Mereka terus tampil bersama di berbagai negara sebagai simbol perdamaian antara umat Islam dan Yahudi. Setiap mengingat lagi perkenalan pertama yang tidak mengenakkan itu, keduanya merasa geli. Saat itu New York memang lagi gawat. Tragedi 9/11 baru saja terjadi. Umat Islam New York terpojok oleh kasus terorisme itu.
Untuk meredakan ketegangan, wali kota New York mengumpulkan tokoh dari semua agama. Saat itulah tokoh Islam tersebut berusaha menyalami semua tokoh di situ. Tapi, tiba giliran menyalami tokoh Yahudi, yang dia terima sikap tidak bersahabat. Mau bersalaman, tapi tidak mau menatap wajah. Suatu saat, ketika keduanya sudah menjadi sahabat karib, soal itu mereka bicarakan. Inilah dialog itu.
”Kenapa waktu saya ajak bersalaman dulu Anda melengos?” tanya sang tokoh Islam sambil tersenyum.
”Maafkan. Waktu itu saya tidak menyangka Anda itu pemimpin yang mewakili Islam,” jawab sang tokoh Yahudi. ”Anda kanbukan Arab. Tidak berjenggot,” katanya. ”Saya pikir Islam itu mesti Arab,” tambahnya.
Memang tokoh Islam tersebut jauh dari gambaran Arab. Tubuhnya kecil (berat badannya 50 kg dengan tinggi 165 cm). Juga tidak bergamis dan tidak berjenggot. Selain itu, bibirnya terus menyunggingkan senyum. Dia memang bukan Arab sama sekali.
Jangan kaget: Dia orang Indonesia asli. Namanya Shamsi Ali. Asalnya Sulawesi Selatan. Tepatnya dari pelosok Desa Tana Toa, lima jam perjalanan mobil dari Makassar. Dua kali saya bertemu Ustad Shamsi Ali. Pertama di Washington, saat saya ikut mendampingi Bapak Presiden SBY yang menginginkan bertemu sang ustad. Kedua, di Jakarta minggu lalu. Saya berdiskusi panjang saat beliau berkunjung ke tanah air bersama Rabi Marc Schneier, sang tokoh Yahudi. Dua kali pula saya membaca bukunya yang sangat menarik, yang dialognya saya kutip di atas. Buku berjudul Anak-Anak Ibrahim (Sons of Abraham) itu ditulis bersama oleh Ustad Shamsi dan Rabi Schneier. Yang memberikan kata pengantar Bill Clinton.
Bagaimana putra Tana Toa itu bisa jadi imam besar di New York juga diceritakan di Anak-Anak Ibrahim dengan menarik. Dia lahir di desa yang amat terbelakang. Saat dia lahir, penduduk desa itu, termasuk bapak-ibunya, memang beragama Islam, tapi lebih percaya takhayul. Sekarang pun masih ada penduduk Tana Toa yang naik hajinya bukan ke Makkah, melainkan ke sebuah bukit di desa itu. Bahkan, mereka percaya bahwa Nabi Muhammad lahir di Tana Toa. Belum lama ini, kata Ustad Shamsi, tokoh desa itu ditawari naik haji secara gratis. Dia menolak. Naik haji itu, katanya, cukup ke Tana Toa. Ini mirip dengan yang terjadi di Kabupaten Gowa, juga di Sulsel. Tiap tahun ratusan orang naik haji ke Gunung Bawakaraeng.
Shamsi terbebas dari budaya itu karena begitu tamat SD langsung bersekolah di SMP/SMA Islam di Makassar. Lalu dapat beasiswa untuk kuliah di Islamabad, Pakistan. Sambil meneruskan S-2, Shamsi mengajar di Islamabad. Ketika sebuah sekolah di Jeddah, Arab Saudi, mencari guru yang bisa berbahasa Arab dan Inggris, Shamsi melamar. Gajinya besar dan dolar.
Tentu dia senang bisa bekerja di Arab Saudi. Bisa sekalian naik haji. Tapi, dia juga merasa tertekan. Pemikiran keagamaan di Arab Saudi sangat eksklusif dan tekstual. Banyak contoh dia kemukakan di buku itu. Dia berontak. ”Islam itu terbuka dan inklusif. Tapi, ini kaku dan eksklusif,” tulisnya. Praktik seperti itu, katanya, cenderung membuat orang agresif. ”Saya tidak menyebutnya radikal atau ekstrem,” katanya, menghaluskan istilah.
Lalu, terjadilah serangan teroris di New York yang dikenal sebagai 9/11 itu. Umat Islam terpojok. ”Saya sedih, bingung, malu,” ujar Ustad Shamsi. Istrinya yang berjilbab tidak mau keluar rumah. Masjidnya di Queen dia tutup tiga hari. Tapi, tetangga Shamsi yang Katolik justru membesarkan hatinya. Sang tetangga mendatangi rumahnya. Merangkulnya. Memberikan dukungan moral. ”Saya tidak percaya Islam mengajarkan itu,” katanya kepada Shamsi.
Teror tersebut memang amat jauh dari penampilan Shamsi yang dia kenal sehari-hari: amah, selalu tersenyum, dan suka menolong tetangga.
Shamsi akhirnya terpanggil untuk berani tampil menjelaskan apa itu Islam. Dia pun mengutuk teror tersebut. Berbagai forum dia manfaatkan untuk menjelaskan Islam. Gereja, sinagoge, dan pemerintah mengundangnya. Termasuk forum yang dihadiri Presiden Bush. ”Anda bayangkan betapa kikuknya saya. Dalam suasana duka seperti itu, saya harus bersalaman dengan Presiden Bush,” katanya. Akhirnya, dia beranikan bicara kepada presiden yang lagi geram itu. ”Mohon Bapak Presiden menjelaskan bahwa Islam tidak seperti itu,” katanya kepada Presiden Bush. Hari itu, di Ground Zero. Presiden tidak mengatakan itu. Tapi, keesokan harinya, di Washington, Presiden Bush mengatakan apa yang diinginkan Shamsi.
Shamsi lantas juga mengundang berbagai kalangan ke masjidnya. Termasuk Wali Kota New York Bloomberg. Saat tiba waktunya salat berjamaah, Shamsi mempersilakan wali kota duduk di kursi yang sudah disediakan di pinggir masjid. ”Ternyata wali kota Bloomberg mau ikut salat di belakang imam,” tutur Shamsi. ”Beliau mengikuti seluruh gerakan salat kami,” tambahnya.
Tentu pandangan negatif terhadap Islam masih terus terjadi. Ketika pengusaha besar New York Donald Trump ingin maju sebagai calon presiden menghadapi Obama, wartawan minta pandangannya tentang Islam. ”Islam itu berbahaya,” ujar Trump yang disiarkan media.
Ustad Shamsi ingin meluruskan itu. Dia minta waktu untuk bertemu dengan Donald Trump. Pertemuan dijanjikan di lantai paling atas Trump Tower di dekat Central Park New York. Begitu tiba di ruangan Trump, Shamsi kaget terheran-heran. Sambil menjabat tangan Shamsi, Trump tertawa terbahak-bahak. Tidak berhenti-berhenti pula. ”Baru sekali ini saya bertemu orang Islam yang wajahnya sejuk dan tersenyum terus,” kata Trump.
Saya ikut tertawa lebar saat mendengarkan Ustad Shamsi mengulangi kisah itu. (*)
Dahlan Iskan Mantan CEO Jawa Pos