Berusaha Kembalikan Keunggulan DNA Sapi Loka

Sabtu 22-08-2015,12:20 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Tatang Santanu Adikara; Terapkan Akupunktur pada Hewan Ternak

Prof Dr drh R. Tatang Santanu Adikara MS MS trAkp, dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair, mengembangkan akupunktur pada hewan. Khususnya hewan ternak. Menguntungkan, ternak menjadi gemuk dan berproduksi lebih banyak. *** Tatang mengenal akupunktur sejak SMP. Awal mulanya, dia menemukan sebuah buku berbahasa Arab dan Jawa. Dari buku tersebut, dia belajar akupunktur. Orang-orang terdekatnya menjadi pasien. Selama SMA, dia \'\'berpisah\'\' dari akupunktur. Saat kuliah semester pertama, Tatang kembali didekatkan dengan akupunktur lewat salah seorang seniornya. \'\'Kesibukan kuliah membuat saya tidak menekuni akupunktur,\'\' tutur pria 62 tahun tersebut.

Meski demikian, dia rupanya tak bisa jauh-jauh dari ilmu tusuk jarum itu. Ketertarikan kepada dunia akupunktur sejak belia tak lekang walau sudah menjadi dosen di FKH. Ketertarikannya tersebut justru dikembangkan. Tak tanggung-tanggung, berat badan sapi yang mendapatkan treatment darinya naik 1 kilogram per minggu.

\'\'Karena dokter hewan, saya mencoba mengembangkan akupunktur pada hewan,\'\' kata Tatang saat ditemui Jawa Pos di kantornya Kamis (20/8).

Tatang mulai serius belajar akupunktur sejak 1992. Pada tahun yang sama, dia mendapat ijazah dari Kemendikbud lewat sumber belajar penguji praktik (SBPP). Waktu itu Tatang menekuni akupunktur untuk manusia. Dengan ijazah tersebut, dia berhak mengajar, menguji, dan membimbing praktik akupunktur.

Atas keyakinan bahwa setiap mahluk hidup bisa diterapi dengan akupunktur, dia menjajal kepada hewan ternak. Masa belajar Tatang dalam ilmu akupunktur untuk hewan ternak terbilang panjang. Dia belajar dari drh Martono. Bukan hanya itu, Tatang juga rajin membaca buku. \'\'Saya juga melakukan penelitian menggunakan radioaktif teknisium yang diinjeksikan pada titik akupunktur. Dari situ bisa diketahui bahwa di titik ini nanti ke organ mana,\'\' jelas penulis buku Filosofi Akupunktur tersebut.

Ketika wawancara, dia menunjukkan beberapa titik akupunktur hewan pada sebuah manekin sapi. \'\'Titiknya sama saja dengan manusia. Kalau pada hewan, ibaratnya itu manusia posisi merangkak,\'\' kata dokter yang pernah menjadi Sekjen DPP ACASI (Asosiasi Chiropractor dan Akupreser Seluruh Indonesia) tersebut.

Empat tahun setelah mendalami akupunktur, tepatnya pada 1966, Tatang mulai terjun ke lapangan. Madura dipilih sebagai arena untuk mempraktikkan ilmunya. Sasarannya sapi. \'\'Sapi madura ini sebenarnya unggulan. Dagingnya banyak dan mudah hamil. Saya ingin mengembangkan,\'\' ujarnya. Hasilnya menggembirakan.

Sayang, waktu itu akupunktur belum sepopuler sekarang. Tatang dicibir dan dihalangi untuk melakukan penelitian. Bahkan, mengajukan dana penelitian pun sering terhalang. Tak putus asa, dia tetap menjalankan praktik akupunktur kepada hewan. \'\'Waktu itu akupunktur dianggap ilmu dukun,\'\' kelakarnya.

Ketika di lapangan, Tatang juga sempat menemui hambatan. Karena orang awam tidak biasa mengenal akupunktur kepada hewan, Tatang ditolak. Tak patah arang, kakek tiga cucu itu dapat membuktikan. Dia menunjukkan bahwa perkembangan ternak menggembirakan pasca-akupunktur.

Selain itu, akupunktur pada hewan menggunakan alat yang waktu itu tidak murah. Dia memakai laser he-neon. Optiknya seharga Rp 2 juta. \'\'Sudah mahal, mudah error pula. Beruntung sekarang ada laser semikonduktor yang murah dan maintenance-nya gampang,\'\' kata dosen yang pernah menjadi Kapuslit Bioenergi Lemlit Unair tersebut. Untuk akupunktur hewan, Tatang memang tidak menggunakan jarum. Sebab, dengan memakai jarum, waktunya harus 10 detik. Sementara itu, akupunktur dengan laser atau biasa disebut laserpunktur hanya membutuhkan waktu dua detik sekali \'\'tembak\'\'.

Keteguhan Tatang untuk mengembangkan akupunktur kepada hewan didasari keyakinan bahwa hewan ternak lokal, terutama sapi, mampu bersaing dengan ternak impor. Dia prihatin atas impor sapi yang sejak dulu dilakukan. Apalagi, ada kawin silang antara sapi lokal dan sapi impor.

Padahal, Tatang mengemukakan, ada dampak buruk dari kawin silang tersebut. \'\'Biasanya dua kali keturunan, sapi sudah mandul. Karena memang tujuannya tidak untuk diternakkan di sini. Hanya beranak setelah besar, lalu dipotong,\'\' ungkap pria kelahiran Bangkalan itu. Bibit sapi impor memang tidak dibuat untuk diternakkan, tetapi langsung dipotong.

Tatang mencontohkan sapi madrasin, turunan sapi madura dan sapi limusin. Betina jenis itu tidak bisa beranak lagi setelah dua turunan. Peternak lokal biasanya tergiur dengan bentuk sapi yang besar. \'\'Anakan sapi madrasin ini tidak bisa menjadi indukan,\'\' beber guru besar FKH Unair tersebut. Ketika melakukan akupunktur, Tatang memilih sapi lokal. Alasannya adalah mengembalikan keunggulan DNA dari sapi-sapi itu. Pejantan lokal akan dikawinkan dengan betina lokal. Untuk mempermudah perkawinan, dilakukan akupunktur.

Ada dua terapi akupunktur yang biasanya dilakukan. Yakni untuk penggemukan dan reproduksi. Dengan akupunktur seminggu sekali, berat badan sapi akan naik. Sebab, nafsu makan dan daya serap ususnya ditingkatkan. Tentu, hal itu harus didukung pakan dan manajemen yang baik. \'\'Kalau terus diakupunktur, tapi ngasih makannya asal, ya tidak terlalu terlihat hasilnya,\'\' ungkap ayah empat anak tersebut.

Sementara itu, dalam terapi untuk reproduksi, akupunktur dilakukan untuk memacu hormon dalam tubuh ternak. Biasanya, akupunktur itu digunakan agar seluruh sapi bisa berahi bersamaan. \'\'Misal punya 50 sapi, kan berahinya tidak sama. Jadi, agar proses mengawinkan bisa serentak, makanya diakupunktur,\'\' tuturnya. Tak jarang dia juga menambahkan suntik hormon. Sebenarnya, menurut dia, akupunktur saja cukup. Sebab, kelebihan hormon bisa merusak tubuh ternak.

Tatang sadar bahwa dirinya bekerja dengan hewan. Berbeda dengan manusia, agresivitas hewan muncul seketika. Dia pernah diseruduk sapi. Waktu itu dia menangani sapi bali. \'\'Sapi bali memang ada keturunan dari banteng. Jadi, ya harus hati-hati,\'\' ucapnya. Berkaca dari pengalaman tersebut, setiap melakukan akupunktur kepada hewan, dia harus didampingi si empu ternak. Tatang juga mengakupunktur kambing. Hasilnya mengejutkan. Seekor induk kambing bisa melahirkan tiga anak. Padahal, kambing biasanya beranak tak lebih dari dua ekor. \'\'Setelah beberapa hari diakupunktur, kemudian kambingnya dibedah. Di ovariumnya terlihat sel telurnya banyak,\'\' jelasnya. Terapi akupunktur pun dicoba terhadap ayam dan bebek. Hasilnya, ayam dan bebek lebih gemuk. Meski demikian, percobaan itu belum terlalu dikembangkan. Rencananya, September Tatang dan tim mengembangkan bebek lokal dengan akupunktur. \'\'Kami beri herbal agar dagingnya banyak, tapi rendah kolesterol,\'\' kata alumnus Ilmu Biologi IPB tersebut.

Tatang lebih senang ilmunya dapat membantu masyarakat. Suami Dewi Suryaningsih itu sering mengajak masyarakat bawah untuk mengembangkan ilmunya. Dia turun langsung ke peternak-peternak di daerah seperti Bangkalan untuk mengajarkan beternak yang baik. \'\'Rencana untuk mengembangkan daging itik akan dilakukan di daerah-daerah,\'\' ujar pria dengan hobi bernyanyi itu.

Dulu, ketika masih aktif menjadi dokter hewan, menjelang hari raya Kurban dia sering dipanggil untuk melakukan akupunktur. Namun, beberapa tahun ini, hanya beberapa permintaan yang diterima. Pengalamannya, sapi madura yang tidak bertubuh besar pernah tidak laku. Namun, Tatang berhasil meyakinkan. \'\'Walaupun tubuhnya kecil, tapi semok. Dagingnya banyak,\'\' tuturnya, lantas tersenyum.

Menjelang pensiun, Tatang belum menemukan penggantinya. Beberapa kali dia ditemui seseorang untuk belajar akupunktur hewan. Sayang, tak ada yang tahan lama. \'\'Kalau ada tiga anak muda yang mau belajar dan bekerja, saya yakin dapat menggerakkan kembali peternakan Indonesia,\'\' tegasnya. (*/c19/nda)

Tags :
Kategori :

Terkait