Karena itu, saham-saham komoditas pertambangan menjadi andalan untuk mendongkrak IHSG.
Analis Riset Reliance Securities Lanjar Nafi mengatakan, saham komoditas berbasis pertanian dan pertambangan berpotensi menjadi primadona pada akhir tahun karena faktor cuaca.
’’Sektor pertanian dan pertambangan masih menjadi primadona mengikuti harga komoditas yang cenderung uptrend ditambah cuaca dingin di sebagian belahan dunia,’’ jelasnya kemarin (27/11).
Secara umum, investor masih mencermati data-data ekonomi, terutama indeks kinerja sektor manufaktur dan jasa di Amerika Serikat dan Tiongkok.
Hal tersebut dilakukan untuk menghitung derajat kesehatan ekonomi AS menjelang kenaikan bunga kredit pada Desember.
Antisipasi menjelang kenaikan suku bunga di AS diprediksi membuat nilai tukar tergerus dan capital outflow terus mengalir.
IHSG pada sepekan ke depan diproyeksi kembali tertekan jika aktivitas di sektor manufaktur terus menurun.
Sedangkan inflasi pada akhir November meningkat dari 3,1 pada Oktober menjadi 3,31 persen.
Pada awal pekan, IHSG secara teknis menunjukkan sinyal pelemahan lebih lanjut ke level 5.060–5.230.
Pada akhir pekan kemarin, IHSG ditutup naik 14,481 poin (0,284 persen) ke level 5.122,104 bersamaan dengan naiknya mayoritas bursa Asia.
Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya memiliki pendapat berbeda.
Dia memperkirakan IHSG pada awal pekan menguat dengan pergerakan di rentang level 5.088–5.291.
Pola pergerakan IHSG dipengaruhi fluktuasi nilai tukar dan harga komoditas.
Namun, dia melihat pergerakan IHSG masih menunjukkan upaya untuk menembus level resistance 5.291.
’’Dalam rentang investasi jangka panjang, IHSG masih berada dalam kondisi uptrend,’’ ujarnya. (gen/c5/noe/jos/jpnn)