Oknum Polisi Mutilasi Dua Anak Kandung

Sabtu 27-02-2016,09:00 WIB

Kasus mutilasi yang dilakukan Brigadir Petrus Bakus pada dua anaknya diduga karena anggota Polres Melawi itu karena sakit jiwa, tepatnya skizofrenia. Prilaku keji karena sakit jiwa itu, sayangnya belum membuat Polri tergugah untuk melakukan tes sekehatan jiwa secara berkala. Padahal, beban kerja seorang anggota polisi begitu besar dan memicu stres.

Kejadian mutilasi itu bermula pukul 00.15 di rumah Brigadir Petrus yang berada di Komplek Asrama Polres Melawi. Saat itu Windri, istri Petrus yang tidur di kamarnya terbangun dan melihat suaminya memegang parang. Pada sang istri, Petrus sempat menggumam,” mereka baik, mereka pasrah. Maafkan papa ya dik,”.

Ternyata, dua anaknya Fabian, 4, dan Amora, 3, sudah tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Keduanya dimutilasi pada hampir semua bagian tubuhnya. Bahkan, kedua kaki dari Fabian sudah terpotong.

Istri pelaku langsung kaget dan berteriak, lalu kabur dari rumah dan meminta pertolongan pada Anggota Sat Intelkam Brigadir Sukadi yang rumahnya berdekatan. Sukadi yang telah terbangun lantas mengamankan Windri. Ternyata, tidak lama kemudian Petrus keluar dari rumahnya dan duduk di teras.

Merespon kejadian tersebut, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan, hingga saat ini anggota Polisi itu terus diperiksa. Dugaan penyebabnya karena sakit skizofrenia. ”Namun, ada laporan juga kalau kesurupan saat itu,” tuturnya.

Apa yang akan dilakukan untuk mencegah kejadian yang sama pada anggota kepolisian? dia menuturkan bahwa sebenarnya tes kejiwaan telah dilakukan untuk memfilter setiap orang yang ingin bergabung dengan kepolisian. ”Namun, ternyata untuk pelaku ini memang sudah sejak beberapa tahun lalu terindikasi sakit jiwa,” ujarnya.

Namun, sayang indikasi itu tidak diketahui oleh atasannya atau pejabat kepolisian. Sehingga, kejadian tersebut memang tidak bisa dicegah. ”Sejak empat tahun lalu, kalau sesuai laporan,” jelasnya.

Apakah ada rencana untuk melakukan tes berkala? Dia mengaku belum ada keputusan tersebut. Yang penting, saat rekrutmen itu sudah ada serangkaian tes, salah satunya soal tes psikologi dan kejiwaan. ”Kan sudah pernah, buat apa lagi,” ujarnya.

Terkait pengawasan melekat yang seharusnya dijalankan atasannya, Badrodin juga mengelak. Menurutnya, pengawasan terus dilakukan, namun sakit semacam itu belum tentu terlihat gejalanya. ”Gejalanya muncul hanya saat ada masalah. Tapi saat kerja belum tentu kelihatan sakitnya,” paparnya.

Sementara Inspektorat Pengawas Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Priyanto menjelaskan, tindakan yang dilakukan anak buahnya merupakan pidana. Tentunya, hal semua orang harus diproses secada adil di mata hukum. ”Kita akan hukum sesuai perbuatannya. Tapi tentunya dicek secara mendalam soal kesehatan jiwanya,” jelasnya.

Psikolog Adityana Kasandra Putranto berharap polisi jangan gegabah menyimpulkan bahwa polisi yang memutilasi kedua anaknya itu mengidap schizophrenia. ’’Pengalaman saya, dari sepuluh kasus mutilasi, hanya satu kasus yang pelakunya schizophrenia,’’ kata Managing Director Psychological Practice Kasandra & Associates itu.

Kasandra mencontohkan kasus pembunuhan sadis dengan mutalasi Mayasari. Pelaku yang bernama Sri Rumiyati alias Yati membunuh kemudian memutilasi suaminya yang bernama Hendra. Setelah dimutiltasi, mayat Hendra dimasukkan ke dalam tiga buah kardus. Salah satu kardus ditinggal di dalam bus Mayasari Bakti.

Pada kasus ini, Yati tidak mengidap schizophrenia. Motifnya ternyata karena perempuan yang hiperseks itu merasa sakit hati kepada suaminya. Yati merasa Hendra lebih mesra dan perhatian kepada tiga istri lainnya.

Dia mengatakan diperlukan pemeriksaan psikologis lengkap terhadap tersangka Brigadir Petrus. Pemeriksaan lengkap itu diperlukan untuk membuktikan kapasitas mental yang bersangkutan. Kasandra berharap sebaiknya polisi tidak buru-buru mengambil kesimpulan bahwa Brigadir Petrus adalah orang dengan schizophrenia.

Kalaupun akhirnya terbukti benar bahwa Brigadir Petrus mengidap schizophrenia, masyarakat harus panik. Sebab kepolisian ternyata memiliki masalah dalam proses kualitas rekrutmen dan monitoring mental personelnya. Baginya schizophrenia itu bisa dideteksi. Pada tingkat tertentu, orang dengan schizophrenia malah lebih produkti ketimbang orang normal.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh mengutuk tindakan kriminal itu. ’’Tindakan itu biadab,’’ katanya. Karena termasuk pembunuhan dengan korban anak-anak yang tidak berdaya, Asrorun berharap pelakunya dijatuhi hukuman mati.

Dia berharap kepolisian melakukan perbaikan monitoring internal. Sehingga bisa melakukan deteksi dini terkait potensi serupa. Asrorun juga mengatakan proses penjaringan anggota polisi dilakukan lebih selektif, khususnya terkait mental. (idr/wan)

Tags :
Kategori :

Terkait