“Masalah utamanya tanah, harganya semakin lama semakin mahal dan tidak terkendali. Tanah bisa naik 100 hingga 200 persen dalam waktu setahun,” ujar Managing Director PT Sripertiwi Sejati Asmat Amin di Jakarta, Rabu (7/9).
Masalah pembebasan tanah juga masih jadi kendala. Apalagi, masyarakat pemilik lahan saat ini sudah sadar bahwa harga tanah semakin lama semakin mahal.
“Karena itu masyarakat cenderung menahan penjualan tanahnya. Imbasnya, tanah-tanah yang terjangkau untuk dikembangkan rumah subsidi atau rumah murah bagi pekerja MBR semakin sulit dicari,” katanya.
Bank tanah, menurutnya, bisa menjadi solusi. Tanah-tanah milik pemerintah ini langsung bisa diberikan untuk zona perumahan dan bisa dibeli oleh pengembang baik BUMN atau swasta.
Bukan itu saja, ketersediaan infrastruktur masih minim seperti jalan, transportasi, air, dan listrik.
“Untuk listrik ini pemasangannya sering lama padahal rumah sudah siap huni dan baru bisa teraliri listrik dalam waktu 6-8 bulan setelah pendaftaran,” ungkap Asmat.
Sementara itu, Sekjen DPP Real Estat Indonesia (REI) Hari Raharta Sudrajat menilai, masih ada masalah dalam dukungan pemerintah daerah (pemda) dari sisi regulasi.
Dukungan itu masih sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan pembangunan rumah murah bagi masyarakat.
Dukungan terpenting untuk mencapai tujuan tersebut masih berkutat pada persoalan perizinan, terutama terkait dengan perizinan pembangunan perumahan.
“Saat ini, masih sedikit pemda yang mendukung kemudahan perizinan dalam membangun rumah murah,” ucapnya. (dew/jos/jpnn)