh perusahaan tambang, yang ada hanya sisa galian dan lubang yang tidak mungkin bisa ditanami oleh tumbuhan lagi.
\"Ini menunjukkan bahwa tambang tidak pernah pro dengan rakyat khususnya perempuan, makanya di Sumba Barat NTT banyak perempuan menolak pertambangan emas disana karena merusak sungai dan mencemari air,\" ujar Titiek.
Melihat banyaknya konflik yang terjadi antara perempuan dengan tambang menyadarkan banyak pihak pertambangan hanya menyengsarakan rakyat dan mengkayakan gol ongan tertentu. Buku yang ditulis Titiek Kartika ini diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Di dalam buku ini Titiek Kartika memuat kisah-kisah perempuan di Penago, Kabupaten Seluma, yang memperjuangkan nasib mereka melawan pertambangan pasir besi yang sudah menyusahkan perekonomian masyarakat setempat.
Buku ini ditulis berdasarkan fakta untuk membuka tabir pengetahuan dari pengalaman hidup kaum perempuan komunitas pesisir melawan korporasi global tambang. \"Saya menulis buku ini supaya tidak ada sejarah yang disembunyikan,\" kata Titiek.
Buku ini juga menunjukkan bahwa ragam identitas perempuan adalah keniscayaan, dan tersusun atas pengalaman hidup perempuan sehari-hari. Pengalaman berada pada pusaran konflik tambang, situasi perempuan mengalami pergeseran, antara eksistensi kehadiran mereka dalam konflik versus pengakuan dan negasi yang dialaminya.
Bahkan posisi perempuan dalam konflik, pengakuan, dan penegasian mengantarkan penulis pada suatu kerangka inti dari nexus antara perempuan dan negara. Proses perubahan sosial sekitar konflik tambang telah merajut keragaman identitas perempuan yang konkret.
\"Kita harus melihat bahwa perusahaan tambang hanya memicu konflik dan yang paling besar menerima konflik tersebut adalah perempuan,\" tuturnya.
Selain berisi pembahasan tentang keragaman identitas perempuan dalam konflik, buku ini juga merupakan catatan pengakuan atas keberadaan gerakan perempuan dari sudut-sudut desa terpencil. Gerakan itu ternyata memuat unsure diskursus feminis poskolonial.
Dimana perempuan di Dunia Ketiga atau Global South seringkali hanya digambarkan secara sepihak sebagai kelompok yang tidak berdaya, namun buku ini memberikan perspektif yang berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan secara aktif memberdayakan diri dan kelompoknya, dan menjawab tantangan yang ada.
\"Saya sangat gembira dengan terbitnya buku ini, mudah-mudahan peneliti dan penulis lain tergugah untuk menulis dan melakukan penelitian, untuk mengungkap suara-suara dan perspektif kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Hal ini bisa memberikan kontribusi yang unik dan penting bagi perkembangan teori dan metodologi sosial di Indonesia,\" tutupnya.(999)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: