HONDA BANNER
BPBD

Pertama di Sumatera, Bengkulu Media Summit: Bukan Sekadar Besar Tapi Harus Relevan

Pertama di Sumatera, Bengkulu Media Summit: Bukan Sekadar Besar Tapi Harus Relevan

Bengkulu Media Summit -foto: istimewa -

Media lokal itu punya kekuatan: kedekatan dan kredibilitas di mata komunitasnya. Kekuatan ini yang harus dikapitalisasi menjadi ekosistem bisnis,” jelasnya.

Menurutnya, tak ada satu model bisnis yang bisa dijadikan rumus tunggal bagi semua media.

“Ada seratus media, mungkin ada seratus model bisnis berbeda. Karena konteks setiap daerah berbeda. Tapi prinsipnya sama: inovasi tiada henti, adaptasi, dan kolaborasi,” tambahnya.

Suwarjono mencontohkan berbagai peluang baru yang kini mulai digarap media kecil, seperti produksi konten digital untuk klien lokal, pelatihan berbayar, survei dan riset lokal, crowdfunding, hingga penyelenggaraan event komunitas.

Semua itu, katanya, menunjukkan arah baru bahwa masa depan media lokal tidak lagi ditentukan oleh banyaknya klik, melainkan oleh kemampuan mereka membangun jejaring ekonomi kreatif di wilayahnya.

Eva Danayanti: “Menjadi Lokal Berarti Dekat, Dipercaya, dan Berdampak”

Dari sisi lain, Eva Danayanti menekankan bahwa kekuatan utama media lokal tidak terletak pada skala, melainkan kedekatan dan kepercayaan.

“Menjadi lokal bukan berarti kecil. Menjadi lokal berarti dekat, dipercaya, dan berdampak,” ujarnya dalam sesi bertajuk “Masa Depan Media Lokal: Relevansi, Bukan Skala.”

Eva menjelaskan, relevansi lahir dari kemampuan media untuk mendengarkan publik dan membangun hubungan emosional dengan komunitasnya. Cerita-cerita lokal, menurutnya, memiliki kekuatan membangkitkan rasa memiliki dan solidaritas sosial.

“Cerita nasional bisa viral, tapi yang lokal itu membekas,” tegasnya.

Ia mencontohkan bagaimana jurnalisme hiperlokal mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan media besar. Dengan fokus pada kebutuhan warga bukan sekadar lokasi liputan media bisa menjadi penghubung sosial yang memberi ruang bagi warga untuk berbicara dan berkontribusi.

“Warga bukan sekadar audiens, tapi kontributor dan inspirator,” kata Eva.

Eva juga memperkenalkan pendekatan jurnalisme konstruktif, yaitu jurnalisme yang tidak berhenti pada pelaporan masalah, tetapi menggali solusi dan menampilkan upaya nyata yang dilakukan warga atau lembaga di daerah.

“Jurnalisme konstruktif bukan berarti manis-manis, tapi jujur dan membangun. Fokusnya bukan pada siapa yang salah, tapi pada apa yang bisa dilakukan,” ujarnya.

Di akhir sesi, Eva menegaskan kembali pandangannya bahwa ukuran keberhasilan media di masa depan bukan pada skala atau jumlah pengikut, tetapi pada tingkat relevansinya terhadap kehidupan publik.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: